“Kau –kau siapa
sebenarnya ?” lirih HyukJae menatap tajam pemuda yang masih menampilkan senyum
manisnya.
“Aku Lee Donghae”
ucap Donghae masih dengan senyumnya.
“Aishhhh....”
geram Hyukjae tertahan, mengacak-acak kasar rambutnya. “Lalu dimana aku
sekarang ?” ketus HyukJae.
“Kau ada di ruang
kesehatan sunbae”
“Terserah kau
sajalah. Aku mau keluar dari sini. Bertemu dengan makhluk aneh sepertimu
benar-benar membuat kepalaku pusing luar biasa.” HyukJae dengan kasar
menurunkan tubuhnya dari ranjang kecil hingga menimbulkan derik yang cukup
memekakkan telinga.
“Kau terlihat
belum sehat sunbae”
“Diamlah. Jangan
berbicara lagi. Suaramu membuat telingaku sakit”
Kembali HyukJae
meracau tak jelas. Berjalan dengan sedikit sempoyongan saat dirasa sisa-sisa
sakit kepala masih sedikit tertinggal. Menggapai knop pintu di hadapannya
dengan cepat, hanya berharap segera terhindar dari makhluk yang sudah di cap
–manusia aneh oleh HyukJae.
“Lee Donghae...”
lirih HyukJae “Lee Donghae...” kembali HyukJae berujar “KAU” teriak HukJae
setelah dirinya dengan gerakan yang teramat cepat telah kembali menghadapkan
tubuhnya pada Donghae.
“Kenapa.. Kenapa aku ?” kembali HyukJae bergumam seraya
menatap kedua telapak tangannya dengan pandangan tak percaya.
.
.
Sesosok pemuda
tampak hikmat dengan dunianya. Terduduk nyaman memmperhatikan deretan alphabet
yang berjejer membentuk sesuatu yang di sebut kata. Bahkan terlampau panjang
hinggga berganti pula penamaannya. Peduli setan dengan hal yang tak terlalu
penting untuk saat ini. Pemuda itu nampak benar-benar terhanyut oleh buku di
hadapannya.
Tampak sesekali
pemuda itu mengernyitkan dahinya kala didapatinya sesuatu yang mungkin tak
dimengerti olehnya. Perlahan, pemuda itu menyandarkan punggungnya pada sandaran
kursi, selanjutnya menghembuskan napas berat. Mengusap wajahnya sekilas, hingga
menimbulkan ekspresi kosong. Tak jelas entah kemana kini pandangan pemuda itu
terarah.
.
.
knock knock Knock
Derit pelan dari
pintu coklat yang sebelumnya tertutup rapat sampai di telinga seorang laki-laki
dewasa dengan setelan khas dokter di tubuhnya. Menatap kearah pintu sampai
matanya menangkap bayangan seorang pemuda dihadapannya.
“Anneyong uisanim”
ucap pemuda itu lirih seraya membungkukkan tubuhnya sempurna.
“Ya, ada perlu apa
? Ada yang sakit ?”
“Ah, tidak ada
uisanim... saya... saya hanya ingin bertanya tentang keadaan siswa bernama Lee
HyukJae. Bagaimana keadaannya saat ini ?” ujar pemuda itu lagi.
Namja yang lebih
dewasa dalam ruangan tak terlalu luas itu menatap sekilas pada pemuda
dihadapannya sebelum memutuskan untuk menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi
putarnya.
“Siapa namamu ?”
tanya uisanim dengan nada santai.
“Lee Jinki ibnida”
.
.
Sungmin tak
menyadari sudah berapa lama dirinya berdiri. Menelisik satu per satu buku-buku
yang terlihat usang –meskipun kenyataannya bukan—hanya saja banyaknya debu yang
menempel pada buku-buku tebal itu yang memberikan kesan usang. Bagaimana tidak,
buku tebal yang terletak di deretan rak pada pojok ruangan, bahkan untuk
meliriknya saja sudah membuat mata berkunang-kunang. Hanya orang yang
benar-benar membutuhkannya saja yang akan bersuka cita dengan buku tebal itu
–seperti Sungmin.
Sapuan tangan
Sungmin sesekali terhenti saat merasa menemukan apa yang sedang dicarinya
hingga ia melanjutkan sapuan tangannya mengeja satu per satu dari sekian banyak
buku tebal dalam rak itu.
Sungmin
mengernyitkan dahinya sesaat. “Tidak ada”. Monolognya. Sungmin tidak mengecheck daftar buku dalam komputer yang
tersedia di seberang pintu masuk perpustakaan karena dirinya yakin tidak akan
ada yang tertarik pada buku yang dicarinya. Tapi, kenyataannya Sungmin tak
dapat menemukan buku tebal itu.
Menghentikan langkah lambatnya di jajaran rak buku
tinggi, Sungmin terdiam dengan jemari yang masih menyentuh punggung buku yang
tak begitu nampak jelas. Mungkin karena usianya yang sudah cukup tua atau
memang penjaga perpustakaan yang ak mau repot-repot sekedar membersihkan
deretan rak penuh buku tebal yang bahkan sangat jarang –hampir tidak
pernah—dikunjungi tentu saja kecuali orang-orang yang betul-betul memiliki
kebutuhan akan buku-buku tebal itu.
Sungmin mengendurkan tatapan matanya. “Benar-benar
merepotkan tidak ada HyukJae disaat seperti ini” menghela napas berat,
memikirkan sahabatnya itu, tiba-tiba saja membuat kepala Sungmin pening bahkan
lebih buruk dari sebelum-sebelumnya. Entahlah, dirinya hanya merasa jika
kejadian-kejadian janggal yang berada di sekitarnya seolah semakin tak
terkendali. Dan semua itu benar-benar membuat Sungmin frustasi.
“Terserah kau mau menganggapku benar-benar gila. Tapi,
aku berani bersumpah jika tempat itu sangat hangat... bahkan lebih hangat dari
kamar asramaku”
Lagi—entah berapa banyak ingatan tak mengenakkan yang
harus hinggap dikepalanya beberapa waktu belakangan ini. Dan kejadian tempo
hari benar-benar hampir membuatnya kehilangan kewarasan, Sungmin memang sering
melihat hal-hal yang janggal dengan mata terbukanya –bahkan dalam kesadaran
penuh. Tapi, kejadian tempo hari adalah yang pertama. Sungmin belum pernah
sekalipun berada sedekat itu dengan sosok yang –Sungmin memejamkan matanya,
berusaha menghilangkan bayangan yang tiba-tiba kembali dilihat otaknya dengan
menggelengkan kepalanya kasar.
Seakan teringat sesuatu, Sungmin kembali termangu,
berbisik yang lebih seperti mendesis untuk dirinya sendiri. “Sudah empat hari”
Sungmin membelalakkan matanya tak cukup lama, hanya sebuah bentuk kekagetan
akan ingatannya yang lain. “Empat hari aku sudah tak melihat gambar hidup itu”.
Sungmin kembali menghembuskan napasnya jengah. “Dan empat hari juga HyukJae
disembunyikan. Menggelikan. Disembunyikan ?” Sungmin tertawa sinis, tertawa
sendirian –tentu saja tidak dengan suara yang keras—hanya menertawakan
pemikiran bodohnya saja. Bagaimana bisa dia memikirkan banyak hal-hal aneh
seperti itu ?
Untuk kesekian kali Sungmin menelisik jajaran buku-buku
tebal itu, barangkali buku tebal incarannya terselip di salah satu buku. Tapi
mana mungkin buku tebal itu dapat terselip dijejalan rak seperti itu. Pandangan
Sungmin terhenti pada space kosong di
antara rak tertinggi. Benar sudah dugaannya, mungkin seseorang telah
mendahuluinya mendapatkan buku tebal itu.
“Sepertinya bukan hanya aku yang mendapatkan detensi dari Yoon seonsaengnim” gumamnya
lagi. Sebelum benar-benar pergi dari jajaran rak tinggi yang sudah membuatnya
benar-benar pengap.
.
.
Pemuda itu terdiam, menatap kosong pada partitur-partitur
yang tergeletak rapi di hadapannya. Deretan not balok yang berbeda bentuk tiap
barisnya itu seolah menantangnya mentah-mentah. Terlukis rapi, seolah
benar-benar mengejeknya dan pemuda itu benar-benar membencinya. Dia tak suka
akan keadaannya saat ini. Dia membenci partitur itu, dia membencinya.
Pemuda itu masih terdiam, tatapan kosongnya beberapa
detik lalu kini berubah tajam. Menatap tak suka. Pemuda itu benci dan ingin
merobek kertas sombong itu. Menghancurkannya hingga tak terlihat lagi deretan
not balok yang melukai pandangan matanya.
Dan. Ya. Pemuda itu telah melakukannya –sedang
melakukannya, merobek partitur-partitur itu dengan bengisnya. Bahkan dirinya
tak mengindahkan teriakan-teriakan terkejut dari sekelilingnya. Pemuda itu tak
perduli dia hanya ingin menghancurkan kertas bodoh itu. Dia hanya ingin
melakukannya. Dan dia memang sedang melakukannya. Hanya itu.
“Cho Kyuhyun-ssi”
“KELUAR DARI KELASKU” Teriak sebuah suara. Kyuhyun –pemuda
itu benar-benar tak perduli dengan teriakan itu. Sang pembuat onar, bukankah
itu dirinya ? Menatap wajah berang laki-laki dewasa yang memerah akibat luapan
emosi yang tertahan pun tidak dilakukanya. –Buat apa melihay wajah orang yang
sudah mengusirnya dari kelas, mungkin seperti itu jalan pikirannya. Dan...
Blammm...
Debaman keras dari bantingan daun pintu tak telak membuat
laki-laki paling dewasa dalam ruangan itu mengelus dadanya, menaikkan kacamata
datarnya yang melorot sepanjang hidung besar milik laki-laki dewasa itu. Mau
bagaimana lagi ? Mengeluarkan Si Pembuat Onar adalah hal terbaik yang bisa
dilakukannya. Berharap menendang sekedar tulang kering anak itu ? Siapa yang
tak menginginkannya, tapi apa bisa ? Bisa memang, tapi anak itu tak boleh tersentuh.
Oleh siapapun.
.
.
Kyuhyun, pemuda tinggi dengan rambut dark brown yang terlihat mengkilap akibat pantulan sinar matahari
itu berjalan dengan langkah tak cepat-tak lambat. Raut wajahnya tegas seiring
dengan betapa seriusnya raut yang diperlihatkan oleh pahatan wajah milik pemuda
itu. Tatapan mata tajam dengan beberapa kali dengusan napas keras membuktikan
betapa tidak baiknya perasaan pemuda Cho itu saat ini.
Mata coklat tua Kyuhyun menangkap sosok lain didepannya,
sosok pemuda yang berjalan dengan wajah tertunduk. Mungkin saya sosok pemuda
itu tak sadar jika mata tajam Kyuhyun menatap pemuda itu cukup intens. Terbukti
dengan terhentinya langkah Kyuhyun, kini dirinya hanya diam berdiri di tengah
koridor yang sepi –saat jam pelajaran, masih menatap pemuda yang berjalan tak
jauh di depannya. Mungkin hanya tinggal sekitar sepuluh langkah sebelum pemuda
itu menabrak tubuh tinggi Kyuhyun.
Delapan
langkah....
Enam langkah....
Tiga langkah....
Dua langkah....
“Mencari koinmu yang hilang ?”
Pemuda itu mengangkat wajahnya, terlihat kebingungan
sesaat. Mundur selangkah sekedar memberikan jarak pandang lebih luas sebelum
kembali menampilkan wajah datar yang sudah menjadi ciri khas dari pemuda itu.
“Sejak kapan kau berdiri disini ?”
Kyuhyun kembali mendengus keras. “Kau membolos kelas
musik.”
Pemuda yang sedikit lebih pendek dari Kyuhyun hanya
mendengus sesaat, memalingkan wajahnya. Hanya tak ingin balas menatap mata
Kyuhyun yang seolah dapat menembus bola mata kecoklatan milik pemuda itu.
“Jangan menghindar. Sebenarnya ada apa denganmu
akhir-akhir ini ? Kau sudah bosan sanjungan, eoh ?” kata Kyuhyun ketus
”Jinki-ya... kau...”
Jinki memotong ucapan Kyuhyun cepat, “Sudahlah... kau
sendiri sedang berkeliaran di koridor saat ini.” Jinki mengusap rambutnya
kasar. “Mau membantuku keluar ?”
Sebuah senyuman meremehkan tercipta di bibir tipis
Kyuhyun. Bertolak pinggang dan menatap pemuda dihadapannya –Jinki, remeh. Membantu keluar. Kyuhyun memang pembuat
onar, tapi tidak serta merta menjadikannya sosok bodoh. Kyuhyun tahu benar apa
maksud dari sahabat kecilnya itu. Tapi, mendengar kalimat terlarang keluar dari hasil getaran pita suara seorang Lee Jinki
benar-benar membuatnya terlihat....
“Konyol... kau sadar saat mengucapkan itu ?” kata Kyuhyun
masih dengan senyuman remeh di sekitar bibirnya.
Jinki menatap Kyuhyun jengah, membiarkan namja Cho itu
masih menyunggingkan senyuman memuakkan itu. “Hentikan senyuman bodohmu itu.
Atau... kau mau aku mengacau disini ?”
Bukannya berhenti, Kyuhyun malah menggelakkan tawa
singkat. “Kau benar-benar ingin keluar rupanya. Baiklah, sepertinya aku juga
harus segera keluar dari tempat ini.”
“Kau baru saja berulah, benar kan ?” Jinki memicingkan
matanya pada Kyuhyun. “Apa lagi kali ini ? Kau mematahkan bow biola kesayangan Park seonsaengnim
?” sambung Jinki cepat, berusaha mengira-ngira hal ‘mengejutkan’ apa lagi yang
telah dilakukan pemuda yang kini tengah berdiri dihadapannya.
Kyuhyun menguap sekilas, menunjukkan jika dirinya mulai
bosan. Terlebih mendengar pertanyaan Jinki membuatnya mengingat kejadiaan
beberapa menit yang lalu. Merobek kertas-kertas musik kebanggaan guru seni itu.
Jangan salahkan dirinya, Park seonsaengnim
saja yang dengan seenaknya tiba-tiba menyuruh Kyuhyun memainkan nada-nada dalam
partitur itu dengan piano. Kyuhyun membenci piano. Itu kenyataannya, Kyuhyun
sangat tidak menyukai bunyi piano yang menurutnya sangat berisik dan mengganggu
ketenangan. Aneh memang, tapi lagi-lagi, itulah kenyataannya.
“Berhentilah mengira. Ayo ikut aku.” Kyuhyun melangkah
mendahului Jinki, berjalan kearah datangnya Jinki tadi. Belum banyak melangkah,
pemuda itu menoleh. “Jika kau belum berubah pikiran.” Lalu, dengan langkah tegas
seperti tanpa beban kembali melangkah meninggalkan sosok Jinki yang masih
berdiri terdiam ditempatnya. Menatap punggung sahabat kecilnya dengan pandangan
kosong yang entahlah apa arti pandangan itu, seperti iba, resah, dan... takut.
“Hey Kyu, tunggu....”
Kini koridor itu kembali sepi. Hanya terdengar suara
derap langkah dari ketukan sepatu yang menggesek lantai, semakin melemah...
melemah... dan tak terdengar sama sekali. Berganti dengan gemuruh suara gesekan
dedaunan yang terbawa angin musim gugur yang dingin.
.
-black zone-
.
Dua orang laki-laki muda itu duduk nyaman –sepertinya,
bersebelahan di atas bangku kayu. Pemuda yang lebih kurus duduk di sebelah
kanan pemuda yang –tentu-memiliki-badan-yang-lebih-besar tapi tak lebih tinggi
dari pemuda kurus yang terlihat mengedarkan pandanan ‘heran’ kesekelilingnya.
Sedangkan, seorang lain yang tengah duduk disampingnya –masih tersenyum dengan
riangnya. Sesekali pemuda itu juga tampak ikut mengedarkan pandangannya
kesekeliling mengikuti arah pandang pemuda di sebelah kirinya.
“Ini aneh sekali... sangat aneh.” Gumam HyukJae lirih.
Donghae –pemuda disampingnya hanya terdiam mendengarkan
gumaman yang sama yang diucapkan HyukJae hampir dari tiga puluh menit yang
lalu.
HyukJae masih terlihat menjelajah dengan bola matanya ke
segala sudut yang dapat di jangkaunya. Sesekali mengernyit heran saat mendapati
hal yang dirasanya janggal. Sesekali juga dirinya menolehkan pandangan pada
Donghae yang selalu membalasnya dengan senyuman ‘manis’ miliknya.
“Aku masih heran, apa yang sebenarnya terjadi padaku ?
Kenapa tanganku menjadi seputih ini ? Bukan... bukan... lebih tepatnya pucat...
ya... pucat. Benar-benar mengagetkanku saja.” HyukJae menolehkan wajahnya pada
sosok Donghae yang membalasnya lagi-lagi dengan senyuman miliknya. “Kenapa kau
sangat suka sekali tersenyum ? Kau memilki masalah dengan wajahmu itu ? Sulit
dipercaya. Bagaimana bisa kau melakukan itu setiap saat ? Kumohon, berhentilah
tersenyum seperti itu. Kau membuat perutku bergejolak.” Tambah HyukJae
dramatis, tentu saja disertai mimik mula ter-bodoh miliknya.
Donghae menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku
panjang itu perlahan, terlalu lambat seakan takut jika men-cedera-i
punggungnya. “Kau terlalu berlebihan sunbae. Senyumanku tidak akan sampai
membunuh seseorang.” Jawab Donghae yang tentu saja masih disertai senyuman
–menyebalkan menurut HyukJae— nya.
HyukJae berdecih perlahan, mungkin tak ingin terlalu
menghabiskan tenaganya hanya untuk mendebatkan masalah
–hentikan—senyuman—bodohmu—itu. Mata sipit HyukJae kembali mengedar, kembali
pada kegiatan awalnya. Sampai dahinya mengernyit heran mengakibatkan mata
sipitnya hanya tinggal segaris.
HyukJae lagi-lagi –meskipun enggan— menolehkan wajahnya
pada Donghae yang terlihat tengah menikmati sapuan angin yang terasa sejuk,
terbukti dengan terejamnya kedua manik hitam milik pemuda itu. “Kau mengenal
semua murid itu ?” tanya HyukJae menunjuk pada segerombolan pemuda yang baru
saja melintas di lorong beberapa meter di depan mereka berdua –HyukJae dan
Donghae—.
Donghae membuka matanya dan dengan tanggap menikuti arah
tunjuk tangan HyukJae, sedikit memicingkan matanya untuk memastikan
penglihatannya. Tak cukup lama, sebelum Donghae mengedikkan bahunya pertanda
tak mengenal siapa pemuda yang dimaksudkan oleh HyukJae.
“Begitu...” HyukJae hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
pertanda mengerti dengan masuk Donghae. “Baguslah... ku kira hanya aku saja
yang tak mengenali mereka. Apa mungkin mereka murid tahun pertama ?”
“Molla... aku
tak terlalu memiliki banyak kenalan murid disini.” Jawab Donghae santai.
“Bilang saja kalau kau sebenarnya memang tak memiliki
teman.” Rutuk HyukJae lirih. Kini kedua manik hitam miliknya terfokus pada
seorang pemuda dengan setelan seragam yang rapih –lebih rapih dibandingkan
dengan murid-murid lain di sekitanya. Pemuda itu, memakai kacamata dengan frame
bundar –bayangkan saja kacamata milik Nobita. HyukJae menatap pemuda itu
intens, bukan karena efek penampilannya yang cukup ajaib. Hanya saja, HyukJae
merasa jika dirinya mengenal pemuda yang terasa tak asing itu.
“Choi usianim.” Eja HyukJae saat tiba-tiba saja otaknya
menuju dokter muda tampan yang bekerja sebagai dokter sekolah.
.
Somewhere In
Seoul
.
Dua pemuda yang oleh banyak mata dikategorikan tampan itu
berjalan dengan santainya di tengah keramaian jalan. Sesekali keduanya tertawa
–entah karena apa— detik berikutnya mereka kembali berjalan dengan langkah yang
tergolong lambat dan tenang jika dibandingkan dengan banyak pasang kaki yang
memilih berjalan dengan tergesah.
“Aku tak menyangka jika kau suka kabur ketempat ramai
seperti ini.” Kata Jinki –pemuda dengan kacamata bening dengan frame hitam
tipis di pinggirannya.
Pemuda tinggi disampingnya –mengenakan sweater panjang
berwarna kuning dengan garis-garis hitam yang mengingatkan siapa saja pada
hewan –bee ? Tentu saja. “Kenapa ?
Kau berharap aku mengajakmu ke makam ibuku ?” jawab Kyuhyun santai, sama sekali
tak terdengar nada getir saat dirinya berucap kalimat tersebut.
Jinki menghentikan langkahnya, memutar arah tubuhnya
hingga menjadi berhadapan dengan pemuda yang lebih tinggi darinya itu. Menatap
wajah Kyuhyun yang terlihat semakin pucat saat sinar matahari membantu
memperjelas seberapa pucat pemuda dengan rambut darkbrown yang terlihat sedikit
berwarna merah kehitaman lagi-lagi karena sinar matahari.
“Jangan menatapku seperti itu. Apa yang kau harapkan ?
Aku tak akan menangis hanya karena mengatakan hal itu. Lagipula, dia sudah terlalu lama meninggalkanku.
Jadi, aku sudah terbiasa tanpa kehadirannya.
Bahkan mungkin aku sudah lupa. Kebetulan saja, tadi aku mengingatnya.” Ujar
Kyuhyun lancar, memberikan jeda panjang dan kembali melangkahkan kaki
panjangnya kedepan. “Hentikan tatapan matamu itu. Kau membuatku iritasi.”
Jinki mengalihkan tatapannya dan memutuskan untuk kembali
melangkah bersama sahabatnya. Bibirnya memang sama sekali tak melakukan
pergerakan tapi Kyuhyun tahu jika Jinki menyimpan sesuatu dalam pikirannya,
bahkan mungkin sesuatu itu juga menyerang batinnya. Jinki yang dikenalnya
bukanlah sosok yang akan mencari pelarian bodoh seperti yang saat ini tengah
mereka berdua lakukan. Jinki pemuda yang cerdas dan idealis, dirinya akan lebih
memilih berdiam dalam ruangannya dan berusaha memecahkan masalahnya. Bukan
melarikan diri seperti ini.
“Kau membawa uang lebih ? Aku benar-benar miskin saat
ini” ujar Jinki tiba-tiba.
Kyuhyun tertawa singkat, masih dengan berjalan dirinya
mengangkat kedua tangannya untuk diletakkan dibelakang kepala. Kau tahu ?
Sepertinya Tuan Muda Cho sedang ingin meniru gerakan seorang Ichigo Kurosaki. “Aku tahu jika kau
miskin. Aku ingin makan jjajangmyon” kata Kyuhyun dengan suara kerasnya.
Jinki hanya tertawa sambil membenarkan letak kacamata
miliknya. Masih terus melangkah tanpa berniat menanggapi kata-kata Kyuhyun.
“Singkirkan kacamatamu itu saat kau menyetor wajahmu di
depanku. Kau terlihat seperti Choi uisanim yang sok tampan itu.” Kata Kyuhyun
tiba-tiba.
“Choi uisanim yang sok tampan. Dan dia kakak sepupumu.”
Balas Jinki dengan senyuman mengejeknya.
“Diam kau Onew-ya...”
Jinki terdiam ditempat, menghentikan langkahnya saat
mendengar Kyuhyun mengucapkan nama kecilnya itu. Nama julukan yang diberikan
sesorang yang sangat berarti baginya.
.
Back To The
Classroom
.
“Kau tahu ? Anak tahun pertama Si Pembuat Onar itu bertingkah lagi. Dia merobek seluruh partitur
milik Park seonsaengnim. Bahkan kabarnya dia juga mematahkan bow biola kesayangan Park seonsaengnim.”
Sungmin duduk tenang di bangku yang sialnya hanya
berjarak dua meja saja dari kumpulan pemuda penggosip di pojok ruang kelas yang
meskipun tak bisa dikatakan sepi tapi tetap saja suara mereka sampai di telinga
Sungmin dengan sangat jelas. Andai saja ada HyukJae saat ini... Ah, Sungmin
baru menyadari ternyata dia benar-benar merindukan pemuda yang hobi mencibir
tak jelas itu.
“Kau tak perlu
khawatir Lee Sungmin-ssi, temanmu –Lee HyukJae-ssi sudah dipindahkan ke tempat
yang lebih baik. Sepertinya dia mengalami gejala serangan jantung ringan.
Itulah kenapa dia tiba-tiba tak sadarkan diri seperti kemarin.”
Sungmin kembali teringat ucapan dokter muda sekolah –Choi
uisanim saat dirinya menanyakan perihal keberadaan dan keadaan HyukJae beberapa
hari yang lalu dan jawaban seperti itulah yang didapatnya.
“Lee Sungmin-ssi” terdengar sebuah suara berat tepat
dihadapan Sungmin.
Sungmin mendongak sekedar memastikan siapa orang yang
dengan sukarela menyapa dirinya. “Choi Seunghyun-ssi ?” Sungmin mengernyitkan
dahinya pertanda heran akan kedatangan Choi Seunghyun –ketua asrama dua yang
sangat jarang bahkan tak pernah menyapa Sungmin sebelumnya.
