ENOUGH
-Cerita Pendek- Jepara, 20 Maret 2013 20.13 (GMT+7)
Langkah gadis mungil itu tertatih. menahan rasa sakit yang teramat
di tumitnya. Tapi gadis itu harus terus berjalan, tetap melangkah. Karena
satu hal dan sialnya hal itu benar-benar teramat penting bagi gadis itu.
Sesekali wajah letih yang sudah di penuhi peluh itu meringis, ah,
sial... entah berapa kali kata itu terucap dari bibirnya. Sepertinya kakinya
benar-benar telah membengkak.
"Kau harus membayar untuk ini." Gumam gadis itu lirih.
Sesaat memeriksa waktu pada jam tangan merah yang melingkar di pergelangan
tangan kirinya yang mungil. Dan seperti mengetahui hal yang buruk, tiba-tiba
saja air mata gadis itu mengalir dengan sendirinya, membuat wajah yang telah
basah oleh peluh semakin basah dan membuat penampilannya benar-benar jauh dari
kata cantik. Sama sekali.
Langkah gadis itu makin kencang, makin melebarkan kakinya setengah
berlari. Tak ada waktu lagi, batinnya. Dan sialnya lagi bahkan isakan lolos
dari mulut mungilnya seiring dengan air mata yang makin deras mengalir dari
kelenjar air mata melalui sudut-sudut mata yang telah memerah sempurna. Bahkan
rasa nyeri yang makin menjadi-jadi sama sekali tak di hiraukannya lagi. Tak ada
waktu untuk mengeluhkan kaki, pikirnya.
Napas gadis itu terputus-putus saat tubuhnya telah berada di depan
sebuah stasiun yang teramat ramai. Pandangannya mulai mengedar ke segala arah
sejalan dengan kakinya yang mulai melangkah menyusuri keramaian stasiun. Satu
tujuan gadis situ untuk saat ini.Bagian Informasi.
"Kereta ke arah kota sudah berangkat ?" Kata gadis itu
pada petugas laki-laki yang terlihat mengernyitkan kening saat mendapati gadis
dengan penampilan kacau berada di hadapannya. Belum lagi, napas gadis itu masih
terengah-engah, sedikit menyulitkan bagi petugas stasiun untuk menguraikan kata
yang terucap dari mulut gadis itu.
"Maaf nona. Jika kau yang masksud kereta terakhir hari ini
yang bertujuan ke kota. Sayang sekali, tapi keretanya sudah berangkat sekitar
sepuluh menit yang lalu." kata laki-laki itu sedikit menyesal.
"Begitu ?" ucap gadis itu lagi.
Diseretnya kaki dengan berat, memutuskan mendudukkan tubuhnya
sejenak. Sial. lagi-lagi air matanya menetes deras. Bahkan kini dirinya dapat
merasakan bagaimana ngilunya kakinya. Salah sendiri berlari dengan brutal
sampai menyebabkan kakinya terkilir. Mungkin sudah membengkak sekarang,
batinnya.
"Tapi kenapa ini lebih sakit ?" Gadis itu mendekap erat
dadanya, sesekali memukulnya. Barangkali dengan begitu rasa sakitnya sedikit
berkurang. Gadis itu menunduk dalam, menatap keramik warna putih yang tersusun
rapi di bawahnya. Kasihan sekali keramik itu harus di injak setiap hari, apa
rasanya sakit ? Pasti tak sesakit yang aku rasakan, iya kan ?, batinnya lagi.
Mata gadis itu sedikit menyipit saat melihat sepasang sepatu
berada tak jauh di depannya. Sepatu flat warna coklat dengan susunan tali yang
rapi.
Gadis itu menengadah, menatap sendu sosok yang tengah tersenyum
kaku di hadapannya. Sosok itu, laki-laki seusianya, memakai jaket tebal
berwarna coklat muda dengan baju dalam berwarna putih dengan tulisan "FREE
ZONE" berwarna merah besar di bagian depannya.
"Aku ketinggalan tiketku. Sepertinya tikus-tikus di rumahku
menyembunyikannya." kata laki-laki itu kaku. Sedikit kikuk saat mendapati
tatapan tajam dari gadis yang masih terduduk di hadapannya. Siapa yang tak
ngeri mendapati tatapan dari mata merah dan berair seperti itu.
"Bodoh." Lagi-lagi air mata gadis itu keluar.
"Seharusnya kau meletakkan surat itu di tempat pensil atau di dalam
kantong kecil depan tasku. Bukan menaruhnya di dalam buku seperti itu. Aku baru
membukanya setengah jam lalu. Dasar bodoh."
Laki-laki itu mengusap tengkuknya. Menatap mata berair gadis di
hadapannya bersalah. "Maaf, aku memang bodoh. Tapi... kau tetap menyusulku
bukan ?"
"Kau bodoh." Gadis itu menggumam lirih, lebih
memilih mengalihkan tatapannya kearah lain, asal bukan ke wajah laki-laki
menyebalkan yang masih berdiri dengan wajah tololnya itu.
"Ayo. Kuantar pulang." Laki-laki itu menarik tangan
gadis di hadapnnya lembut. Hanya mengajaknya berdiri dan mulai beranjak
berjalan bersama.
"Aww..." Pekik gadis tadi tertahan.
Laki-laki di depannya sedikit terkejut mendengarkan pekikan dari
gadis yang menunduk sambil menggigit bibir bawahnya menahan sakit yang teramat
dari pergelangan kakinya.
"Kenapa ?" Laki-laki itu berlutut mencoba memeriksa
pergelangan kaki kiri gadis di depannya.
"Apa yang kau perbuat pada kakimu ?" Giliran laki-laki
itu yang memekik dan menatap penuh intimidasi pada gadis yang masih menggigit
bibir bawahnya erat.
"Jangan gigit bibirmu seperti itu. Kau bisa melukainya."
Tegas laki-laki itu lagi.
"Ini semua gara-gara dirimu. Kau membuatku berlari seperti
orang gila sampai kakiku terkilir dan membengkak seperti itu. Dasar kau bodoh.
Sudah, menjauh dariku. Aku tak akan mati hanya gara-gara terkilir." Kata
gadis itu sedikit pedas, sepertinya dirinya mulai jengkel dengan laki-laki yang
menatapnya seperti itu.
"Kau memang tak akan mati. Tapi aku yang mati. Mungkin ayahmu
akan membunuhku jika tahu kaki anak gadis kesayangannya terkilir dan membengkak
seperti ini gara-gara aku. Siapa aku bisa membuatmu sampai seperti ini."
kata laki-laki itu santai.
"Kau benar-benar..." Dengan langkah kaki yang di
paksakan gadis itu mencoba meninggalkan laki-laki yang mendengus kasar masih
dalam posisi berlutunya.
"Berhenti." Kata laki-laki itu. "Aku bilang
berhenti." Teriaknya dengan lebih kencang saat mendapati gadis keras
kepala yang masih saja berjalan terseok-seok tak jauh di depannya. Dan
ternyata, sedikit kata dengan intonasi tinggi dapat berguna.
Laki-laki itu melangkah pelan. Tepat di depan gadis itu, dirinya
mulai berjongkok di hadapan gadis yang tampak mengernyitkan dahinya bingung.
"Cepatlah. Aku mohon." Gadis itu mengalihkan tatapan
matanya sejenak. Sebelum memutuskan untuk menyamankan posisinya di punggung
laki-laki itu.
"Maaf." Gumam laki-laki itu cukup sampai di telinga
gadis yang tampak memerah di atas punggungnya. "Kau tahu bagaimana aku
dan... Aku serius dengan tulisanku jika aku akan pergi. Mungkin saja, suatu
saat ketika aku kembali lagi. Aku telah layak untukmu."
Gadis tadi memeluk erat leher laki-laki yang tengah berjalan
perlahan. Tak memperdulikan sama sekali tatapan beberapa orang yang entah apa
artinya pada mereka berdua.
"Kau tak perlu. Kalau bukan denganmu, aku dengan siapa lagi.
Aku tak mau." Lirih gadis itu.
Pemuda yang tengah menggendongnya hanya tersenyum. Tak berniat
berkata lebih. "Mungkin bukan kau yang tak layak untukku, tapi aku. Aku
terlalu manja, bodoh, dan kekanakan. Dilihat dari sisi manapun kau terlalu
sempurna untuk manusia sepertiku." Lanjut gadis itu lirih.
"Berhentilah berbicara." Kata laki-laki tadi final.
"Aku mencintai dan membenci semua yang ada di dirimu dalam waktu
bersamaan. Jadi asal kau tahu, aku hanya membencimu dan mencintaimu saja."
"Kau membenciku ?" Tanya gadis itu tak mengerti.
Laki-laki tadi mengangguk mantap, tak menyadari mata gadis di atas
punggungnya mulai mencair lagi. "Kau seharusnya bahagia, karena
bagaimanapun aku hanya memusatkan perasaanku hanya padamu. Bahkan aku tak
sempat membenci orang lain, karena semua rasa yang ku tahu selalu berhubungan
denganmu. Dan kau tahu ? ternyata aku benar-benar menikmatinya. Kau benar-benar
memonopoliku."
Gadis itu makin mengeratkan pelukannya pada leher laki-laki tadi.
"Aku tidak membencimu, kau tahu ? Mungkin aku tak bisa mengungkapkannya
seperti ucapanmu tadi. Tapi yang aku tahu aku tak membencimu. Karena aku takut,
aku tak terbiasa membencimu, dan aku tak akan pernah terbiasa. Dan jika aku
memulai sepertimu yang mencintaiku dan membenciku secara bersamaan. Mungkin aku
akan mulai bersahabat dengan rasa benci itu dan memulai terbiasa untuk
membencimu. Aku tak mau membayangkannya."
"Terima kasih." gadis itu mengangguk setelah mendengar
ucapan laki-laki yang tengah menggendongnya.
"Berjanjilah untuk tetap seperti ini. Tak apa jika tak
bertambah. Aku sudah sangat bahagia wakau seperti ini setiap hari."
"Kau sudah mendapat seluruh janjiku sejak saat aku menawarkan
hatiku untukmu."
Sore itu memang tak terlalu cerah, matahari terbenam yang
seharusnya menjadi sangat cantikpun tak terlihat jelas karena tertutup mendung.
Tapi itu cukup, tak peduli seberapa mendung langit yang kian menghitam. Ataupun
seberapa besar bengkak kaki yang terasa sangat ngilu. Bahkan tak ada sapuan
tangan yang menyingkirkan tirai air yang bersumber dari kelopak mata. Tak
mengapa, bukan hal penting lagi saat kau tahu bagaimana indahnya langit
biru.
Aku menyukai pelangi, tentu saja. Tapi aku lebih menyukai langit
biru ? Kau tahu ? Pelangi memang indah, tapi hanya bertahan sebentar saja,
sementara langit biru, dia tetap ada walau mendung tergelap sekalipun datang
untuk menyembunyikannya. Sepeti dirimu. Mungkin langit harusnya berwarna hitam.
Tapi aku tak lagi peduli jika aku dapat melihat biru itu bersamamu. Itu sudah
cukup.
#tiba-tiba jari saya membuat tulisan aneh dan ssoooo cessy seperti
ini. Salahkan lagunya One Direction - Little Things yang cutee... haha, ga sweet
tapi cute... saya suka suara serak seraknya Harry u.u