Rabu, 06 Februari 2013

Iridescent 3





“Kau –kau siapa sebenarnya ?” lirih HyukJae menatap tajam pemuda yang masih menampilkan senyum manisnya.

“Aku Lee Donghae” ucap Donghae masih dengan senyumnya.

“Aishhhh....” geram Hyukjae tertahan, mengacak-acak kasar rambutnya. “Lalu dimana aku sekarang ?” ketus HyukJae.

“Kau ada di ruang kesehatan sunbae”

“Terserah kau sajalah. Aku mau keluar dari sini. Bertemu dengan makhluk aneh sepertimu benar-benar membuat kepalaku pusing luar biasa.” HyukJae dengan kasar menurunkan tubuhnya dari ranjang kecil hingga menimbulkan derik yang cukup memekakkan telinga.

“Kau terlihat belum sehat sunbae”

“Diamlah. Jangan berbicara lagi. Suaramu membuat telingaku sakit”

Kembali HyukJae meracau tak jelas. Berjalan dengan sedikit sempoyongan saat dirasa sisa-sisa sakit kepala masih sedikit tertinggal. Menggapai knop pintu di hadapannya dengan cepat, hanya berharap segera terhindar dari makhluk yang sudah di cap –manusia aneh oleh HyukJae.

“Lee Donghae...” lirih HyukJae “Lee Donghae...” kembali HyukJae berujar “KAU” teriak HukJae setelah dirinya dengan gerakan yang teramat cepat telah kembali menghadapkan tubuhnya pada Donghae. 
“Kenapa.. Kenapa aku ?” kembali HyukJae bergumam seraya menatap kedua telapak tangannya dengan pandangan tak percaya.

.

.

Sesosok pemuda tampak hikmat dengan dunianya. Terduduk nyaman memmperhatikan deretan alphabet yang berjejer membentuk sesuatu yang di sebut kata. Bahkan terlampau panjang hinggga berganti pula penamaannya. Peduli setan dengan hal yang tak terlalu penting untuk saat ini. Pemuda itu nampak benar-benar terhanyut oleh buku di hadapannya.

Tampak sesekali pemuda itu mengernyitkan dahinya kala didapatinya sesuatu yang mungkin tak dimengerti olehnya. Perlahan, pemuda itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, selanjutnya menghembuskan napas berat. Mengusap wajahnya sekilas, hingga menimbulkan ekspresi kosong. Tak jelas entah kemana kini pandangan pemuda itu terarah.

.

.

knock knock Knock

Derit pelan dari pintu coklat yang sebelumnya tertutup rapat sampai di telinga seorang laki-laki dewasa dengan setelan khas dokter di tubuhnya. Menatap kearah pintu sampai matanya menangkap bayangan seorang pemuda dihadapannya.

“Anneyong uisanim” ucap pemuda itu lirih seraya membungkukkan tubuhnya sempurna.

“Ya, ada perlu apa ? Ada yang sakit ?”

“Ah, tidak ada uisanim... saya... saya hanya ingin bertanya tentang keadaan siswa bernama Lee HyukJae. Bagaimana keadaannya saat ini ?” ujar pemuda itu lagi.

Namja yang lebih dewasa dalam ruangan tak terlalu luas itu menatap sekilas pada pemuda dihadapannya sebelum memutuskan untuk menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi putarnya.

“Siapa namamu ?” tanya uisanim dengan nada santai.

“Lee Jinki ibnida”


.

.

Sungmin tak menyadari sudah berapa lama dirinya berdiri. Menelisik satu per satu buku-buku yang terlihat usang –meskipun kenyataannya bukan—hanya saja banyaknya debu yang menempel pada buku-buku tebal itu yang memberikan kesan usang. Bagaimana tidak, buku tebal yang terletak di deretan rak pada pojok ruangan, bahkan untuk meliriknya saja sudah membuat mata berkunang-kunang. Hanya orang yang benar-benar membutuhkannya saja yang akan bersuka cita dengan buku tebal itu –seperti Sungmin.

Sapuan tangan Sungmin sesekali terhenti saat merasa menemukan apa yang sedang dicarinya hingga ia melanjutkan sapuan tangannya mengeja satu per satu dari sekian banyak buku tebal dalam rak itu.
Sungmin mengernyitkan dahinya sesaat. “Tidak ada”. Monolognya. Sungmin tidak mengecheck daftar buku dalam komputer yang tersedia di seberang pintu masuk perpustakaan karena dirinya yakin tidak akan ada yang tertarik pada buku yang dicarinya. Tapi, kenyataannya Sungmin tak dapat menemukan buku tebal itu.

Menghentikan langkah lambatnya di jajaran rak buku tinggi, Sungmin terdiam dengan jemari yang masih menyentuh punggung buku yang tak begitu nampak jelas. Mungkin karena usianya yang sudah cukup tua atau memang penjaga perpustakaan yang ak mau repot-repot sekedar membersihkan deretan rak penuh buku tebal yang bahkan sangat jarang –hampir tidak pernah—dikunjungi tentu saja kecuali orang-orang yang betul-betul memiliki kebutuhan akan buku-buku tebal itu.

Sungmin mengendurkan tatapan matanya. “Benar-benar merepotkan tidak ada HyukJae disaat seperti ini” menghela napas berat, memikirkan sahabatnya itu, tiba-tiba saja membuat kepala Sungmin pening bahkan lebih buruk dari sebelum-sebelumnya. Entahlah, dirinya hanya merasa jika kejadian-kejadian janggal yang berada di sekitarnya seolah semakin tak terkendali. Dan semua itu benar-benar membuat Sungmin frustasi.

“Terserah kau mau menganggapku benar-benar gila. Tapi, aku berani bersumpah jika tempat itu sangat hangat... bahkan lebih hangat dari kamar asramaku”

Lagi—entah berapa banyak ingatan tak mengenakkan yang harus hinggap dikepalanya beberapa waktu belakangan ini. Dan kejadian tempo hari benar-benar hampir membuatnya kehilangan kewarasan, Sungmin memang sering melihat hal-hal yang janggal dengan mata terbukanya –bahkan dalam kesadaran penuh. Tapi, kejadian tempo hari adalah yang pertama. Sungmin belum pernah sekalipun berada sedekat itu dengan sosok yang –Sungmin memejamkan matanya, berusaha menghilangkan bayangan yang tiba-tiba kembali dilihat otaknya dengan menggelengkan kepalanya kasar.

Seakan teringat sesuatu, Sungmin kembali termangu, berbisik yang lebih seperti mendesis untuk dirinya sendiri. “Sudah empat hari” Sungmin membelalakkan matanya tak cukup lama, hanya sebuah bentuk kekagetan akan ingatannya yang lain. “Empat hari aku sudah tak melihat gambar hidup itu”. Sungmin kembali menghembuskan napasnya jengah. “Dan empat hari juga HyukJae disembunyikan. Menggelikan. Disembunyikan ?” Sungmin tertawa sinis, tertawa sendirian –tentu saja tidak dengan suara yang keras—hanya menertawakan pemikiran bodohnya saja. Bagaimana bisa dia memikirkan banyak hal-hal aneh seperti itu ?

Untuk kesekian kali Sungmin menelisik jajaran buku-buku tebal itu, barangkali buku tebal incarannya terselip di salah satu buku. Tapi mana mungkin buku tebal itu dapat terselip dijejalan rak seperti itu. Pandangan Sungmin terhenti pada space kosong di antara rak tertinggi. Benar sudah dugaannya, mungkin seseorang telah mendahuluinya mendapatkan buku tebal itu.

“Sepertinya bukan hanya aku yang mendapatkan detensi dari Yoon seonsaengnim” gumamnya lagi. Sebelum benar-benar pergi dari jajaran rak tinggi yang sudah membuatnya benar-benar pengap.

.

.

Pemuda itu terdiam, menatap kosong pada partitur-partitur yang tergeletak rapi di hadapannya. Deretan not balok yang berbeda bentuk tiap barisnya itu seolah menantangnya mentah-mentah. Terlukis rapi, seolah benar-benar mengejeknya dan pemuda itu benar-benar membencinya. Dia tak suka akan keadaannya saat ini. Dia membenci partitur itu, dia membencinya.

Pemuda itu masih terdiam, tatapan kosongnya beberapa detik lalu kini berubah tajam. Menatap tak suka. Pemuda itu benci dan ingin merobek kertas sombong itu. Menghancurkannya hingga tak terlihat lagi deretan not balok yang melukai pandangan matanya.

Dan. Ya. Pemuda itu telah melakukannya –sedang melakukannya, merobek partitur-partitur itu dengan bengisnya. Bahkan dirinya tak mengindahkan teriakan-teriakan terkejut dari sekelilingnya. Pemuda itu tak perduli dia hanya ingin menghancurkan kertas bodoh itu. Dia hanya ingin melakukannya. Dan dia memang sedang melakukannya. Hanya itu.

“Cho Kyuhyun-ssi”

“KELUAR DARI KELASKU” Teriak sebuah suara. Kyuhyun –pemuda itu benar-benar tak perduli dengan teriakan itu. Sang pembuat onar, bukankah itu dirinya ? Menatap wajah berang laki-laki dewasa yang memerah akibat luapan emosi yang tertahan pun tidak dilakukanya. –Buat apa melihay wajah orang yang sudah mengusirnya dari kelas, mungkin seperti itu jalan pikirannya. Dan...

Blammm...

Debaman keras dari bantingan daun pintu tak telak membuat laki-laki paling dewasa dalam ruangan itu mengelus dadanya, menaikkan kacamata datarnya yang melorot sepanjang hidung besar milik laki-laki dewasa itu. Mau bagaimana lagi ? Mengeluarkan Si Pembuat Onar adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya. Berharap menendang sekedar tulang kering anak itu ? Siapa yang tak menginginkannya, tapi apa bisa ? Bisa memang, tapi anak itu tak boleh tersentuh. Oleh siapapun.

.

.

Kyuhyun, pemuda tinggi dengan rambut dark brown yang terlihat mengkilap akibat pantulan sinar matahari itu berjalan dengan langkah tak cepat-tak lambat. Raut wajahnya tegas seiring dengan betapa seriusnya raut yang diperlihatkan oleh pahatan wajah milik pemuda itu. Tatapan mata tajam dengan beberapa kali dengusan napas keras membuktikan betapa tidak baiknya perasaan pemuda Cho itu saat ini.

Mata coklat tua Kyuhyun menangkap sosok lain didepannya, sosok pemuda yang berjalan dengan wajah tertunduk. Mungkin saya sosok pemuda itu tak sadar jika mata tajam Kyuhyun menatap pemuda itu cukup intens. Terbukti dengan terhentinya langkah Kyuhyun, kini dirinya hanya diam berdiri di tengah koridor yang sepi –saat jam pelajaran, masih menatap pemuda yang berjalan tak jauh di depannya. Mungkin hanya tinggal sekitar sepuluh langkah sebelum pemuda itu menabrak tubuh tinggi Kyuhyun.

Delapan langkah....

Enam langkah....

Tiga langkah....

Dua langkah....

“Mencari koinmu yang hilang ?”

Pemuda itu mengangkat wajahnya, terlihat kebingungan sesaat. Mundur selangkah sekedar memberikan jarak pandang lebih luas sebelum kembali menampilkan wajah datar yang sudah menjadi ciri khas dari pemuda itu. “Sejak kapan kau berdiri disini ?”

Kyuhyun kembali mendengus keras. “Kau membolos kelas musik.”

Pemuda yang sedikit lebih pendek dari Kyuhyun hanya mendengus sesaat, memalingkan wajahnya. Hanya tak ingin balas menatap mata Kyuhyun yang seolah dapat menembus bola mata kecoklatan milik pemuda itu.

“Jangan menghindar. Sebenarnya ada apa denganmu akhir-akhir ini ? Kau sudah bosan sanjungan, eoh ?” kata Kyuhyun ketus ”Jinki-ya... kau...”

Jinki memotong ucapan Kyuhyun cepat, “Sudahlah... kau sendiri sedang berkeliaran di koridor saat ini.” Jinki mengusap rambutnya kasar. “Mau membantuku keluar ?”

Sebuah senyuman meremehkan tercipta di bibir tipis Kyuhyun. Bertolak pinggang dan menatap pemuda dihadapannya –Jinki, remeh. Membantu keluar. Kyuhyun memang pembuat onar, tapi tidak serta merta menjadikannya sosok bodoh. Kyuhyun tahu benar apa maksud dari sahabat kecilnya itu. Tapi, mendengar kalimat terlarang keluar dari hasil getaran pita suara seorang Lee Jinki benar-benar membuatnya terlihat....

“Konyol... kau sadar saat mengucapkan itu ?” kata Kyuhyun masih dengan senyuman remeh di sekitar bibirnya.

Jinki menatap Kyuhyun jengah, membiarkan namja Cho itu masih menyunggingkan senyuman memuakkan itu. “Hentikan senyuman bodohmu itu. Atau... kau mau aku mengacau disini ?”

Bukannya berhenti, Kyuhyun malah menggelakkan tawa singkat. “Kau benar-benar ingin keluar rupanya. Baiklah, sepertinya aku juga harus segera keluar dari tempat ini.”

“Kau baru saja berulah, benar kan ?” Jinki memicingkan matanya pada Kyuhyun. “Apa lagi kali ini ? Kau mematahkan bow biola kesayangan Park seonsaengnim ?” sambung Jinki cepat, berusaha mengira-ngira hal ‘mengejutkan’ apa lagi yang telah dilakukan pemuda yang kini tengah berdiri dihadapannya.

Kyuhyun menguap sekilas, menunjukkan jika dirinya mulai bosan. Terlebih mendengar pertanyaan Jinki membuatnya mengingat kejadiaan beberapa menit yang lalu. Merobek kertas-kertas musik kebanggaan guru seni itu. Jangan salahkan dirinya, Park seonsaengnim saja yang dengan seenaknya tiba-tiba menyuruh Kyuhyun memainkan nada-nada dalam partitur itu dengan piano. Kyuhyun membenci piano. Itu kenyataannya, Kyuhyun sangat tidak menyukai bunyi piano yang menurutnya sangat berisik dan mengganggu ketenangan. Aneh memang, tapi lagi-lagi, itulah kenyataannya.

“Berhentilah mengira. Ayo ikut aku.” Kyuhyun melangkah mendahului Jinki, berjalan kearah datangnya Jinki tadi. Belum banyak melangkah, pemuda itu menoleh. “Jika kau belum berubah pikiran.” Lalu, dengan langkah tegas seperti tanpa beban kembali melangkah meninggalkan sosok Jinki yang masih berdiri terdiam ditempatnya. Menatap punggung sahabat kecilnya dengan pandangan kosong yang entahlah apa arti pandangan itu, seperti iba, resah, dan... takut.

“Hey Kyu, tunggu....”

Kini koridor itu kembali sepi. Hanya terdengar suara derap langkah dari ketukan sepatu yang menggesek lantai, semakin melemah... melemah... dan tak terdengar sama sekali. Berganti dengan gemuruh suara gesekan dedaunan yang terbawa angin musim gugur yang dingin.

.

-black zone-

.

Dua orang laki-laki muda itu duduk nyaman –sepertinya, bersebelahan di atas bangku kayu. Pemuda yang lebih kurus duduk di sebelah kanan pemuda yang –tentu-memiliki-badan-yang-lebih-besar tapi tak lebih tinggi dari pemuda kurus yang terlihat mengedarkan pandanan ‘heran’ kesekelilingnya. Sedangkan, seorang lain yang tengah duduk disampingnya –masih tersenyum dengan riangnya. Sesekali pemuda itu juga tampak ikut mengedarkan pandangannya kesekeliling mengikuti arah pandang pemuda di sebelah kirinya.

“Ini aneh sekali... sangat aneh.” Gumam HyukJae lirih.
Donghae –pemuda disampingnya hanya terdiam mendengarkan gumaman yang sama yang diucapkan HyukJae hampir dari tiga puluh menit yang lalu.

HyukJae masih terlihat menjelajah dengan bola matanya ke segala sudut yang dapat di jangkaunya. Sesekali mengernyit heran saat mendapati hal yang dirasanya janggal. Sesekali juga dirinya menolehkan pandangan pada Donghae yang selalu membalasnya dengan senyuman ‘manis’ miliknya.

“Aku masih heran, apa yang sebenarnya terjadi padaku ? Kenapa tanganku menjadi seputih ini ? Bukan... bukan... lebih tepatnya pucat... ya... pucat. Benar-benar mengagetkanku saja.” HyukJae menolehkan wajahnya pada sosok Donghae yang membalasnya lagi-lagi dengan senyuman miliknya. “Kenapa kau sangat suka sekali tersenyum ? Kau memilki masalah dengan wajahmu itu ? Sulit dipercaya. Bagaimana bisa kau melakukan itu setiap saat ? Kumohon, berhentilah tersenyum seperti itu. Kau membuat perutku bergejolak.” Tambah HyukJae dramatis, tentu saja disertai mimik mula ter-bodoh miliknya.

Donghae menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku panjang itu perlahan, terlalu lambat seakan takut jika men-cedera-i punggungnya. “Kau terlalu berlebihan sunbae. Senyumanku tidak akan sampai membunuh seseorang.” Jawab Donghae yang tentu saja masih disertai senyuman –menyebalkan menurut HyukJae— nya.

HyukJae berdecih perlahan, mungkin tak ingin terlalu menghabiskan tenaganya hanya untuk mendebatkan masalah –hentikan—senyuman—bodohmu—itu. Mata sipit HyukJae kembali mengedar, kembali pada kegiatan awalnya. Sampai dahinya mengernyit heran mengakibatkan mata sipitnya hanya tinggal segaris.

HyukJae lagi-lagi –meskipun enggan— menolehkan wajahnya pada Donghae yang terlihat tengah menikmati sapuan angin yang terasa sejuk, terbukti dengan terejamnya kedua manik hitam milik pemuda itu. “Kau mengenal semua murid itu ?” tanya HyukJae menunjuk pada segerombolan pemuda yang baru saja melintas di lorong beberapa meter di depan mereka berdua –HyukJae dan Donghae—.
Donghae membuka matanya dan dengan tanggap menikuti arah tunjuk tangan HyukJae, sedikit memicingkan matanya untuk memastikan penglihatannya. Tak cukup lama, sebelum Donghae mengedikkan bahunya pertanda tak mengenal siapa pemuda yang dimaksudkan oleh HyukJae.

“Begitu...” HyukJae hanya mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti dengan masuk Donghae. “Baguslah... ku kira hanya aku saja yang tak mengenali mereka. Apa mungkin mereka murid tahun pertama ?”

Molla... aku tak terlalu memiliki banyak kenalan murid disini.” Jawab Donghae santai.

“Bilang saja kalau kau sebenarnya memang tak memiliki teman.” Rutuk HyukJae lirih. Kini kedua manik hitam miliknya terfokus pada seorang pemuda dengan setelan seragam yang rapih –lebih rapih dibandingkan dengan murid-murid lain di sekitanya. Pemuda itu, memakai kacamata dengan frame bundar –bayangkan saja kacamata milik Nobita. HyukJae menatap pemuda itu intens, bukan karena efek penampilannya yang cukup ajaib. Hanya saja, HyukJae merasa jika dirinya mengenal pemuda yang terasa tak asing itu.

“Choi usianim.” Eja HyukJae saat tiba-tiba saja otaknya menuju dokter muda tampan yang bekerja sebagai dokter sekolah.

.

Somewhere In Seoul

.

Dua pemuda yang oleh banyak mata dikategorikan tampan itu berjalan dengan santainya di tengah keramaian jalan. Sesekali keduanya tertawa –entah karena apa— detik berikutnya mereka kembali berjalan dengan langkah yang tergolong lambat dan tenang jika dibandingkan dengan banyak pasang kaki yang memilih berjalan dengan tergesah.

“Aku tak menyangka jika kau suka kabur ketempat ramai seperti ini.” Kata Jinki –pemuda dengan kacamata bening dengan frame hitam tipis di pinggirannya.

Pemuda tinggi disampingnya –mengenakan sweater panjang berwarna kuning dengan garis-garis hitam yang mengingatkan siapa saja pada hewan –bee ? Tentu saja. “Kenapa ? Kau berharap aku mengajakmu ke makam ibuku ?” jawab Kyuhyun santai, sama sekali tak terdengar nada getir saat dirinya berucap kalimat tersebut.

Jinki menghentikan langkahnya, memutar arah tubuhnya hingga menjadi berhadapan dengan pemuda yang lebih tinggi darinya itu. Menatap wajah Kyuhyun yang terlihat semakin pucat saat sinar matahari membantu memperjelas seberapa pucat pemuda dengan rambut darkbrown yang terlihat sedikit berwarna merah kehitaman lagi-lagi karena sinar matahari.

“Jangan menatapku seperti itu. Apa yang kau harapkan ? Aku tak akan menangis hanya karena mengatakan hal itu. Lagipula, dia sudah terlalu lama meninggalkanku. Jadi, aku sudah terbiasa tanpa kehadirannya. Bahkan mungkin aku sudah lupa. Kebetulan saja, tadi aku mengingatnya.” Ujar Kyuhyun lancar, memberikan jeda panjang dan kembali melangkahkan kaki panjangnya kedepan. “Hentikan tatapan matamu itu. Kau membuatku iritasi.”

Jinki mengalihkan tatapannya dan memutuskan untuk kembali melangkah bersama sahabatnya. Bibirnya memang sama sekali tak melakukan pergerakan tapi Kyuhyun tahu jika Jinki menyimpan sesuatu dalam pikirannya, bahkan mungkin sesuatu itu juga menyerang batinnya. Jinki yang dikenalnya bukanlah sosok yang akan mencari pelarian bodoh seperti yang saat ini tengah mereka berdua lakukan. Jinki pemuda yang cerdas dan idealis, dirinya akan lebih memilih berdiam dalam ruangannya dan berusaha memecahkan masalahnya. Bukan melarikan diri seperti ini.

“Kau membawa uang lebih ? Aku benar-benar miskin saat ini” ujar Jinki tiba-tiba.

Kyuhyun tertawa singkat, masih dengan berjalan dirinya mengangkat kedua tangannya untuk diletakkan dibelakang kepala. Kau tahu ? Sepertinya Tuan Muda Cho sedang ingin meniru gerakan seorang Ichigo Kurosaki. “Aku tahu jika kau miskin. Aku ingin makan jjajangmyon” kata Kyuhyun dengan suara kerasnya.

Jinki hanya tertawa sambil membenarkan letak kacamata miliknya. Masih terus melangkah tanpa berniat menanggapi kata-kata Kyuhyun.

“Singkirkan kacamatamu itu saat kau menyetor wajahmu di depanku. Kau terlihat seperti Choi uisanim yang sok tampan itu.” Kata Kyuhyun tiba-tiba.

“Choi uisanim yang sok tampan. Dan dia kakak sepupumu.” Balas Jinki dengan senyuman mengejeknya.

“Diam kau Onew-ya...”

Jinki terdiam ditempat, menghentikan langkahnya saat mendengar Kyuhyun mengucapkan nama kecilnya itu. Nama julukan yang diberikan sesorang yang sangat berarti baginya.

.

Back To The Classroom
.

“Kau tahu ? Anak tahun pertama Si Pembuat Onar itu bertingkah lagi. Dia merobek seluruh partitur milik Park seonsaengnim. Bahkan kabarnya dia juga mematahkan bow biola kesayangan Park seonsaengnim.”

Sungmin duduk tenang di bangku yang sialnya hanya berjarak dua meja saja dari kumpulan pemuda penggosip di pojok ruang kelas yang meskipun tak bisa dikatakan sepi tapi tetap saja suara mereka sampai di telinga Sungmin dengan sangat jelas. Andai saja ada HyukJae saat ini... Ah, Sungmin baru menyadari ternyata dia benar-benar merindukan pemuda yang hobi mencibir tak jelas itu.

“Kau tak perlu khawatir Lee Sungmin-ssi, temanmu –Lee HyukJae-ssi sudah dipindahkan ke tempat yang lebih baik. Sepertinya dia mengalami gejala serangan jantung ringan. Itulah kenapa dia tiba-tiba tak sadarkan diri seperti kemarin.”

Sungmin kembali teringat ucapan dokter muda sekolah –Choi uisanim saat dirinya menanyakan perihal keberadaan dan keadaan HyukJae beberapa hari yang lalu dan jawaban seperti itulah yang didapatnya.

“Lee Sungmin-ssi” terdengar sebuah suara berat tepat dihadapan Sungmin.

Sungmin mendongak sekedar memastikan siapa orang yang dengan sukarela menyapa dirinya. “Choi Seunghyun-ssi ?” Sungmin mengernyitkan dahinya pertanda heran akan kedatangan Choi Seunghyun –ketua asrama dua yang sangat jarang bahkan tak pernah menyapa Sungmin sebelumnya.

Choi Seunghyun, pemuda dengan tinggi proporsional itu terlihat –entahlah, Sungmin tak perlu memperdulikan hal tersebut. “Kau di minta menghadap Yoon seonsaengnim. Sekarang di kantornya.” Padat. Tanpa basa basi sedikitpun, Choi Seunghyun bergegas meninggalkan kelas Sungmin. Bahkan laki-laki dengan rambut nyaris gundul itu tidak menunggu balasan jawaban dari Sungmin. Tapi tentu saja, Sungmin tak perlu hal-hal remeh temeh tentang kesopanan seperti itu. Setidaknya Sungmin tahu kapan dan pada siapa dirinya harus bersikap sopan.

Sungmin masih terduduk di atas bangkunya. Enggan. Siapa juga yang dengan sukarela datang menemui Yoon seonsaengnim –guru tua yang benar-benar membuat repot hampir seluruh siswa dengan detensi-detensi yang tak berperikemanusiaan. Dan Sungmin salah satu siswa yang sangat enggan. Bahkan buku setebal 10 cm yang di tugaskan untuk menambal nilainya yang –salahkan saja HyukJae sangat—mengerikan, tidak dapat di temukannya di deretan rak perpustakaan.

“Tamat riwayatmu Lee Sungmin.” Gumam Sungmin pasrah, meletakkan wajahnya pada meja di depannya. Bukankah tadi sang ketua asrama dua –Choi Seunghyun mengatakan untuk menemui Yoon seonsaengnim Sekarang ?

.

A Place In Seoul

.

“Aku tak ingat pernah memberitahumu kalau Choi usianim adalah sepupuku.” Kata Kyuhyun. Saat ini dirinya tengah duduk bersandar di kursi tinggi depan sebuah meja kotak yang hanya terdapat gelas bening panjang berisi air berwarna serupa memenuhinya.

Jinki yang tengah duduk di kursi seberang Kyuhyun membenarkan letak kacamata yang merosot di hidung tinggi miliknya. “Memang. Lagipula, Choi usianim yang mengatakan padaku.”

Kyuhyun berdecih cukup keras, memalingkan tatapannya dari wajah datar Jinki kearah yang menurutnya dapur, karena dari tadi pelayan berlalu lalang dari jalan searah dengan arah pandang Kyuhyun.

“Aku juga baru tahu jika ternyata Choi usianim teman sekelas hyungku. Kau sudah tahu itu ?” tanya Jinki.

“Tidak. Aku tak tahu.” Jawab Kyuhyun cepat. “Lagipula, aku memang tak dekat sama sekali dengan Choi usianim.” Lanjut Kyuhyun sedelah memberi cukup jeda dalam ucapannya.

Jinki mengangguk samar. “Ya. Tak banyak orang yang bisa berada dalam jarak dekat denganmu dalam waktu lama. Tapi, sepertinya kau cukup dekat dengan Lee Sungmin sunbae. Aku bahkan sama sekali tak tahu sejak kapan kalian bisa begitu nyaman saat sedang mengobrol. Dan lagi... Sepertinya Sungmin sunbae tahu banyak hal tentangmu. Atau jangan-jangan kau sudah lama mengenalnya ?”

Jinki terdiam sesaat, sepertinya sedang mencoba menggali sesuatu dalam otaknya. Kyuhyun hanya menatap tingkah sahabat kecilnya itu.

“Tapi tak mungkin. Kau hanya mempunyai seorang teman dari usia lima tahun sampai awal masa high school.”

“Dan itu kau.” Potong Kyuhyun yang di balas dengan anggukan singkat dari Jinki.

“Lalu, sejak kapan kau mengenalnya ?” kata Jinki cepat, manik mata miliknya kini beradu dengan mata coklat Kyuhyun.

Kyuhyun kembali bersandar pada kursinya, enggan menatap balik mata sipit Jinki yang tampak memicing dan lebih memilih untuk melihat pejalan kaki yang berlalu lalang dari kaca transparan tepat disebelah kirinya.

Belum sampai Jinki membuka mulutnya lagi, seorang pelayan wanita datang dengan sebuah nampan besar berisi dua mangkuk mie porsi besar yang masih mengepulkan asap. Meletakkan dengan perlahan dua mangkuk besar itu tepat di hadapan masing-masing pemuda tampan yang nampak memandang mangkuk berisi makanan itu dengan tatapan antusias. Cukup untuk mengalihkan perhatian Kyuhyun maupun Jinki teralihkan, memang makanan dapat membuat lupa akan segalanya.

“Selamat makan” seru keduanya bersamaan sebelum benar-benar melahap habis mie panas yang masih mengepulkan banyak asap. Dan mereka benar-benar melupakan pembicaraan sebelumnya –mungkin sampai mangkuk besar di hadapan mereka telah kosong.

Aku bukan hitam.
Bukan pula pekat yang terselubung di awan.
Aku juga bukan serangkaian pelangi yang berpendar di titik-titik bening air.
Aku hanya sekelebat bayang.
Aku bahkan tak berpadat ruang.
Sekedar melintas dan bergilir.


Laki-laki dewasa dengan jas putih panjang itu duduk bersandar di atas kursi putarnya. Duduk mendongak langit-langit putih dengan berotasi 360 derajat. Sesekali dihentikannya laju putar kursi empuk yang menopang tubuhnya lalu kembali mengulangi kegiatan metutar tubuh beserta kursi dengan tempo perlahan. Setidaknya laki-laki dengan kacamata flat berframe hitam tipis yang terpasang rapi di atas hidung bangirnya masih sadar untuk tidak memutar kursinya dengan tempo yang menggila.

Bip Bip Bip Bip....

Dengan sekali sentakan, laki-laki itu menghentikan putaran kursinya dan beralih untuk menggerakkan tangan besarnya meraih sebuah ponsel hitam yang tengah menyala berkedap-kedip.

1 message received.

Ponsel hitam itu terlihat kecil di genggaman tangan besar milik laki-laki berkacamata flat yang terlihat menghela napas berat. Menatap nama pengirim pesan yang tertampil dalam layar LCD ponselnya. Sepertinya laki-laki itu enggan walau sekedar menekan layar sentuh ponselnya untuk membaca isi pesan tersebut. Dan benar, tanpa membaca isi pesan yang didapatnya, jari-jari besar laki-laki itu lebih memilih untuk menekan opsi delete untuk pesan singkat itu.

Drrttt Drrttt Drrttt ....

Memandang sejenak ponsel yang kini tak hanya menyala berkedap-kedip tetapi juga bergetar pelan dalam genggaman tangan besar laki-laki itu. Menghela napas sejenak setelahnya dalam sekali gerakan menekan menu kotak berwarna hijau dalam layar LCD besar itu dan menempelkannya tepat pada telinga kanannya.

“Menghapus pesanku lagi eoh, Siwon-ah ?” sergah seseorang di seberang telepon.
Laki-laki itu –Siwon, menyandarkan punggung pada kursi putarnya, kembali pada posisi awal, mendongak menatap langit-langit putih tepat di atasnya.

Terdengar helaan napas berat dari seberang. “Sampai kapan kau akan terus mengacuhkanku ? Aku sudah berjanji padamu. Hal ini akan menjadi yang terakhir kali.... Mungkin saja.... Setidaknya sampai 10 tahun kedepan.” Kata sesorang diseberang telepon dengan nada yang semakin merendah pada kalimat terakhirnya.

Siwon –laki-laki berjas putih itu berdecih keras, sama sekali tak berniat membalas walau dengan sepatah kata saja untuk lawan bicaranya.

“Aku benar-benar meminta maaf Siwon-ah. Kau hanya perlu diam saja dan aku jamin semua akan baik-baik saja. Dan mengenai temanmu itu. Aku mohon, berhentilah mencari. Berhentilah berusaha. Aku tidak mau jika pamanmu akan kehilangan kesabaran atas dirimu. Lagipula.... tut...tut...tut...”

Siwon muak mendengarkan suara itu, Siwon benar-benar muak. Bahkan kini wajah tampan laki-laki yang tak bisa dikatakan remaja itu tampak semakin kaku sejak tangannya dengan keras menyentak ponsel hitam yang sebelumnya bertengger di telinga kanannya. Jika saja benda yang kini dicengkeram tangannya dengan erat bukanlah benda penting, sudah pasti nasib kotak elektronik itu akan berakhir bergeletak di lantai keramik keras tempat kakinya kini berpijak.

Knock Knock Knock

Siwon menegakkan tubuhnya, mengalihkan perhatiannya pada pintu kayu coklat yang masih tertutup rapat. Bahkan raut kesal dan amarah yang sebelumnya terpatri di wajahnya kini berganti dengan sebuah senyuman yang membuatnya terlihat –tampan.

Pintu coklat yang sebelumnya tertutup rapat kini mulai bergerak, membuka perlahan hingga memunculkan sosok tinggi dengan badan yang cukup tambun di baliknya. Siwon memicingkan mata dibalik kacamata minus miliknya. Memperhatikan pergerakan laki-laki yang jauh lebih dewasa darinya itu, membuka pintu lebih lebar untuk membuat jarak cukup bagi tubuhnya untuk memasuki ruangan dengan dominasi warna putih hingga berjalan dengan perlahan menuju meja kerja Siwon.

Siwon berdiri dari duduknya, membungkuk dalam pada laki-laki dewasa—paruh baya, yang berdiri dengan disertai senyuman lebar penuh wibawa milik laki-laki itu.

“Tak usah sesopan itu padaku, Siwon-ah. Ayo, duduklah lagi.” Seru laki-laki yang lebih dewasa itu.
Siwon menurut, kembali mendaratkan tulang duduk yang diselimuti daging kenyal pada dudukan kursi putarnya. “Seonsaengnim memerlukan saya ?” tanya Siwon sopan.

Laki-laki yang dipanggil seonsaengnim itu kembali tersenyum, mendudukkan dirinya dan menyamankan posisi duduknya. Menatap wajah tampan Siwon dari balik kaca mata minus yang sedikit lebih lebar daripada kacamata flat yang dikenakan Siwon.

“Tak usah sungkan seperti itu Siwon-ah. Anggaplah kita sedang berada di luar lingkungan sekolah. “ kata pria paruh baya itu. “Siwon-ah... Apakah... Maksudku –apa ayahmu mengatakan sesuatu padamu ?”

Siwon mengerutkan keningnya sebelum membenarkan posisi duduknya. “Apa maksud paman ? Sesuatu yang berhubungan dengan sekolah atau ... ?” Siwon menjeda, membalas tatapan sepasang mata di depannya.

Pria yang lebih dewasa itu mengangguk samar, memotong tatapan tajam Siwon dengan beralih menatap sebuah rak tinggi yang dipenuhi oleh buku-buku dengan beragam ukuran.

“Kau tahu jika aku bukanlah orang yang penyabar. Siwon-ah ? Aku tidak tahu berapa banyak hal yang mungkin kau ketahui. Tapi percayalah, kau benar-benar tak ingin tahu tentang segala hal.” Pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu menghela napas sejenak sebelum menegakkan punggungnya dan menopang lengan sepanjang siku pada meja kayu di hadapannya. Menatap manik Siwon tajam, entah hilang kemana senyuman bijaksana yang sebelumnya selalu di tampilkan wajah tua itu. “Ada banyak hal yang dibiarkan menjadi rahasia. Dan seberapa keraspun kau berusaha, selamanya rahasia akan tetap menjadi rahasia, Siwon-ah.”

Siwon mengangguk, lebih memilih untuk menurut ucapan pamannya tanpa mengeluarkan bantahan sedikitpun. Siwon mengamini akuan dari pamannya tentang betapa ‘tidak sabaran’ pria paruh baya itu. Dan Siwon rasa dirinya tak perlu membuktikan ucapan pamannya.

.

At The Same Time

.

“Sudah ingin bercerita ?”

Kyuhyun menatap Jinki dengan raut kebingungan, masih terlihat terengah saat baru saja dirinya meletakkan mangkuk ketiganya di samping dua buah mangkuk yang tertumpuk sembarangan.

Jinki menyandarkan punggungnya, memilih melihat pada meja yang tak lagi kosong, dua mangkuk besar mie yang sudah tak tersisa dan sebuah mangkuk sedang berisi kimchi yang masih tersisa sedikit lobak putih di dalamnya. Jangan lupakan sisi meja tepat dihadapan Kyuhyun yang menopang dua mangkuk yang bertumpuk sembarangan dan di sebelahnya sebuah mangkuk mi lain yang masih tersisa sedikit mie di dalamnya.

“Kau ingin mendengar bunyi perutku ?” Seru Kyuhyun terengah, perutnya sepertinya benar-benar terpuaskan.

Jinki mendelik tajam. “Kau kira aku akan melupakan pertanyaan yang belum ku temui jawabannya ?”

Kyuhyun mengalihkan tatapannya, kembali mengarah pada orang-orang yang sepertinya akan pernah selesai berlalu lalang di jalanan tepat di samping kaca transparan kedai kecil yang di tempati Kyuhyun. “Aku tak ingat” seru kyuhyun pelan.

Jinki menaikkan satu alisnya –heran. Pernyataan Kyuhyun terdengar ambigu di telinganya. “Tak ingat ? Kau ingin aku mengulangi pertanyaanku ?” kata Jinki.

Kyuhyun menggeleng, memutuskan membalas tatapan manik Jinki. “Tak bisakah kau lepaskan kaca mata bodoh itu ? Benar-benar membuatku iritasi.” Protes Kyuhyun.

Jinki terlihat tak sabar, dengan sekali gerakan cepat, dirinya telah menyingkirkan kaca mata ‘bodoh’ dari puncak hidungnya dan menyimpan kaca mata ‘bodoh’ itu dalam saku depan bajunya.

“Begitu lebih baik.” Ucap Kyuhyun disertai senyuman kemenangan di bibirnya. Tak ada yang tak bisa menentang keinginan seorang Kyuhyun –apapun itu atau siapapun itu. Tak ada.

“Jangan berkelit lagi. Ceritakan tentang dirimu dan Sungmin sunbae.” Seru Jinki menahan sabar.

Kyuhyun tertawa melihat kekesalan sahabat kecilnya. Setelahnya Kyuhyun menerawang, seperti mengingat-ingat sesuatu yang –entahlah. “Aku tidak ingat bagaimana aku bisa menjadi senyaman itu mengutarakan kejelakanku padanya. Sungguh aku tak berbohong.” Seru Kyuhyun cepat saat dilihatnya Jinki hendak menyela.

Jinki terdiam, masih mendengarkan. “Sungmin hyung. Dia... Entahlah, tapi aku seperti melihat diriku yang hilang ada pada dirinya.” Lanjut Kyuhyun.

“Kau membuat kesan seolah-olah sudah mengenal dirinya begitu lama.” kata Jinki sengit.
Kyuhyun menggeleng ringan. “Tidak, seperti yang kau bilang. Kau satu-satunya orang yang dekat denganku dari kecil sampai kau tiba-tiba menghilang beberapa bulan yang lalu.”

Jinki mengangguk singkat. “Jadi kau menemukan Sungmin sunbae sebagai penggantiku, eoh ?” seru Jinki dengan senyuman sinis miliknya.

“Tidak juga, Sungmin hyung... Dia ... sudah kubilang. Dia itu... Dengarkan aku Onew-ya, kau berbeda dengan Sungmin hyung. Kau adalah orang yang mengenalku luar dalam begitu juga sebaliknya. Tapi, Sungmin hyung... dia lebih seperti seseorang yang mengingatkanku akan sesuatu. Tapi aku belum tahu apa itu.” Kyuhyun menyelesaikan kalimat panjangnya dengan sedikit terbata. Sama sekali tak memperhatikan Jinki yang tengah duduk menegang saat lagi-lagi tanpa disadari, Kyuhyun telah memanggilnya dengan nama itu. Nama yang dengan mudahnya dapat membuat seorang Lee Jinki kehilangan fokusnya.

.

At The Office

.

Ruangan khusus untuk guru ini tampak sedikit berbeda. Tak ada meja dipenuhi tumpukan buku atau kertas-kertas yang di pisahkan oleh sekat pendek yang lebih mirip ruang kerja kantor pemerintahan –oke, mungkin benar dengan tumpukan buku-buku dan kertas hasil kerja siswa.

Sungmin berdiri tepat di sebelah meja yang paling rapi di bandingkan meja guru lainnya. Sungmin menunduk, sesekali dirinya mengedarkan pandangan pada ruangan seukuran ruangan kelasnya itu. Pintu ganda berada di tengah-tengah, terlihat seperti membelah tembok bercat putih. Di sebelah kiri pintu dalam ruangan terdapat sebuah rak penuh dengan buku-buku bermacam ukuran yang Sunmin tak ingin ketahui buku jenis apa yang bertengger di sana. Di depan rak buku itu, terdapat sebuah meja berbentuk persegi panjang yang ukurannya lebih besar dari meja-meja guru. Mungkin meja baca atau meja untuk makan siang –pikir Sungmin.

Ruangan besar ini hanya di tempati oleh tujuh orang seonsaengnim. Bukan berarti sekolah Sungmin hanya memiliki tujuh orang guru. Di sebelah kiri ruangan terdapat sebuah lubang –seukuran pintu tanpa sekat, yang menghubungkan ruangan-ruangan guru.

Seorang laki-laki tua dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih melangkah menghampiri Sungmin. Tubuh bongkok laki-laki itu sepertinya tak menjadikan alasan untuk dirinya segera pensiun –masih terlalu cepat, katanya. Laki-laki tua itu, Yoon seonsaengnim menatap wajah tertunduk Sungmin tajam dari balik kaca mata bulat miliknya –Sungmin sedikit menerawang jika laki-lakimtua ini agak terlihat seperti Albus Dumbledore hanya saja Yoon seonsaengnim tak memiliki janggut sepanjang penyihir tua yang sudah mati itu.

“Jadi, Lee Sungmin. Siswa kelas 2-4 ...” kata Yoon seonsaengnim dengan suara seraknya.

“Maaf... kelas 2-2 seonsaengnim.” Ralat Sungmin dengan suara yang lirih, bahkan lebih terdengar seperti mendesis. Untung saja dalam ruangan itu hanya terdapat dirinya, Yoon seonsaengnim, beserta seorang guru muda yang Sungmin lupa namanya.

Yoon seonsaengnim mendelik, dirinya tiddak suka disela, apapun alasannya. “Kita persingkat, jadi kau tidak menyelesaikan detensi dariku ?” Yoon seonsaengnim memberikan tatapan mengintimidasi.

Sungmin sepertinya benar-benar kehilangan jati diri di hadapan guru tua itu. Suara sedikit bergetar “Maaf, Tapi... B-buku yang... Buku yang Anda tu-gaskan tidak ada di perpustakaan sekolah, seonsaengnim.”

“Mustahil. Buku itu tak akan berpindah dari rak-nya jika bukan karena diriku.” Seru Yoon seonsaengnim ketus.

“Sungguh. Saya tidak mungkin berbohong. The Global Communist. Sepertinya seseorang telah meminjam buku itu.” Seloroh Sungmin cepat.

Yoon seonsaengnim tampak mengerutkan keningnya sehingga membuatnya benar-benar tampak seperti papan pengggilasan yang pernah di tunjukkan Hyukae setahun yang lalu –Oh, Tuhan, Sungmin lagi-lagi merindukan laki-laki cerewet itu.

“Baiklah kalau seperti itu. Kau harus mencari orang yang meminjam buku itu. Dan mungkin dua hari cukup untukmu menyelesaikan tugas ini. Temukan bukunya dan tulisan tanggapanmu. Jangan berusaha mengarang dengan imajinasi liarmu, Lee Sungmin-ssi. Aku sudah hapal di luar kepala tentang buku itu. Mengerti ?” Kata Yoon seonsaengnim final.

Sungmin membulatkan mata bundarnya seketika, masa tugasnya dua hari. Sungmin bahkan yakin jika untuk membaca buku yang mungkin saja lebih tebal dari buku-buku lain yang saat itu dilihatnya di rak tidak akan habis dalam waktu satu minggu. Apa-apaan guru tua itu.

“Ah...” Yoon seonsaengnim menggerang, seperti teringat sesuatu. Tampak besemangat, laki-laki tua yang sedikit bongkok itu berjalan menuju rak buku yang sebelumnya Sungmin perhatikan. Yoon seonsaengnim seperti mencari-cari sesuatu diantara tumpukan rapi buku-buku yang ternyata saat di perhatikan Sungmin lagi rata-rata memiliki ukuran yang besar-besar. Dilihatnya lagi Yoon seonsaengnim yang sepertinya telah menemukan sebuah buku yang tak cukup tebal, mungkin hanya seukuran dengan buku cetak pelajaran sejarah milknya, hanya saja buku dalam genggaman Yoon seonsaengnim tampak lebih pendek.

“Ini...” Sungmin berjalan mendekati Yoon seonsaengnim, menerima uluran buku dengan tulisan yang tercetak paling besar The Global Communist berwarna hijau dengan line hitam.

“Sejujurnya, aku bukanlah orang tua kejam yang sering di gosipkan oleh sunbae-sunbaemu. Sudahlah, cepat kembali ke kelasmu.” Sungmin bergilir menatap buku ditangannya dan Yoon seonsaengnim. Bisa ulangi apa yang tengah di katakan orang tua di hadapannya ? Jujur saja Sungmin tak terlalu jelas menangkap suara serak yang berdesis lirih padanya beberapa detik yang lalu. Tapi Sungmin tak perduli, setidaknya buku ‘Kutukan Yoon Seonsaengnim’ tak se-mengerikan apa yang telah di bayangkannya selama ini.

“Saya permisi seonsaengnim. Annyeonghaseyo” kata Sungmin sopan, membungkuk sempurna setelahnya beranjak meninggalkan ruangan yang sudah seperti mencekik dirinya itu.

Sungmin benar-benar seperti mendapat oksigen baru. Dan Sungmin berani bertaruh, berbagi oksigen dengan Yoon seonsaengnim adalah hal terburuk, seperti terdapat campuran belerang dalam sengal laki-laki tua itu. Sungmin berjalan ringan, seringan buku yang kini digenggam tangan kirinya. Sedikit penasaran dengan isi buku ‘Kutukan Yoon Seonsaengnim’ Sungmin memutuskan membuka buku itu, dan lihatlah apa yang terjadi.

“Bunuh saja aku” lirih Sungmin seiring dengan terhentinya langkah kaki pemuda itu.
.
.

"Kau membawa buku pelajaran saat sedang membolos, sulit dipercaya." kata Kyuhyun dengan nada mengejek. Saat ini, dirinya dan Jinki tengah berjalan di koridor sekolah yang sudah nampak sepi. Sekitar pukul lima sore dan tentu saja kegiatan belajar mengajar telah selesai sejak dua jam yang lalu. Tak perlu di jelaskan bagaimana Tuan Muda Cho beserta sahabatnya dapat dengan mudahnya keluar masuk sekolah. Bukankah tidak ada hal mustahil bagi seorang Cho Kyuhyun ? Itulah kenyataannya. Dan kadang kenyataan memang tak selalu adil.

Jinki membenarkan letak tas selempang miliknya. "Tentu saja..." Jinki menjeda "TIDAK. Dasar bodoh. Aku hanya membawa sebuah buku. Tapi kurasa tidak terlalu penting." Ujar Jinki sambil mengeluarkan sebuah buku dengan judul berwarna hijau dengan garis hitam pada tiap hurufnya.

"The Global Communist" eja Kyuhyun. "Aku tak tahu jika kau bisa berbahasa Inggris." kata Kyuhyun seraya menggapai buku seukuran dengan buku sejarah Korea miliknya –yang tentu saja jarang di bukanya. 

"Memang aku tidak bisa. Aku membutuhkan kamus penerjemah dan itu benar-benar menyulitkan. Jadi mungkin aku akan mengembalikan buku itu besok. Kau mau meminjamnya ?" tawar Jinki kepada Kyuhyun yang tampak membuka-buka buku dengan judul yang sama sekali jauh dari kata menarik.

Kyuhyun menoleh sesaat, menatap wajah Jinki yang menatap lurus kedepan arah berjalannya. "Tidak. Terima Kasih." Kyuhyun menyodorkan kembali buku dengan judul berwarna hijau itu kepada Jinki.

Jinki hanya terdiam dan tak berniat membalas pernyataan Kyuhyun. Kini kedua pemuda itu leih memilih berjalan untuk segera mencapai kamar asrama satu. Suasana koridor semakin sepi dan Kyuhyun maupun Jinki mulai merasa tidak nyaman.

.

TBC

.

   
 a/n butuh pengumpulan mood dan butuh inspirasi yang tiba-tiba nemplok. I still dont understand what I wrote. I am dummy T.T
      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar