Sabtu, 20 Oktober 2012

Sebuah Tasbih

“kring kring”

Bel sepeda itu terus berbunyi nyaring mengimbangi laju yang sungguh tak manusiawi, ini terlalu kencang.

Rotasi dua roda yang senada menginjak-nginjak aspal panas yang terlampau bosan disinggahi sinar ultraviolet.

Peluh menetes sepanjang dagu lancip milik sosok yang terlampau semangat mengayuh pedal sepedanya. Peduli setan dengan rambut lepek atau tubuhnya yang terlalu basah oleh h
asil ekskresi kelenjar kulitnya, satu yang hanya ada dipikirnya, mengayuh dan terus mengayuh.

CKIITT

Bunyi gesekan ban sepeda dengan aspal, tak ketinggalan kepulan asal disekitar tempat terhentinya gesekan itu.


Sosok itu berdecak tertahan, sesekali memeriksa pergerakan jarum kecil dalam benda bulat di pergelangan tangan kirinya, sesekali pula pandangan matanya mendelik kearah traffic light yang sepertinya masih enggan memamerkan nyala hijau terangnya.

TING !

Tak perlu membuang waktu, sosok itu bergegas menerobos angkuhnya jalanan saat warna hijau yang sejak beberapa detik lalu menjadi warna favoritnya menyala dengan anggunnya.

Entah sudah berapa lama sosok itu mengayuh, sama sekali tak terpampang raut lelah di mimik mukanya, yang ada hanya senyum yang terus tersungging seperti benar-benar menikmati semilir angin bercampur debu efek dari cepatnya sosok itu mengayuh.

Tepat dihadapannya kini terbaring bangunan yang― penuh, sesak, terlalu ramai oleh makhluk-makhluk Tuhan yang berlalu lalang, kebanyakan terlihat menenteng tas ataupun kardus berbagai macam ukuran.

Kembali pada sosok bersepeda, sosok itu terdiam memperhatikan satu per satu kumpulan manusia di hadapannya, mendengus pelan, setelahnya memutuskan memakirkan sepedanya dan bergegas berlari melewati sebuah pintu bangunan tadi, bahkan sosok itu sama sekali tak merasa linu pada betisnya.

Berlari memeriksa setiap sudut tempat yang bernama stasiun tersebut, sesekali pandangan matanya memeriksa pada gerbong-gerbong kereta yang masih setia teronggok di rel stasiun. Cukup lama sosok itu berkeliling mengitari stasiun, kini kedua kaki panjang milik sosok itu terhenti dengan sudut mata terpaku pada sosok lain yang berdiri tak jauh darinya, saling menatap lekat.

Perlahan sosok pertama berjalan lunglai menuju sosok lain yang tetap tak bergeming.
Sampai, kini kedua sosok itu berhadapan, tak ingin berlama terdiam, sosok pertama merogoh sesuatu dalam kantungnya dan memberikan pada sosok lainnya.

“dari ibu…”
kemudian sosok pertama berlalu meninggalkan lainnya yang memandang sebuah 'tasbih'

[FlashBack]

“sudahlah ibu… biarkan saja orang tak berguna itu pergi” ujar sosok tingi dengan dagu lancip itu dengan emosi tertahan.

“diam kau bocah ! kerjakan saja PRmu sana, tak usah mengurusi urusan orang dewasa” sergah sosok lain tak kalah ketus.

“cih, tau apa kau soalku… pergilah dan kau tak akan menjadi beban ibuku lagi” tambah sosok berdagu lancip tadi, pertahan dirinya menguap entah kemana.

“anak ku
rang ajar, bocah ingusan sepertimu tak pantas hidup, sia-sia saja aku membiarkanmu hidup selama ini” balas sosok lainnya geram.

“asal kau tahu, bahkan akupun tak sudi terlahir setelahmu, hah, bahkan darimu aku belajar kata-kata busuk ini” tak ada pengendalian, hanya amarah yang benar-benar berkuasa.

“berhentilah beradu kata-kata kasar dan duduk dengan tenang, tidak baik mengacuhkan makanan” ujar sosok wanita paruh baya bijak, seolah tak pernah mendengar makian-makian kasar yang sebelumnya memenuhi petak sempit itu.

Dua sosok lainnya saling bertatapan sengit sebelum memutuskan duduk mengikuti pergerakan sosok perempuan sahaja tadi.

“aku akan tetap pergi siang ini” ucap sosok lain di sela kecapan kelenjar saliva dan makanan dalam rongga mulutnya.

“Cih, pergi ya pergi saja, jadi kau tak akan pernah menyusahkan ibu lagi” timpal sosok dagu lancip dengan pandangan sengitnya.

Sebelum gelas dalam genggaman sosok lain benar-benar menghantam sosok dihadapannya, sang perempuan tua berujar lirih.

“lakukan apa yang kau anggap benar” lirih perempuan bersahaja itu.

“Setidaknya berikan aku uang” timpal sosok lain dengan mata berbinar.

“Tak tahu diri. Entah mengapa Tuhan menciptakan manusia tak berguna sepertimu. Parasit !” meskipun dengan intonasi rendah, sosok dengan dagu lancip itu menatap tajam kedua manik sosok di hadapannya.

“Hanya itu yang kupunya untukmu” ungkap perempuan tua tadi, meletakkan sebuah benda usang di atas meja, tepat disamping piring coklat miliknya.

Sosok lainnya hanya menatap benda usang itu datar, setelahnya beranjak dan menghilang di balik pintu.

“Aku tak membutuhkan itu, sudah kuduga, percuma meminta uang kepadamu, aku pergi” sosok lain itu kini berlalu menenteng tas besar dipundak kanannya, meninggalkan petak sempit itu dalam kebisuan, meninggalkan sosok dagu lancip yang mungkin sudah kehabisan kata sinisnya dalam keheningan, meninggalkan sosok wanita sahaja, sosok paruh baya itu terpaku, tertohok pandang pada sebuah benda usang yang bahkan tak di sentuh sosok lain, sebuah 'tasbih'

REPOST From My Status Update Facebook Oct, 9th, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar