1st e-mail
“Aku baru tiba di Paris hari itu. Ini adalah
kunjunganku yang kesekian kalinya ke Paris. Biasanya setiap kali pesawatku
mendarat di bandara Charles de Gaulle,
aku akan melakukan hal-hal yang sudah
rutin kulakukan. Aku turun dari pesawat, mengurus imigrasi, dengan sabar
menunggu bagasiku muncul di ban berjalan, setelah itu langsung keluar dari
bandara tanpa melihat kiri-kanan. Tapi hari itu berbeda. Ketika aku akan keluar
dari bandara, aku melewati sebuah kafe
dan mencium aroma kopi yang enak. Untuk pertama kalinya aku tergoda untuk duduk
dan menikmati secangkir kopi panas. Aku tidak tahu apa yang menarikku, tetapi
aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku hanya lelah setelah berjam-jam duduk di
pesawat yang sempit.
Kafe itu memberi kesan
nyaman, dengan beberapa meja kecil dan kursi empuk. Aku memesan café crème
1 dan ketika menunggu pesananku
itulah sesuatu terjadi. Aku baru
mengeluarkan Blackberry-ku dan mulai memeriksa jadwal kerja selama di Paris ketika seseorang menyenggol koperku yang kuletakkan
di lantai, di samping meja.
‟Maaf.‟
Aku mendongak dan melihat seorang gadis muda sedang
memperbaiki posisi koper berodanya yang menyenggol koperku. Ia tersenyum
sekilas untuk meminta maaf. Sebelum aku
sempat membalas senyumnya atau menyahut, ia sudah berbalik dan berjalan
menjauhi mejaku sambil menarik kopernya. Kuperhatikan ia berjalan ke meja di
dekat jendela kaca besar yang menghadap ke luar bandara. Dalam perjalanan
singkat ke meja itu, kopernya menyenggol
dua kursi dan nyaris melindas kaki salah seorang pelayan. Entah tidak menyadari
atau tidak mau ambil pusing, gadis itu tetap berjalan seakan tidak ada yang
terjadi.
Ia duduk dan menyilangkan
kaki. Posisinya sedikit membelakangiku. Tanpa melirik menu yang ada di meja, ia
memanggil pelayan dan memesan sesuatu. Aku terlalu jauh untuk mendengar apa
yang dikatakannya. Setelah itu ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan
memandang ke luar jendela. Gadis itu... posisi duduknya... kaca jendela
besar... sinar matahari menyinarinya.... Aku terpesona melihat kombinasi semua
itu. Dengan sinar matahari dari luar, sosok gadis itu menjadi agak kabur,
gelap, dan memberikan kesan misterius. Aku bisa saja terus memandangi gadis
itu kalau saja aku tidak menyadari bahwa
aku sudah punya janji bertemu seseorang hari itu.
Kupikir aku tidak akan
bertemu gadis itu lagi, tapi aku mulai menyadari bahwa hidup penuh kejutan. Aku
bertemu lagi dengannya. Malam itu juga. Seperti yang kukatakan tadi, aku punya janji bertemu seorang teman
di sebuah kelab dan aku datang terlalu cepat. Aku mengambil tempat duduk di bar
yang agak ramai dan memesan minuman sambil menunggu.
Kemudian seseorang
menghampiri bar dan berseru, “Hugo! Aku minta tequila sunrise satu lagi!‟
Aku menoleh ke arah suara
lantang dan jernih itu dan agak terkejut mendapati gadis cantik yang berdiri di
sebelahku adalah gadis yang sama yang kutemui di bandara tadi sore. Ia bahkan
masih memakai pakaian yang sama:
turtleneck lengan panjang
berwarna biru turkois dan celana panjang krem. Ia tidak mengenakan jaket.
‟Hugo!‟ seru gadis itu
lagi sambil mengangkat gelas kosong yang dipegangnya untuk menarik perhatian si
bartender.
Bartender berkepala botak
yang dipanggil Hugo itu datang menghampiri.
‟Hugo, tequila sunrise satu lagi,‟ ulang gadis itu sambil menggoyang-goyangkan
gelasnya. Ia menyunggingkan senyum manis, seakan berusaha membujuk si bartender
mengabulkan permintaannya.Kelihatannya si bartender dan gadis itu sudah saling
mengenal dengan baik karena Hugo mengangkat sebelah alisnya dan menatapnya
dengan tatapan curiga, lalu bertanya dengan nada menantang. “Kau datang
sendirian?‟
Si gadis mengangguk tegas,
lalu mengangkat dagu. “Memangnya kenapa?‟ balasnya dengan nada menantang yang
sama.
‟Menurutku kau sudah minum
terlalu banyak,‟ kata Hugo pelan, mengalah sedikit. “Aku bisa dipecat
kalau kau sampai mabuk di
sini.‟
Gadis itu menatap Hugo
dengan mata disipitkan, lalu tersenyum lebar. “Aku belum mabuk, Teman”
bantahnya. Mendadak ia menoleh ke arahku
dan berkata, “Monsieur, tolong katakan padanya kalau aku belum mabuk.‟
Aku mengamati gadis itu.
Menurutku ia memang sedikit mabuk, tapi ia masih bisa berdiri tegak, ucapannya
masih jelas, dan pandangannya masih terfokus.
Aku berdeham dan berkata
pada Hugo, “Sepertinya dia belum terlalu mabuk.‟
Hugo menopangkan kedua
tangan di meja bar dan menggeleng-geleng. “Kalau dia sudah memanggilku Hugo,
artinya dia sudah harus pulang,‟ katanya tegas.
Aku memandang Hugo tidak
mengerti. Hugo menarik napas, lalu berkata dengan nada datar, “Namaku bukan
Hugo.‟
“Aku memanggilmu Hugo
karena namamu sangat susah diucapkan,‟ gadis itu membela diri dan tertawa kecil.
“Tidak berarti aku mabuk.‟
“Karena hari ini kau
datang sendirian, sebaiknya kau jangan mabuk-mabukan,‟ kata Hugo lagi. “Tidak
ada yang bisa mengantarmu pulang kalau kau mabuk.‟
Gadis itu
mengibas-ngibaskan tangannya. “Kau benar-benar menyebalkan, Hugo,‟ gerutunya,
lalu mengangguk. “Tapi kau benar. Minum sendirian memang tidak menyenangkan.
Aku pulang saja.‟
‟Mau kupanggilkan taksi?‟
aku menawarkan. Biasanya aku bukan orang yang suka ikut campur urusan orang
lain. Entah apa yang merasukiku waktu itu.
Dia menatapku. Dari raut
wajahnya aku hampir yakin gadis itu akan mengucapkan kata-kata seperti’Aku
memang sedikit mabuk, tapi aku tidak tolol, Bung. Mana mungkin aku membiarkan diriku
ditipu pria asing yang kutemui di bar? Memanggilkan taksi? Yang benar saja!’. Namun
imajinasiku terlalu berlebihan, karena pada kenyataannya gadis itu hanya
tersenyum, menggeleng pelan, dan berkata, “Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku
bisa sendiri.‟
Aku memandangi punggung
gadis itu sampai ia menghilang di balik kerumunan orang. Aku ingin bertanya
pada Hugo tentang gadis itu, tapi tidak jadi.
Kalau Hugo memang kenal baik dengan gadis itu, ia pasti akan curiga kalau
aku bertanya macam-macam. Tapi harus kuakui, ada sesuatu dari gadis itu yang membuatku
tertarik.
2nd e-mail
Aku bertemu dengan seorang
gadis kemarin. “...berterima kasih kepada gadis yang kutemui kemarin. Dia sudah
berbaik hati menemaniku ke museum, tapi aku malah membuatnya bosan setengah
mati. Walaupun dia tidak berkata apa-apa, tapi tanpa sadar aku menghitung
berapa kali dia menguap selama di museum. Sebelas kali dalam dua jam. Aku sudah
mencatat dalam hati lain kali aku takkan mengajaknya ke museum lagi. Jadi sekarang
aku ingin menghadiahkan sebuah lagu untuknya sebagai ucapan terima kasih karena
sudah begitu sabar dan karena sudah menjadi teman mengobrol yang menyenangkan.
Bisakah Anda putarkan lagu yang bagus untuknya?
P.S. “Sayang
sekali aku tidak punya nomor teleponnya. Karena itu aku hanya bertanya -tanya
sendiri kapan aku akan bertemu dengannya lagi. Hari ini? Besok?”
3rd e-mail
Kalau boleh jujur, dulunya
aku sama sekali tidak suka Paris. Aku juga benci musim gugur. Tetapi
akhir-akhir ini aku merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi.... Paris
berubah menjadi kota yang indah tepat di depan mataku dan musim gugur juga
mulai terasa menyenangkan. Gadis itu yang membuat segalanya berubah. Dia sangat
suka kota ini dan sangat suka musim gugur. Mengherankan sekali.... Aku tidak
pernah menganggap diriku gampang dipengaruhi, tetapi kenapa gadis ini dengan
mudahnya membuatku berubah pikiran?
“Gadis Musim Gugur,
bukankah kau sudah janji mau menerima ajakan kencanku? Kau punya waktu hari
ini?”
4th e-mail
Sebelumnya aku sudah tahu
dia suka Paris, musim gugur (tentu saja!), Sungai Seine, sate kambing, cat kuku
warna-warni, dan mengoceh panjang-lebar. Kemarin aku baru tahu dia juga suka
nonton film -film klasik. Salah satu film favoritnya sepanjang masa, menurut
pengakuannya, adalah Breakfast At Tiffany’s. Tentu bisa
ditebak juga bahwa Audrey Hepburn
adalah aktris favoritnya dan Moon River adalah
lagu kesukaannya. Kalian punya lagu itu? Bisa putarkan untuknya? Dia
pasti senang sekali.
5th e-mail
Astaga! Dia menangis
tersedu-sedu ketika kami menonton DVD My Girl
di tempatku, terutama di bagian ketika tokoh yang diperankan si kecil Macaulay Culkin meninggal dunia.
Walaupun dia menghabiskan seluruh persediaan tisuku, aku sama sekali tidak
keberatan. Aku malah senang, karena dia mengaku itu pertama kalinya dia
mengizinkan dirinya menangis di depan orang lain saat sedang
menonton film.
6th e-mail
Kepalaku pusing sekali
hari ini. Badan juga terasa tidak enak. Semua itu karena aku terpaksa menuruti
permintaannya. Dia membujukku—nyaris memaksa!—menemaninya ke Disneyland kemarin. Bukan hanya
menemaninya ke tempat bermain untuk anak-anak balita itu, tetapi juga
menemaninya mencoba seluruh permainan mengerikan di sana. Kau tahu, kan, jenis
permainan yang bisa membuat jantung copot, mengobrak-abrik isi perut, dan
menjungkirbalikkan otak? Dengan rendah hati kuakui aku sama sekali tidak tahan
dengan permainan seperti itu. Tapi harap dicatat, aku tidak mengeluh.
Setidaknya sedikit pengorbananku itu membuatnya senang.
7th e-mail
Ternyata dia bisa memasak!
Aku sudah pernah mencoba masakannya dan dia hampir sama jagonya
denganku. Hari
ini giliran siapa yang memasak makan malam ya? Dia atau aku? Aku lupa. Pokoknya
hari ini makan malam di tempatnya saja. Gadis Musim Gugur, aku akan ke sana
sepulang kerja.
8th e-mail
Aku ingin tahu apa yang
dilakukannya sekarang? Kurasa dia sedang mendengarkan radio sambil bertopang
dagu dan tersenyum-senyum sendiri. Nah, sekarang ia menaikkan alisnya karena
heran, lalu keningnya berkerut. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya dan berpikir
bagaimana aku bisa menebak dengan benar. Tentu saja aku tahu. Karena aku sering
memerhatikannya. Karena sering memerha tikannya, tanpa sadar aku jadi mengenal
semua kebiasaannya.
9th e-mail
Apakah ada yang tahu
bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai? Aku tahu. Aku
memang baru mengenalnya, tapi rasanya aku sudah mengenalnya seumur hidup. Dan
tiba-tiba saja aku sadar dia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam
hidupku. Aku pertama kali bertemu dengannya di bandara Charles de Gaulle. Lalu tanpa sengaja aku bertemu dengannya lagi di
sebuah kelab ketika dia agak mabuk dan salah menyebut nama si bartender. Aku akhirnya tahu namanya
pada pertemuan kami yang ketiga. Salah seorang temanku memperkenalkannya
kepadaku.
Selama ini aku tidak
pernah percaya pada yang namanya kebetulan, tetapi ini seperti takdir. Karena
akhirnya aku mendapat kesempatan mengenalnya. Saat itu juga aku memutuskan akan
mencoba keberuntunganku. Sudah tiga kali aku bertemu dengannya tanpa
sengaja—tentu saja saat itu dia tidak tahu, karena sejauh yang dia tahu, kami
bertemu pertama kalinya saat temannya memperkenalkan kami—dan aku memutuskan
jika setelah pertemuan ini aku bisa bertemu dengannya secara kebetulan, aku
akan mengambil langkah pertama dan mengajaknya keluar.
Bintang keberuntunganku
ternyata sedang bersinar terang saat itu. Aku bertemu dengannya lagi, tanpa
sengaja. Kali ini dia yang datang menghampiri dan menyapaku. Harus kuakui, aku
begitu terpana sampai-sampai mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepati
janjiku sendiri. Aku pun mengajaknya menemaniku ke museum.
Benar, gadis misterius
yang kutemui di bandara dan Gadis Musim Gugur adalah orang yang sama. Hidup ini
sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit,
kali lainnya hidup mengempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku menyadari
dialah satu-satunya yang paling kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak
di telingaku dia juga satu-satunya orang yang tidak boleh kudapatkan.
Kata-kataku mungkin
terdengar tidak masuk akal, tetapi percayalah, aku rela melepaskan apa saja,
melakukan apa saja, asal bisa bersamanya. Tetapi apakah manusia bisa mengubah
kenyataan?
Satu-satunya yang bisa
kulakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan melupakan
dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya walaupun itu berarti aku
harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya. Pasti butuh waktu lama
sebelum aku bisa menatapnya tanpa merasakan apa yang kurasakan setiap kali aku
melihatnya. Mungkin suatu hari nanti—aku tidak tahu kapan—rasa sakit ini akan
hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali.
Sekarang... Saat ini
saja... Untuk beberapa detik saja... aku ingin bersikap egois. Aku ingin
melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar
belakangku. Tanpa beban, tuntutan, atau harapan, aku ingin mengaku.
“Aku mencintainya”
Ini saya kumpulkan e-mail yang Tatsuya kirimkan ke radio.... Entahlah, saya suka laki-laki ini. Tidak biasa dan saat ditanya oleh Tara "Kau suka mengajak wanita berkencan lewat acara radio ?" lalu Tatsuya menjawab "Tidak. Ini pertama kali. Aku hanya sedang merasa kreatif saja."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar