Rabu, 20 Maret 2013

Day Story



ENOUGH
-Cerita Pendek- Jepara, 20 Maret 2013  20.13 (GMT+7)


Langkah gadis mungil itu tertatih. menahan rasa sakit yang teramat di tumitnya. Tapi gadis itu harus terus berjalan, tetap melangkah. Karena satu hal dan sialnya hal itu benar-benar teramat penting bagi gadis itu.
Sesekali wajah letih yang sudah di penuhi peluh itu meringis, ah, sial... entah berapa kali kata itu terucap dari bibirnya. Sepertinya kakinya benar-benar telah membengkak.
"Kau harus membayar untuk ini." Gumam gadis itu lirih.
Sesaat memeriksa waktu pada jam tangan merah yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang mungil. Dan seperti mengetahui hal yang buruk, tiba-tiba saja air mata gadis itu mengalir dengan sendirinya, membuat wajah yang telah basah oleh peluh semakin basah dan membuat penampilannya benar-benar jauh dari kata cantik. Sama sekali.
Langkah gadis itu makin kencang, makin melebarkan kakinya setengah berlari. Tak ada waktu lagi, batinnya. Dan sialnya lagi bahkan isakan lolos dari mulut mungilnya seiring dengan air mata yang makin deras mengalir dari kelenjar air mata melalui sudut-sudut mata yang telah memerah sempurna. Bahkan rasa nyeri yang makin menjadi-jadi sama sekali tak di hiraukannya lagi. Tak ada waktu untuk mengeluhkan kaki, pikirnya.
Napas gadis itu terputus-putus saat tubuhnya telah berada di depan sebuah stasiun yang teramat ramai. Pandangannya mulai mengedar ke segala arah sejalan dengan kakinya yang mulai melangkah menyusuri keramaian stasiun. Satu tujuan gadis situ untuk saat ini.Bagian Informasi.
"Kereta ke arah kota sudah berangkat ?" Kata gadis itu pada petugas laki-laki yang terlihat mengernyitkan kening saat mendapati gadis dengan penampilan kacau berada di hadapannya. Belum lagi, napas gadis itu masih terengah-engah, sedikit menyulitkan bagi petugas stasiun untuk menguraikan kata yang terucap dari mulut gadis itu.
"Maaf nona. Jika kau yang masksud kereta terakhir hari ini yang bertujuan ke kota. Sayang sekali, tapi keretanya sudah berangkat sekitar sepuluh menit yang lalu." kata laki-laki itu sedikit menyesal.
"Begitu ?" ucap gadis itu lagi.
Diseretnya kaki dengan berat, memutuskan mendudukkan tubuhnya sejenak. Sial. lagi-lagi air matanya menetes deras. Bahkan kini dirinya dapat merasakan bagaimana ngilunya kakinya. Salah sendiri berlari dengan brutal sampai menyebabkan kakinya terkilir. Mungkin sudah membengkak sekarang, batinnya.
"Tapi kenapa ini lebih sakit ?" Gadis itu mendekap erat dadanya, sesekali memukulnya. Barangkali dengan begitu rasa sakitnya sedikit berkurang. Gadis itu menunduk dalam, menatap keramik warna putih yang tersusun rapi di bawahnya. Kasihan sekali keramik itu harus di injak setiap hari, apa rasanya sakit ? Pasti tak sesakit yang aku rasakan, iya kan ?, batinnya lagi.
Mata gadis itu sedikit menyipit saat melihat sepasang sepatu berada tak jauh di depannya. Sepatu flat warna coklat dengan susunan tali yang rapi.
Gadis itu menengadah, menatap sendu sosok yang tengah tersenyum kaku di hadapannya. Sosok itu, laki-laki seusianya, memakai jaket tebal berwarna coklat muda dengan baju dalam berwarna putih dengan tulisan "FREE ZONE" berwarna merah besar di bagian depannya.
"Aku ketinggalan tiketku. Sepertinya tikus-tikus di rumahku menyembunyikannya." kata laki-laki itu kaku. Sedikit kikuk saat mendapati tatapan tajam dari gadis yang masih terduduk di hadapannya. Siapa yang tak ngeri mendapati tatapan dari mata merah dan berair seperti itu.
"Bodoh." Lagi-lagi air mata gadis itu keluar. "Seharusnya kau meletakkan surat itu di tempat pensil atau di dalam kantong kecil depan tasku. Bukan menaruhnya di dalam buku seperti itu. Aku baru membukanya setengah jam lalu. Dasar bodoh."
Laki-laki itu mengusap tengkuknya. Menatap mata berair gadis di hadapannya bersalah. "Maaf, aku memang bodoh. Tapi... kau tetap menyusulku bukan ?"
 "Kau bodoh." Gadis itu menggumam lirih, lebih memilih mengalihkan tatapannya kearah lain, asal bukan ke wajah laki-laki menyebalkan yang masih berdiri dengan wajah tololnya itu.
"Ayo. Kuantar pulang." Laki-laki itu menarik tangan gadis di hadapnnya lembut. Hanya mengajaknya berdiri dan mulai beranjak berjalan bersama.
"Aww..." Pekik gadis tadi tertahan.
Laki-laki di depannya sedikit terkejut mendengarkan pekikan dari gadis yang menunduk sambil menggigit bibir bawahnya menahan sakit yang teramat dari pergelangan kakinya.
"Kenapa ?" Laki-laki itu berlutut mencoba memeriksa pergelangan kaki kiri gadis di depannya.
"Apa yang kau perbuat pada kakimu ?" Giliran laki-laki itu yang memekik dan menatap penuh intimidasi pada gadis yang masih menggigit bibir bawahnya erat.
"Jangan gigit bibirmu seperti itu. Kau bisa melukainya." Tegas laki-laki itu lagi.
"Ini semua gara-gara dirimu. Kau membuatku berlari seperti orang gila sampai kakiku terkilir dan membengkak seperti itu. Dasar kau bodoh. Sudah, menjauh dariku. Aku tak akan mati hanya gara-gara terkilir." Kata gadis itu sedikit pedas, sepertinya dirinya mulai jengkel dengan laki-laki yang menatapnya seperti itu.
"Kau memang tak akan mati. Tapi aku yang mati. Mungkin ayahmu akan membunuhku jika tahu kaki anak gadis kesayangannya terkilir dan membengkak seperti ini gara-gara aku. Siapa aku bisa membuatmu sampai seperti ini." kata laki-laki itu santai.
"Kau benar-benar..." Dengan langkah kaki yang di paksakan gadis itu mencoba meninggalkan laki-laki yang mendengus kasar masih dalam posisi berlutunya.
"Berhenti." Kata laki-laki itu. "Aku bilang berhenti." Teriaknya dengan lebih kencang saat mendapati gadis keras kepala yang masih saja berjalan terseok-seok tak jauh di depannya. Dan ternyata, sedikit kata dengan intonasi tinggi dapat berguna.
Laki-laki itu melangkah pelan. Tepat di depan gadis itu, dirinya mulai berjongkok di hadapan gadis yang tampak mengernyitkan dahinya bingung.
"Cepatlah. Aku mohon." Gadis itu mengalihkan tatapan matanya sejenak. Sebelum memutuskan untuk menyamankan posisinya di punggung laki-laki itu.
"Maaf." Gumam laki-laki itu cukup sampai di telinga gadis yang tampak memerah di atas punggungnya. "Kau tahu bagaimana aku dan... Aku serius dengan tulisanku jika aku akan pergi. Mungkin saja, suatu saat ketika aku kembali lagi. Aku telah layak untukmu."
Gadis tadi memeluk erat leher laki-laki yang tengah berjalan perlahan. Tak memperdulikan sama sekali tatapan beberapa orang yang entah apa artinya pada mereka berdua.
"Kau tak perlu. Kalau bukan denganmu, aku dengan siapa lagi. Aku tak mau." Lirih gadis itu.
Pemuda yang tengah menggendongnya hanya tersenyum. Tak berniat berkata lebih. "Mungkin bukan kau yang tak layak untukku, tapi aku. Aku terlalu manja, bodoh, dan kekanakan. Dilihat dari sisi manapun kau terlalu sempurna untuk manusia sepertiku." Lanjut gadis itu lirih.
"Berhentilah berbicara." Kata laki-laki tadi final. "Aku mencintai dan membenci semua yang ada di dirimu dalam waktu bersamaan. Jadi asal kau tahu, aku hanya membencimu dan mencintaimu saja."
"Kau membenciku ?" Tanya gadis itu tak mengerti.
Laki-laki tadi mengangguk mantap, tak menyadari mata gadis di atas punggungnya mulai mencair lagi. "Kau seharusnya bahagia, karena bagaimanapun aku hanya memusatkan perasaanku hanya padamu. Bahkan aku tak sempat membenci orang lain, karena semua rasa yang ku tahu selalu berhubungan denganmu. Dan kau tahu ? ternyata aku benar-benar menikmatinya. Kau benar-benar memonopoliku."
Gadis itu makin mengeratkan pelukannya pada leher laki-laki tadi. "Aku tidak membencimu, kau tahu ? Mungkin aku tak bisa mengungkapkannya seperti ucapanmu tadi. Tapi yang aku tahu aku tak membencimu. Karena aku takut, aku tak terbiasa membencimu, dan aku tak akan pernah terbiasa. Dan jika aku memulai sepertimu yang mencintaiku dan membenciku secara bersamaan. Mungkin aku akan mulai bersahabat dengan rasa benci itu dan memulai terbiasa untuk membencimu. Aku tak mau membayangkannya."
"Terima kasih." gadis itu mengangguk setelah mendengar ucapan laki-laki yang tengah menggendongnya.
"Berjanjilah untuk tetap seperti ini. Tak apa jika tak bertambah. Aku sudah sangat bahagia wakau seperti ini setiap hari."
"Kau sudah mendapat seluruh janjiku sejak saat aku menawarkan hatiku untukmu."

Sore itu memang tak terlalu cerah, matahari terbenam yang seharusnya menjadi sangat cantikpun tak terlihat jelas karena tertutup mendung. Tapi itu cukup, tak peduli seberapa mendung langit yang kian menghitam. Ataupun seberapa besar bengkak kaki yang terasa sangat ngilu. Bahkan tak ada sapuan tangan yang menyingkirkan tirai air yang bersumber dari kelopak mata. Tak mengapa, bukan hal penting lagi saat kau tahu bagaimana indahnya langit biru. 

Aku menyukai pelangi, tentu saja. Tapi aku lebih menyukai langit biru ? Kau tahu ? Pelangi memang indah, tapi hanya bertahan sebentar saja, sementara langit biru, dia tetap ada walau mendung tergelap sekalipun datang untuk menyembunyikannya. Sepeti dirimu. Mungkin langit harusnya berwarna hitam. Tapi aku tak lagi peduli jika aku dapat melihat biru itu bersamamu. Itu sudah cukup.


#tiba-tiba jari saya membuat tulisan aneh dan ssoooo cessy seperti ini. Salahkan lagunya One Direction - Little Things yang cutee... haha, ga sweet tapi cute... saya suka suara serak seraknya Harry u.u


Selasa, 19 Maret 2013

Haru


Bab Satu


Korea.

Langit Biru. Udara hangat. Cuaca sempurna. Ya. Sangat Sempurna.

Pagi yang biasanya terlampau dingin terasa sedikit hangat. Benar-benar pagi yang damai. Sepertinya tidak ....

Eomma[1]... kenapa ranselku bisa menjadi sebesar ini ? Kau memasukkan apa kedalamnya ?” histeris sebuah suara sukses membuat sesosok wanita paruh baya yang sedang hikmat mengupas buah hampir saja melemparkan pisaunya kearah sosok laki-laki yang sedikit lebih dewasa dari wanita itu.

“Park Tae-Ra... jangan berteriak seperti itu. Kau hampir saja membuat kedua orang tuamu terbunuh” cibir wanita –eomma kepada pemilik suara yang dengan beringasnya menuruni tangga rumahnya untuk menjumpai sang eomma yang tengah duduk santai bersama abeoji[2]nya.

Eomma terlalu berlebihan. Eomma apakan ranselku ? Kenapa bisa mengembang seperti ini ? Aigoo[3]... bahkan kau memasukkan tali tambang seperti ini kedalam ranselku. Eomma, aku tidak pergi mendaki gunung. Aku hanya akan backpacking saja.” Celoteh Tae-Ra sambil menggeledah kembali isi dalam ranselnya yang sungguh ajaib.

“Bukan perbuatan eomma. Mana mungkin eomma berbuat hal bodoh seperti itu. Mungkin saja itu perbuatan abeojimu”

“Jangan membawa diriku dalam masalah kalian. Cepat kupaskan apelnya” sergah abeoji yang sedari tadi diam sambil membaca koran paginya.

“Kalian berdua sama saja.” Seru Tae-Ra sambil memberikan tatapan sebalnya. “Aku harus merapikan isi tasku lagi”.

“Sudahlah biarkan saja seperti itu. Siapa tau kau membutuhkan barang-barang itu nantinya. Lagipula tidak akan sempat. Jam berapa pesawatmu ?” ujar abeoji setelah meletakkan koran pada meja didepannya.

“Ah... jam berapa ini ?” ucap Tae-Ra sambil memeriksa jam pada pergelangan tangannya. “Gawat... dua jam lagi jadwal pesawatku abeoji. Ayo antarkan aku ke bandara” cerca Tae-Ra sambil kembali merapikan ransel –yang telampau besar—itu untuk disampirkan pada punggungnya. “Aku pergi dulu eomma. Jangan terlalu merindukanku. Saranghae[4]” Tae-Ra mengecup pipi eommanya sekilas setelahnya berlari untuk mengenakan sepatunya. “Abeoji. Ppali[5]

Aboeji Tae-Ra hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan putranya. “Aku pergi dulu” pamitnya pada istrinya yang terlihat menahan tangis setelah putrinya tak lagi terlihat didalam rumah.

“Dia belum sarapan pagi” Tuan Park—abeoji Tae-Ra hanya mengelus punggung istrinya lembut.

ABOEJI PALLI” kembali –teriakan Tae-Ra terdengar dari balik pintu yang masih terlihat sedikit celahnya.

“Sudah cepat sana antarkan anakmu. Aigoo... Berisik sekali dia” seru Nyonya Park pada suaminya yang hanya tersenyum melihat tingkah istrinya itu.

-o-o-O-o-o-

City car warna biru langit itu baru saja berhenti tepat di area garis parkir Bandara Internasional Incheon. Terlihat dari kaca transparan mobil Park Tae-Ra bersama Tuan Park –aboejinya.

“Kau harus segera menghubungi eommamu jika sudah sampai di Hongkong” Wejangan khas seorang ayah sebelum melepas putrinya pergi seorang diri. Apalagi ini pergi keluar negeri. Meskipun memang tak bisa dikatakan terlalu jauh, tapi tetap saja luar negeri dan berada di luar jarak pandang orang tua.

Nde[6] abeoji tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja” jawab  Tae-Ra singkat. Tidak terlalu memperhatikan aboejinya yang memberikan tatapan khawatir kepadanya. Gadis itu masih terlihat sibuk dengan tas kecil dalam pangkuannya. Sekedar memeriksa ulang barang-barang kecil yang terlalu penting untuk sekedar ditinggalkannya.

Tuan Park mendelik pada putrinya “Aku hanya menyuruhmu menghubungi eommamu. Mengapa seperti itu jawabanmu ?”

Tae-Ra balas menatap aboejinya yang mendelik pada dirinya “Hahaha... aku tahu maksud abeoji. Sudahlah. Aku harus segera masuk” kata Tae-Ra. Setelahnya pasangan ayah-anak itu keluar dari mobil dan dengan cekatan Tuan Park segera membantu putrinya memasangkan ransel besar itu dipunggung putrinya.

Aboeji jangan mengantarku sampai kedalam. Lagipula sebentar lagi pesawatnya take off. Baiklah, aku harus bergegas jika tidak mau tertinggal. Aboeji jaga diri baik-baik dan katakan pada eomma untuk tidak terlalu mengkhawatirkanku. Saranghae aboeji. Dan... jangan mengebut saat menyetir pulang nanti. Sampai jumpa”

Tuan Park hanya tersenyum tanpa bermaksud membalas ucapan Tae-Ra. Bahkan laki-laki yang tak bisa dikatakan muda itu masih saja memasang senyum teduhnya saat matanya tak lagi dapat melihat sosok Tae-Ra yang telah memasuki bandara dengan langkah cepatnya.

“Dasar anak itu”

-o-o-O-o-o-

Hongkong

“Park Tae-Raaaaa...........” teriak sebuah suara. Tak sadarkah jika kini seluruh pasang mata dalam bandara yang cukup padat itu menatap kearahnya ? Sudahlah biarkan saja sang pemilik suara yang malah mengembangkan senyumnya hingga makin mengembang.

Berbeda dengan sosok yang berteriak dengan nada tinggi melebihi suara Max Changmin[7] dalam lagu Keep Your Head Down yang menampilkan wajah tersenyumnya. Tae-Ra memandang sosok itu dengan pandangan horornya. Siapa yang tidak bersikap seperti Tae-Ra jika seseorang berusaha menyeretmu dalam jurang ke-malu-an.

Tae-Ra berjalan lurus kearah sosok itu, bukan –ralat, memang Tae-Ra berjalan seperti kearah sosok itu karena sosok yang masih saja tersenyum lebar itu kini berada di jalur keluar masuk bandara. Semakin dekat Tae-Ra berjalan dan... dengan teganya Tae-Ra berjalan melewati sosok yang tersenyum lebar dengan pandangan mata tepat kearah Tae-Ra yang tentu saja bersikap seolah –aku-tidak-mengenal-makhluk-aneh-ini-.

“Hey, dasar kau... Park Tae-Ra... Berhenti kau bocah” dan lagi –teriakan dari sosok itu kembali menggema dalam bangunan persinggahan pesawat-pesawat besar itu.

.
.

“Dasar tidak tau diri” umpatan kesal yang dibarengi dengan jitakan keras diatas kepala itu sepertinya dilakukan sepenuh hati.

“Awww...” Terbukti seberapa keras teriakan dari sang korban.”Dasar gila... bagaimana jika aku mengalami pendarahan dalam kepala lalu tiba-tiba aku mati seketika. Kau akan kehilangan sepupu menawan sepertiku”

“Tidak perlu berlebihan. Siapa suruh kau berlaku seperti tidak mengenaliku saat di dalam bandara tadi.”

Tae-Ra memandang laki-laki di hadapannya sebal “Hei... Chen bodoh... Bagaimana bisa imo[8]ku yang pintar bisa memiliki anak bodoh dan tak tahu malu sepertimu” cibir Tae-Ra.

“Apa maksudmu ?” sergah Chen tak terima. Laki-laki berwajah oriental dengan tinggi yang tidak wajar untuk kalangan orang Asia apalagi dengan rambut yang diwarnainya menjadi coklat brunette itu bertingkah seperti hendak memukul kepala gadis yang memiliki tinggi tak lebih sebatas pundaknya.

Tae-Ra dengan sigap mundur beberapa langkah dari hadapan Chen. “Hey... Hey... Hey... saudara sepupuku yang manis dan tak terlalu tampan. Tak taukah jika tindakanmu di dalam tadi sangat memalukan. Berteriak seperti orang gila. Benar-benar memalukan.” Kata Tae-Ra dengan nada mendramatisir.

“Kau... Ya ! Beraninya kau mengataiku seperti itu Park Tae-Ra. Bagimana bisa ibuku yang cantik dan baik hati bisa memiliki keponakan tak tau diri sepertimu.” Jawab Chen yang kembali berteriak.

“Sudahlah. Aku bisa tuli jika seharian hanya mendengar teriakanmu itu. Mana mobilmu ?” kata Tae-Ra santai seperti tak pernah terjadi apapun sebelumnya.

Chen menghela napas, mencoba bersabar atas tingkah saudara sepupunya itu. “Dasar bodoh. Mengataiku bodoh tapi kau lebih bodoh dariku. Mana mungkin aku memiliki mobil di Hongkong.” Jawab Chen ketus.

Tae-Ra memutar bola matanya malas. “Bisa saja kan kau menyewa mobil untuk menjemputku.” Kilah Tae-Ra dengan wajah jengah –seolah mencibir laki-laki dihadapannya.

Kembali Chen mencoba meredam amarahnya yang sudah mencabai batas leher. Memang seperti itulah jika dirinya bertemu dengan saudara sepupunya. Anak dari kakak laki-laki ibunya itu sungguh memiliki mulut yang tajam melebihi pisau daging tertajam sekalipun. “Bagaimana bisa aku menjemputmu menggunakan mobil jika aku juga baru saja sampai dari Beijing beberapa jam yang lalu. Dasar Bo-Doh !”

Tae-Ra hanya memutar bola matanya malas, melanjutkan perdebatan tentang siapa-yang-paling-bodoh-disini dan ayolah Tae-Ra sangat yakin jika saudara sepupu yang lebih tua darinya itu memang lebih bodoh darinya.

“Berhentilah berpikiran jika kau lebih pintar dariku. Wajahmu itu benar-benar mencurigakan. “ kata Chen seperti dapat membaca pikiran Tae-Ra.

“Diam kau oppa[9]. Mengganggu imajinasiku saja.” Jawab Tae-Ra tanpa mau balas menatap Chen.
Chen berseru cepat. “Panggil aku gege[10].”

“Tidak akan pernah. Aku orang Korea jadi aku memanggilmu oppa.”

“Terserah. Lakukan sesukamu Park Tae-Ra. Sebaiknya kau segera mengganti kartu ponselmu dan cepat hubungi ibumu. Aku yakin jika sekarang Bibi Park sedang menangis karena ditinggal anak gadisnya.” Kata Chen sarkastis. Menatap raut kesal Tae-Ra merupakan kesenangan tersendiri baginya.

Tae-Ra mendelik kesal kearah wajah tersenyum Chen. “Kau benar-benar cerewet. bagaimana bisa bibiku yang baik itu tahan dengan anak sepertimu. Menyedihkan sekali. Tunggu aku disini.”

Tak perlu menunggu jawaban Chen, Tae-Ra segera beranjak untuk kembali kedalam bandara. Tentu saja mencari counter untuk mengganti kartu ponselnya.

Tak terlalu sulit untuk mencari counter karena telah tersedia banyak counter yang menyediakan provider lokal untuk pendatang seperti Tae-Ra. Hanya membayar beberapa mata uang Hongkong dan Tae-Ra telah mendapat apa yang dikehendakinya.

Tae-Ra masih duduk didepan salah satu counter dalam bandara itu. Setelah menyelesaikan urusan dengan ponselnya, Tae-Ra memencet beberapa tombol yang telah dihapalnya itu. Tak cukup lama karena setelahnya telah terdengar bunyi nada sambung pada ponsel putih milknya.

Yeoboseyo[11]... eomma...”

“Yeobseo... kau sudah sampai jagi[12] ? Apa baik-baik saja ? Kau mengalami mabuk udara ? Atau...”

“Tak perlu mengkhawatirkanku eomma. Semua dalam kendaliku.”

“Syukurlah. Apa Chen sudah bersamamu ?”

Nde

Eomma ingin bicara dengan sepupumu”

Tak bisa eomma. Dia berada di luar bandara sekarang. Sudah dulu eomma, biaya pulsa luar negeri mahal. Bye eomma” kata Tae-Ra sesaat sebelum memutuskan sambungan dengan eommanya.

“Pasti eomma akan mengatakan hal-hal memalukan pada Chen oppa.” Kata Tae-Ra pada dirinya sendiri.

Tak lama setelahnya. Tae-Ra bergegas memasukkan ponselnya pada tas kecil yang terselempang di bahunya. Lalu mulai beranjak kearah pintu keluar masuk bandara untuk menemui Chen yang masih menungguinya di luar. Entah apa yang dilakukan pemuda China itu selama menunggu Tae-Ra menghubungi ibunya, yang jelas Tae-Ra tidak terlalu perduli selama laki-laki itu tidak melakukan hal absurd apalagi jika laki-laki itu berani meninggalkan dirinya.

 I've made it on 2012 and published without editing again.... So, hemmm.... I know it's worse...


[1] Ibu
[2] Ayah
[3] Ungkapan dalan bahasa Korea
[4] Aku Cinta Padamu
[5] Cepat
[6] Ya.
[7] Member DBSK
[8] Bibi
[9] Panggilan dari adik perempuan untuk kakak laki-laki
[10] Kakak
[11] Ungkapa ‘Halo’ dalam sambungan telepon
[12] Panggilan ‘sayang’

Jumat, 01 Maret 2013

Day Story


-Kertas Lusuh Di tengah Memoriku-


Saat itu, waktu dimana aku terduduk di sana. Aku tak sendiri. Karena saat itu kau duduk tepat di sebelah kiriku. Bahkan kau tak memberikan jarak yang berarti di antara kita. Aku hanya terdiam menopang daguku pada lutut yang tertekuk. Sedangkan dirimu ? Aku tak begitu yakin apa yang tengah kau lakukan saat itu. Mungkin aku juga dirimu memiliki pikiran yang benar-benar rumit saat itu. Aku yang dengan tak tahu diri ingin bertemu denganmu setelah kejahatan yang dengan sadar ku lakukan. Aku benar-benar tak pernah memikirkan apa perasaanmu pada saat itu. Aku bahkan tak pernah mempunyai pemikiran apakah kau akan membenciku. Mungkin aku terlalu percaya diri jika hanya aku yang akan membekas dalam hatimu. Meskipun baru kali ini aku benar-benar menyadari jika aku memang membekas terlalu dalam. Dan itu merupakan luka. Luka yang terlampau dalam untuk bisa ku balut. Dan aku tak pernah benar-benar memikirkan tentang itu. Karena aku hanya tahu aku dan perasaanku. Hanya aku dan apa yang aku pikirkan. Hanya aku dan diriku di dalamnya. Tak pernah ada dirimu yang tersakiti. Tak pernah ada dirimu yang mungkin saja pernah meneteskan air mata untukku. Dan aku baru memikirkan ini saat aku benar-benar kehilangan. Saat aku melihat dari sisi yang berbeda. Aku selalu berkata jika aku muak karena akulah yang selalu di jadikan tersangka tanpa mereka tahu apa yang sebenarnya tengah aku rasakan saat itu. Tapi bagaimana jika semua itu benar. Bagaimana jika akulah penjahatnya dan yang terburuk adalah kenyataan jika aku benar-benar membuat luka yang terlalu dalam bahkan tak sanggup untuk sekedar menutupnya. Aku merasa terlalu buruk untuk menyadari semua hal. Ya. aku adalah penyembunyi perasaan yang ulung. Tak akan ku biarkan sesorang mengetahui apa yang ku rasakan dengan mudahnya, dengan seenaknya. Bahkan aku lebih sering memberikan kesan yang bertolak belakang dengan apa yang sedang aku rasakan. Dan mungkin karena ego yang terlampau besar itu pula menjadikan aku sebagai sosok yang benar-benar keras. Dan aku tak akan semudah itu berbicara mengenai persaan. Dan itu masih berlaku sampai sekarang.

Dan tiba-tiba aku teringat saat itu, saat di mana aku bersikap seolah-olah kau adalah tersangka kejih yang mempermainkan banyak hati. Tapi bukankah aku lebih jahat dari itu ? Mungkin hanya kau satu-satunya orang yang berususan dengan pemasalah sepertiku. Dan meskipun hanya satu tapi benar-benar tak termaafkan. Apa mungkin seperti itu ? Entahlah. Tapi saat aku bersikap seolah. Ah, aku bahkan tak merasakan apapun saat duduk berdampingan denganmu. Dan aku benar-benar tak tahu. Sampai aku membiarkan diriku tetap bertanya-tanya akan hal asing yang selalu timbul tenggelam dalam diriku. Maaf.