Choi Seunghyun, pemuda dengan tinggi proporsional itu
terlihat –entahlah, Sungmin tak perlu memperdulikan hal tersebut. “Kau di minta
menghadap Yoon seonsaengnim. Sekarang di kantornya.” Padat. Tanpa basa basi
sedikitpun, Choi Seunghyun bergegas meninggalkan kelas Sungmin. Bahkan
laki-laki dengan rambut nyaris gundul itu tidak menunggu balasan jawaban dari
Sungmin. Tapi tentu saja, Sungmin tak perlu hal-hal remeh temeh tentang
kesopanan seperti itu. Setidaknya Sungmin tahu kapan dan pada siapa dirinya
harus bersikap sopan.
Sungmin masih terduduk di atas bangkunya. Enggan. Siapa
juga yang dengan sukarela datang menemui Yoon seonsaengnim –guru tua yang
benar-benar membuat repot hampir seluruh siswa dengan detensi-detensi yang tak berperikemanusiaan. Dan Sungmin salah satu
siswa yang sangat enggan. Bahkan buku setebal 10 cm yang di tugaskan untuk
menambal nilainya yang –salahkan saja HyukJae sangat—mengerikan, tidak dapat di
temukannya di deretan rak perpustakaan.
“Tamat riwayatmu Lee Sungmin.” Gumam Sungmin pasrah,
meletakkan wajahnya pada meja di depannya. Bukankah tadi sang ketua asrama dua
–Choi Seunghyun mengatakan untuk menemui Yoon seonsaengnim Sekarang ?
.
A Place In Seoul
.
“Aku tak ingat pernah memberitahumu kalau Choi usianim
adalah sepupuku.” Kata Kyuhyun. Saat ini dirinya tengah duduk bersandar di
kursi tinggi depan sebuah meja kotak yang hanya terdapat gelas bening panjang
berisi air berwarna serupa memenuhinya.
Jinki yang tengah duduk di kursi seberang Kyuhyun
membenarkan letak kacamata yang merosot di hidung tinggi miliknya. “Memang.
Lagipula, Choi usianim yang mengatakan padaku.”
Kyuhyun berdecih cukup keras, memalingkan tatapannya dari
wajah datar Jinki kearah yang menurutnya dapur, karena dari tadi pelayan berlalu
lalang dari jalan searah dengan arah pandang Kyuhyun.
“Aku juga baru tahu jika ternyata Choi usianim teman
sekelas hyungku. Kau sudah tahu itu
?” tanya Jinki.
“Tidak. Aku tak tahu.” Jawab Kyuhyun cepat. “Lagipula,
aku memang tak dekat sama sekali dengan Choi usianim.” Lanjut Kyuhyun sedelah
memberi cukup jeda dalam ucapannya.
Jinki mengangguk samar. “Ya. Tak banyak orang yang bisa
berada dalam jarak dekat denganmu dalam waktu lama. Tapi, sepertinya kau cukup
dekat dengan Lee Sungmin sunbae. Aku bahkan sama sekali tak tahu sejak kapan
kalian bisa begitu nyaman saat sedang mengobrol. Dan lagi... Sepertinya Sungmin
sunbae tahu banyak hal tentangmu. Atau jangan-jangan kau sudah lama mengenalnya
?”
Jinki terdiam sesaat, sepertinya sedang mencoba menggali
sesuatu dalam otaknya. Kyuhyun hanya menatap tingkah sahabat kecilnya itu.
“Tapi tak mungkin. Kau hanya mempunyai seorang teman dari
usia lima tahun sampai awal masa high
school.”
“Dan itu kau.” Potong Kyuhyun yang di balas dengan
anggukan singkat dari Jinki.
“Lalu, sejak kapan kau mengenalnya ?” kata Jinki cepat,
manik mata miliknya kini beradu dengan mata coklat Kyuhyun.
Kyuhyun kembali bersandar pada kursinya, enggan menatap
balik mata sipit Jinki yang tampak memicing dan lebih memilih untuk melihat pejalan
kaki yang berlalu lalang dari kaca transparan tepat disebelah kirinya.
Belum sampai Jinki membuka mulutnya lagi, seorang pelayan
wanita datang dengan sebuah nampan besar berisi dua mangkuk mie porsi besar
yang masih mengepulkan asap. Meletakkan dengan perlahan dua mangkuk besar itu
tepat di hadapan masing-masing pemuda tampan yang nampak memandang mangkuk
berisi makanan itu dengan tatapan antusias. Cukup untuk mengalihkan perhatian
Kyuhyun maupun Jinki teralihkan, memang makanan dapat membuat lupa akan
segalanya.
“Selamat makan” seru keduanya
bersamaan sebelum benar-benar melahap habis mie panas yang masih mengepulkan
banyak asap. Dan mereka benar-benar melupakan pembicaraan sebelumnya –mungkin
sampai mangkuk besar di hadapan mereka telah kosong.
Aku bukan hitam.
Bukan pula pekat
yang terselubung di awan.
Aku juga bukan
serangkaian pelangi yang berpendar di titik-titik bening air.
Aku hanya
sekelebat bayang.
Aku bahkan tak
berpadat ruang.
Sekedar melintas dan bergilir.
Laki-laki dewasa dengan jas putih panjang itu duduk
bersandar di atas kursi putarnya. Duduk mendongak langit-langit putih dengan
berotasi 360 derajat. Sesekali dihentikannya laju putar kursi empuk yang
menopang tubuhnya lalu kembali mengulangi kegiatan metutar tubuh beserta kursi
dengan tempo perlahan. Setidaknya laki-laki dengan kacamata flat berframe hitam
tipis yang terpasang rapi di atas hidung bangirnya masih sadar untuk tidak
memutar kursinya dengan tempo yang menggila.
Bip Bip Bip
Bip....
Dengan sekali sentakan, laki-laki itu menghentikan
putaran kursinya dan beralih untuk menggerakkan tangan besarnya meraih sebuah
ponsel hitam yang tengah menyala berkedap-kedip.
1 message
received.
Ponsel hitam itu terlihat kecil di genggaman tangan besar
milik laki-laki berkacamata flat yang terlihat menghela napas berat. Menatap
nama pengirim pesan yang tertampil dalam layar LCD ponselnya. Sepertinya
laki-laki itu enggan walau sekedar menekan layar sentuh ponselnya untuk membaca
isi pesan tersebut. Dan benar, tanpa membaca isi pesan yang didapatnya,
jari-jari besar laki-laki itu lebih memilih untuk menekan opsi delete untuk
pesan singkat itu.
Drrttt Drrttt
Drrttt ....
Memandang sejenak ponsel yang kini tak hanya menyala
berkedap-kedip tetapi juga bergetar pelan dalam genggaman tangan besar laki-laki
itu. Menghela napas sejenak setelahnya dalam sekali gerakan menekan menu kotak
berwarna hijau dalam layar LCD besar itu dan menempelkannya tepat pada telinga
kanannya.
“Menghapus
pesanku lagi eoh, Siwon-ah ?” sergah seseorang di seberang telepon.
Laki-laki itu –Siwon, menyandarkan punggung pada kursi
putarnya, kembali pada posisi awal, mendongak menatap langit-langit putih tepat
di atasnya.
Terdengar helaan napas berat dari seberang. “Sampai kapan kau akan terus mengacuhkanku ?
Aku sudah berjanji padamu. Hal ini akan menjadi yang terakhir kali.... Mungkin
saja.... Setidaknya sampai 10 tahun kedepan.” Kata sesorang diseberang telepon
dengan nada yang semakin merendah pada kalimat terakhirnya.
Siwon –laki-laki berjas putih itu berdecih keras, sama sekali
tak berniat membalas walau dengan sepatah kata saja untuk lawan bicaranya.
“Aku benar-benar
meminta maaf Siwon-ah. Kau hanya perlu diam saja dan aku jamin semua akan
baik-baik saja. Dan mengenai temanmu itu. Aku mohon, berhentilah mencari. Berhentilah
berusaha. Aku tidak mau jika pamanmu akan kehilangan kesabaran atas dirimu.
Lagipula.... tut...tut...tut...”
Siwon muak mendengarkan suara itu, Siwon benar-benar
muak. Bahkan kini wajah tampan laki-laki yang tak bisa dikatakan remaja itu tampak
semakin kaku sejak tangannya dengan keras menyentak ponsel hitam yang
sebelumnya bertengger di telinga kanannya. Jika saja benda yang kini
dicengkeram tangannya dengan erat bukanlah benda penting, sudah pasti nasib
kotak elektronik itu akan berakhir bergeletak di lantai keramik keras tempat
kakinya kini berpijak.
Knock Knock Knock
Siwon menegakkan tubuhnya, mengalihkan perhatiannya pada
pintu kayu coklat yang masih tertutup rapat. Bahkan raut kesal dan amarah yang
sebelumnya terpatri di wajahnya kini berganti dengan sebuah senyuman yang
membuatnya terlihat –tampan.
Pintu coklat yang sebelumnya tertutup rapat kini mulai
bergerak, membuka perlahan hingga memunculkan sosok tinggi dengan badan yang
cukup tambun di baliknya. Siwon memicingkan mata dibalik kacamata minus
miliknya. Memperhatikan pergerakan laki-laki yang jauh lebih dewasa darinya
itu, membuka pintu lebih lebar untuk membuat jarak cukup bagi tubuhnya untuk
memasuki ruangan dengan dominasi warna putih hingga berjalan dengan perlahan
menuju meja kerja Siwon.
Siwon berdiri dari duduknya, membungkuk dalam pada
laki-laki dewasa—paruh baya, yang berdiri dengan disertai senyuman lebar penuh
wibawa milik laki-laki itu.
“Tak usah sesopan itu padaku, Siwon-ah. Ayo, duduklah
lagi.” Seru laki-laki yang lebih dewasa itu.
Siwon menurut, kembali mendaratkan tulang duduk yang
diselimuti daging kenyal pada dudukan kursi putarnya. “Seonsaengnim memerlukan
saya ?” tanya Siwon sopan.
Laki-laki yang dipanggil seonsaengnim itu kembali
tersenyum, mendudukkan dirinya dan menyamankan posisi duduknya. Menatap wajah
tampan Siwon dari balik kaca mata minus yang sedikit lebih lebar daripada
kacamata flat yang dikenakan Siwon.
“Tak usah sungkan seperti itu Siwon-ah. Anggaplah kita
sedang berada di luar lingkungan sekolah. “ kata pria paruh baya itu.
“Siwon-ah... Apakah... Maksudku –apa ayahmu mengatakan sesuatu padamu ?”
Siwon mengerutkan keningnya sebelum membenarkan posisi
duduknya. “Apa maksud paman ? Sesuatu yang berhubungan dengan sekolah atau ...
?” Siwon menjeda, membalas tatapan sepasang mata di depannya.
Pria yang lebih dewasa itu mengangguk samar, memotong
tatapan tajam Siwon dengan beralih menatap sebuah rak tinggi yang dipenuhi oleh
buku-buku dengan beragam ukuran.
“Kau tahu jika aku bukanlah orang yang penyabar. Siwon-ah
? Aku tidak tahu berapa banyak hal yang mungkin kau ketahui. Tapi percayalah,
kau benar-benar tak ingin tahu tentang segala hal.” Pria paruh baya yang masih
terlihat gagah itu menghela napas sejenak sebelum menegakkan punggungnya dan
menopang lengan sepanjang siku pada meja kayu di hadapannya. Menatap manik
Siwon tajam, entah hilang kemana senyuman bijaksana yang sebelumnya selalu di
tampilkan wajah tua itu. “Ada banyak hal yang dibiarkan menjadi rahasia. Dan
seberapa keraspun kau berusaha, selamanya rahasia akan tetap menjadi rahasia,
Siwon-ah.”
Siwon mengangguk, lebih memilih untuk menurut ucapan pamannya
tanpa mengeluarkan bantahan sedikitpun. Siwon mengamini akuan dari pamannya tentang betapa ‘tidak sabaran’ pria paruh
baya itu. Dan Siwon rasa dirinya tak perlu membuktikan ucapan pamannya.
.
At The Same Time
.
“Sudah ingin bercerita ?”
Kyuhyun menatap Jinki dengan raut kebingungan, masih
terlihat terengah saat baru saja dirinya meletakkan mangkuk ketiganya di samping dua buah mangkuk yang
tertumpuk sembarangan.
Jinki menyandarkan punggungnya, memilih melihat pada meja
yang tak lagi kosong, dua mangkuk besar mie yang sudah tak tersisa dan sebuah
mangkuk sedang berisi kimchi yang
masih tersisa sedikit lobak putih di dalamnya. Jangan lupakan sisi meja tepat
dihadapan Kyuhyun yang menopang dua mangkuk yang bertumpuk sembarangan dan di
sebelahnya sebuah mangkuk mi lain yang masih tersisa sedikit mie di dalamnya.
“Kau ingin mendengar bunyi perutku ?” Seru Kyuhyun
terengah, perutnya sepertinya benar-benar terpuaskan.
Jinki mendelik tajam. “Kau kira aku akan melupakan
pertanyaan yang belum ku temui jawabannya ?”
Kyuhyun mengalihkan tatapannya, kembali mengarah pada
orang-orang yang sepertinya akan pernah selesai berlalu lalang di jalanan tepat
di samping kaca transparan kedai kecil yang di tempati Kyuhyun. “Aku tak ingat”
seru kyuhyun pelan.
Jinki menaikkan satu alisnya –heran. Pernyataan Kyuhyun
terdengar ambigu di telinganya. “Tak
ingat ? Kau ingin aku mengulangi pertanyaanku ?” kata Jinki.
Kyuhyun menggeleng, memutuskan membalas tatapan manik
Jinki. “Tak bisakah kau lepaskan kaca mata bodoh itu ? Benar-benar membuatku
iritasi.” Protes Kyuhyun.
Jinki terlihat tak sabar, dengan sekali gerakan cepat,
dirinya telah menyingkirkan kaca mata ‘bodoh’ dari puncak hidungnya dan
menyimpan kaca mata ‘bodoh’ itu dalam saku depan bajunya.
“Begitu lebih baik.” Ucap Kyuhyun disertai senyuman
kemenangan di bibirnya. Tak ada yang tak bisa menentang keinginan seorang
Kyuhyun –apapun itu atau siapapun itu. Tak ada.
“Jangan berkelit lagi. Ceritakan tentang dirimu dan
Sungmin sunbae.” Seru Jinki menahan sabar.
Kyuhyun tertawa melihat kekesalan sahabat kecilnya.
Setelahnya Kyuhyun menerawang, seperti mengingat-ingat sesuatu yang –entahlah.
“Aku tidak ingat bagaimana aku bisa menjadi senyaman itu mengutarakan
kejelakanku padanya. Sungguh aku tak berbohong.” Seru Kyuhyun cepat saat
dilihatnya Jinki hendak menyela.
Jinki terdiam, masih mendengarkan. “Sungmin hyung. Dia...
Entahlah, tapi aku seperti melihat diriku yang hilang ada pada dirinya.” Lanjut
Kyuhyun.
“Kau membuat kesan seolah-olah sudah mengenal dirinya
begitu lama.” kata Jinki sengit.
Kyuhyun menggeleng ringan. “Tidak, seperti yang kau
bilang. Kau satu-satunya orang yang dekat denganku dari kecil sampai kau
tiba-tiba menghilang beberapa bulan yang lalu.”
Jinki mengangguk singkat. “Jadi kau menemukan Sungmin
sunbae sebagai penggantiku, eoh ?” seru Jinki dengan senyuman sinis miliknya.
“Tidak juga, Sungmin hyung... Dia ... sudah kubilang. Dia
itu... Dengarkan aku Onew-ya, kau berbeda dengan Sungmin hyung. Kau adalah
orang yang mengenalku luar dalam begitu juga sebaliknya. Tapi, Sungmin hyung...
dia lebih seperti seseorang yang mengingatkanku akan sesuatu. Tapi aku belum
tahu apa itu.” Kyuhyun menyelesaikan kalimat panjangnya dengan sedikit terbata.
Sama sekali tak memperhatikan Jinki yang tengah duduk menegang saat lagi-lagi
tanpa disadari, Kyuhyun telah memanggilnya dengan nama itu. Nama yang dengan
mudahnya dapat membuat seorang Lee Jinki kehilangan fokusnya.
.
At The Office
.
Ruangan khusus untuk guru ini tampak sedikit berbeda. Tak
ada meja dipenuhi tumpukan buku atau kertas-kertas yang di pisahkan oleh sekat
pendek yang lebih mirip ruang kerja kantor pemerintahan –oke, mungkin benar
dengan tumpukan buku-buku dan kertas hasil kerja siswa.
Sungmin berdiri tepat di sebelah meja yang paling rapi di
bandingkan meja guru lainnya. Sungmin menunduk, sesekali dirinya mengedarkan
pandangan pada ruangan seukuran ruangan kelasnya itu. Pintu ganda berada di
tengah-tengah, terlihat seperti membelah tembok bercat putih. Di sebelah kiri
pintu dalam ruangan terdapat sebuah rak penuh dengan buku-buku bermacam ukuran
yang Sunmin tak ingin ketahui buku jenis apa yang bertengger di sana. Di depan
rak buku itu, terdapat sebuah meja berbentuk persegi panjang yang ukurannya
lebih besar dari meja-meja guru. Mungkin meja baca atau meja untuk makan siang
–pikir Sungmin.
Ruangan besar ini hanya di tempati oleh tujuh orang
seonsaengnim. Bukan berarti sekolah Sungmin hanya memiliki tujuh orang guru. Di
sebelah kiri ruangan terdapat sebuah lubang –seukuran pintu tanpa sekat, yang
menghubungkan ruangan-ruangan guru.
Seorang laki-laki tua dengan rambut yang hampir
seluruhnya memutih melangkah menghampiri Sungmin. Tubuh bongkok laki-laki itu
sepertinya tak menjadikan alasan untuk dirinya segera pensiun –masih terlalu
cepat, katanya. Laki-laki tua itu, Yoon seonsaengnim menatap wajah tertunduk
Sungmin tajam dari balik kaca mata bulat miliknya –Sungmin sedikit menerawang
jika laki-lakimtua ini agak terlihat seperti Albus Dumbledore hanya saja Yoon seonsaengnim tak memiliki janggut
sepanjang penyihir tua yang sudah mati itu.
“Jadi, Lee Sungmin. Siswa kelas 2-4 ...” kata Yoon
seonsaengnim dengan suara seraknya.
“Maaf... kelas 2-2 seonsaengnim.” Ralat Sungmin dengan
suara yang lirih, bahkan lebih terdengar seperti mendesis. Untung saja dalam
ruangan itu hanya terdapat dirinya, Yoon seonsaengnim, beserta seorang guru
muda yang Sungmin lupa namanya.
Yoon seonsaengnim mendelik, dirinya tiddak suka disela,
apapun alasannya. “Kita persingkat, jadi kau tidak menyelesaikan detensi dariku
?” Yoon seonsaengnim memberikan tatapan mengintimidasi.
Sungmin sepertinya benar-benar kehilangan jati diri di
hadapan guru tua itu. Suara sedikit bergetar “Maaf, Tapi... B-buku yang... Buku
yang Anda tu-gaskan tidak ada di perpustakaan sekolah, seonsaengnim.”
“Mustahil. Buku itu tak akan berpindah dari rak-nya jika
bukan karena diriku.” Seru Yoon seonsaengnim ketus.
“Sungguh. Saya tidak mungkin berbohong. The Global Communist. Sepertinya seseorang telah meminjam buku itu.” Seloroh
Sungmin cepat.
Yoon seonsaengnim tampak mengerutkan keningnya sehingga
membuatnya benar-benar tampak seperti papan pengggilasan yang pernah di tunjukkan
Hyukae setahun yang lalu –Oh, Tuhan, Sungmin lagi-lagi merindukan laki-laki
cerewet itu.
“Baiklah kalau seperti itu. Kau harus mencari orang yang
meminjam buku itu. Dan mungkin dua hari cukup untukmu menyelesaikan tugas ini.
Temukan bukunya dan tulisan tanggapanmu. Jangan berusaha mengarang dengan
imajinasi liarmu, Lee Sungmin-ssi. Aku sudah hapal di luar kepala tentang buku
itu. Mengerti ?” Kata Yoon seonsaengnim final.
Sungmin membulatkan mata bundarnya seketika, masa
tugasnya dua hari. Sungmin bahkan yakin jika untuk membaca buku yang mungkin
saja lebih tebal dari buku-buku lain yang saat itu dilihatnya di rak tidak akan
habis dalam waktu satu minggu. Apa-apaan guru tua itu.
“Ah...” Yoon seonsaengnim menggerang, seperti teringat
sesuatu. Tampak besemangat, laki-laki tua yang sedikit bongkok itu berjalan
menuju rak buku yang sebelumnya Sungmin perhatikan. Yoon seonsaengnim seperti
mencari-cari sesuatu diantara tumpukan rapi buku-buku yang ternyata saat di
perhatikan Sungmin lagi rata-rata memiliki ukuran yang besar-besar. Dilihatnya
lagi Yoon seonsaengnim yang sepertinya telah menemukan sebuah buku yang tak
cukup tebal, mungkin hanya seukuran dengan buku cetak pelajaran sejarah
milknya, hanya saja buku dalam genggaman Yoon seonsaengnim tampak lebih pendek.
“Ini...” Sungmin berjalan mendekati Yoon seonsaengnim,
menerima uluran buku dengan tulisan yang tercetak paling besar The Global Communist berwarna hijau
dengan line hitam.
“Sejujurnya, aku bukanlah orang tua kejam yang sering di
gosipkan oleh sunbae-sunbaemu. Sudahlah, cepat kembali ke kelasmu.” Sungmin
bergilir menatap buku ditangannya dan Yoon seonsaengnim. Bisa ulangi apa yang
tengah di katakan orang tua di hadapannya ? Jujur saja Sungmin tak terlalu
jelas menangkap suara serak yang berdesis lirih padanya beberapa detik yang
lalu. Tapi Sungmin tak perduli, setidaknya buku ‘Kutukan Yoon Seonsaengnim’ tak
se-mengerikan apa yang telah di bayangkannya selama ini.
“Saya permisi seonsaengnim. Annyeonghaseyo” kata Sungmin
sopan, membungkuk sempurna setelahnya beranjak meninggalkan ruangan yang sudah
seperti mencekik dirinya itu.
Sungmin benar-benar seperti mendapat oksigen baru. Dan
Sungmin berani bertaruh, berbagi oksigen dengan Yoon seonsaengnim adalah hal
terburuk, seperti terdapat campuran belerang dalam sengal laki-laki tua itu.
Sungmin berjalan ringan, seringan buku yang kini digenggam tangan kirinya. Sedikit
penasaran dengan isi buku ‘Kutukan Yoon Seonsaengnim’ Sungmin memutuskan
membuka buku itu, dan lihatlah apa yang terjadi.
“Bunuh saja aku” lirih Sungmin seiring dengan terhentinya
langkah kaki pemuda itu.
.
.
"Kau membawa buku pelajaran saat sedang membolos, sulit dipercaya." kata Kyuhyun dengan nada mengejek. Saat ini, dirinya dan Jinki tengah berjalan di koridor sekolah yang sudah nampak sepi. Sekitar pukul lima sore dan tentu saja kegiatan belajar mengajar telah selesai sejak dua jam yang lalu. Tak perlu di jelaskan bagaimana Tuan Muda Cho beserta sahabatnya dapat dengan mudahnya keluar masuk sekolah. Bukankah tidak ada hal mustahil bagi seorang Cho Kyuhyun ? Itulah kenyataannya. Dan kadang kenyataan memang tak selalu adil.
Jinki membenarkan letak tas selempang miliknya. "Tentu saja..." Jinki menjeda "TIDAK. Dasar bodoh. Aku hanya membawa sebuah buku. Tapi kurasa tidak terlalu penting." Ujar Jinki sambil mengeluarkan sebuah buku dengan judul berwarna hijau dengan garis hitam pada tiap hurufnya.
"The Global Communist" eja Kyuhyun. "Aku tak tahu jika kau bisa berbahasa Inggris." kata Kyuhyun seraya menggapai buku seukuran dengan buku sejarah Korea miliknya –yang tentu saja jarang di bukanya.
"Memang aku tidak bisa. Aku membutuhkan kamus penerjemah dan itu benar-benar menyulitkan. Jadi mungkin aku akan mengembalikan buku itu besok. Kau mau meminjamnya ?" tawar Jinki kepada Kyuhyun yang tampak membuka-buka buku dengan judul yang sama sekali jauh dari kata menarik.
Kyuhyun menoleh sesaat, menatap wajah Jinki yang menatap lurus kedepan arah berjalannya. "Tidak. Terima Kasih." Kyuhyun menyodorkan kembali buku dengan judul berwarna hijau itu kepada Jinki.
Jinki hanya terdiam dan tak berniat membalas pernyataan Kyuhyun. Kini kedua pemuda itu leih memilih berjalan untuk segera mencapai kamar asrama satu. Suasana koridor semakin sepi dan Kyuhyun maupun Jinki mulai merasa tidak nyaman.
.
TBC
.
a/n butuh pengumpulan mood dan butuh inspirasi yang tiba-tiba nemplok. I still dont understand what I wrote. I am dummy T.T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar