Senin, 21 Januari 2013

Resume Novel Four Seasons -Ilana Tan-




Assalamu’alaikum

Alohaaa ....

Fida is here ....

Pertama kali posting seperti ini untuk menambah ‘isi’ blog yang mulai penuh sawang disana-sini. Bagi yang ga ngerti apa itu sawang silahkan tanya pada anak bahasa. Ehem XD.

Saya –mending pake kata untuk orang pertama ini saja, saya orang desa jadi ga cocok pake ‘lu’ ‘gue’ apalagi pake ‘akika’. Tapi tambah ga lucu kalo pake nama sendiri buat juga kan. Fida mau cerita, Fida mau berbagi hal, Fida blah blah blah... that’s not my style mameenn...

Yosh. Kali ini, eciee... maksudnya untuk pertama kali ini, saya mau nyoba cuap-cuap tentang karya seorang penulis yang kerennya ga abis. Hahaha. Yup. Buat para pecinta novel romance pasti udah ga asing sama nama Ilana Tan. Tau kan ? Penulis yang sukses dengan novel four seasons yang bener-bener sooo... apa yah... buat kalian yang udah baca pasti taulah maksud saya. Buat yang belum baca silahkan baca biar tahu maksud saya. Hahaha.


OK. Saya akan mulai dari musim panas. Bukan di pantai bukan juga di gunung. Kak Ilana Tan memilih judul Summer In Seoul. Yup. Seperti judulnya, latar dalam novel ini berada di negerinya Super Junior, Korea, tepatnya kota Seoul. Sedikit rekap dari novel ini dalam bahasa saya –bahasa Indonesia maksudnya. Tokoh utama dalam novel ini, Sandy, seorang mahasiswi keturunan Korea-Indonesia yang bekerja sambilan sebagai asisten designer terkenal, Mr. Kim. Oh, ya. Sandy disini juga punya nama Korea, Han Soon Hee(read:Han-Sun-Hi).

Seperti novel romance yang lain, pastilah ada cerita cinta disini. Dan ya, main cast cowonya ga tanggung-tanggung. Memang bukan Lee Minho, Song JoongKi, ataupun Choi Siwon. Bagi yang ga tau siapa nama-nama yang saya sebutin tadi. Silahkan cari di mesin pencari, jangan di mesin lainnya apalagi vanding machine, bagi yang ga tahu apa itu vanding machine sudahlah terserah kalian.

Kembali ke pembahasan, tokoh utama laki-laki di sini –Summer In Seoul digambarkan sebagai sosok tampan Korea yang berprofesi sebagai penyanyi. Catet. Penyanyi, jadi bayangin aja gesturenya kaya Kangta atau siapa lah terserah, saya juga tidak terlalu banyak tau soal penyanyi solo Korea. Oh,ya. Nama castnya Jung Tae Woo (read: Jung-Tae-Wu)

Cerita berawal dari ‘sandiwara’ antara Sandy dengan si artis Jung Tae Woo. Dan seperti yang telah diduga, dari sandiwara menjadi ‘benar-benar’ cinta. Jangan memandang sebelah mata dulu—lihatlah dengan dua mata, itu lebih baik. Pasti, banyak hal-hal yang jadi ganjelan dalam kisah cinta Summer In Seoul. Dan ganjalan yang paling besar adalah sesuatu yang berhubungan dengan Sandy juga Jung Tae Woo. Sesuatu di masa lalu. Biar jadinya kaya efek penasaran gitu saya tidak akan memberitahu ganjalan utamanya. Hahaha.
Memang, kalau boleh jujur nih ya –ga boleh juga ga papa, toh tetep aja saya tulis kan ? –OK yang ini boleh diabaikan. Tanpa sadar, manusia pasti suka membanding bandingkan sesuatu, apalagi kalau sadar ? Termasuk saya, kalau saya bandingkan Summer In Seoul dengan novel season yang lain. Satu kata untuk novel ini ‘easy’.

Kenapa easy ?  OK. Saya jelaskan perlahan. Easy sendiri berarti mudah. Tapi tapi tapi, bukan maksud hati apa-apa. Saya Cuma membandingkan saja dengan novel series yang lain –four seasons jadi hanya akan ada dalam lingkaran novel tersebut. Saya ga mungkin kan membandingkan novel ini sama novelnya Dan Brown atau mangaka Fujiko Fujio.

Saya lanjutkan, easy bermakna mudah. Kenapa ? Karena menurut saya, konflik sampai beberapa part dalam novel ini terkesan terlalu mudah untuk segalanya. Buat seseorang yang cukup mengerti tentang industri hiburan Korea yang penuh drama antara fans dengan idola –seperti saya. Itu memang terlalu mudah. Saya ga berharap cerita dalam novel ini kaya sinetron yang menimbulkan kebodohan massal ataupun sesuatu yang terlihat seperti banjir karena terlalu banyak air mata. Tapi memang nyatanya tidak. Sekali lagi, TIDAK. Setidaknya begitu lebih baik, tapi tetap saja jika saya bendingkan dengan 3 novel series lainnya, Summer In Seoul adalah cerita yang paling mudah. Jangan deskripsikan mudah disini seperti mudah dalam membuatnya. Ayolah, menulis cerita yang saling berkaitan cukup untuk merontokkan rambut. Serius. Jadi intinya, mudah disini dalam artian that’s too easy to get love. Pengen tahu lebih lanjut ? Silahkan baca novelnya sendiri.

Melaju kemusim selanjutnya. Musim gugur. Jangan dulu ngebayangin bunga sakura yang berguguran dengan indahnya. Atau ngebayangin dedaunan yang berguguran seperti di drama-drama romantis Korea. Tapi satu yang benar. Settingnya lagi-lagi bukan di Indonesia, bukan lagi di Korea. Tapi bergeser kearah barat. Bukan Amerika. Tapi Eropa, tepatnya di kota yang dinobatkan sebagai kota yang paling romantis di dunia. Udah bisa nebak ? Kalo lagi-lagi ga tahu, baiklah kali ini akan saya beritahu. Buat yang sudah tahu, apakah kalian menjawab Paris ? Kalo iya, selamat, saya yakin yang bisa jawab dengan benar pasti penggemar roman picisan. Hahaha.

Kali ini penulis, memberikan judul Autumn In Paris. Kebayang dong kan, gimana romantisnya musim gugur di kota Paris, menara effiel, sungai Seine. Oh, manisnya. Untuk maincastnya, lagi-lagi seorang wanita keturunan Indonesia-Prancis. Tara Dupont. Bekerja sebagai penyiar radio. Tinggal bersama ayahnya –bule Prancis. Buat cast yang laki-laki, kali ini seseorang Jepang –arsitek, Tatsuya Fujisawa.

Tara dan Tatsuya. Apakah hanya saya yang berpikir jika dua nama itu terdengar sangat cocok ? Kisah yang... gimana ya nyebutinnya. Pastinya kisah mereka yang membawa sampai pada suatu persaan yang lebih dalam itu bisa terbilang stabil. Mengalir seperti alir, selangkah demi selangkah dan ..... manis. Jujur, saya suka part yang menceritakan tentang surat-surat dari Monsieur Fujitatsu. Saya berani bilang. Kalau ada perempuan yang bilang ga suka digombalin atau ga suka dipuji. Saya berani bilang itu adalah kebohongan. Karena pada kenyataanya, semua wanita suka di gombalin, ya, tapi lihat-lihat juga yang ngegombalin siapa. Hahaha. Tapi sungguh, jika memang beneran ada sosok Tatsuya Fujitatsu di depan saya, ‘abang.... aye mau jadi bininya abang....’.

Pernah denger lagunya Fergie yang Big Girls Don’t Cry ? Kalo ga salah dalam lagu itu ada kalimat yang seperti ini ‘Fairy tales don’t always have a happy ending, do they ?’ dan yosh. Kira-kira seperti itulah akhir cerita Autumn In Paris. Yang pasti, konfliknya tajem banget dan kompleks. Konflik cerita ini berasal dari diri karakter itu sendiri. Dan, yah yah yah. Saya emang ga sempet nangis yang beneran nagis. Cuma nyesek doang. Tapi bayangin dong kalo nyesek itu rasanya kaya gimana.

Kalo buat Summer In Seoul katanya ‘easy’. Kalo buat Autumn In Paris saya kasih label ‘tragic’. Lagi-lagi jangan salah pendeskripsian dahulu. Sebenernya saya mau ngasih label ‘dramatic’ tapi tapi tapi saya rasa 
‘tragic’ lebih cocok. Mengingat dalam ceria ada part dimana Tara Dupont niat mau bunuh diri. Dan, part favorit saya dalam novel ini adalah e-mail terakhir yang dikirimkan Tatsuya ke radio dan juga dua kalimat terakhir dalam e-mail yang dikirim untuk Sebastien. Siapa Sebastien ? Tanyakan langsung pada kak Ilana Tan –baca aja novelnya maksudnya. Ini kalimat yang beneran buat saya pengen hug-him-so-tight. ‘Selama dia bahagia, aku juga akan bahagia. Sesederhana itu.’

Berlanjut season. Setelah musim gugur datanglah salju. Butiran putih dingin yang ga turun di Indonesia –kecuali puncak gunung Jayawijaya kali ya. Setelah Korea, lalu bergeser ke barat di Prancis. Kembali lagi ke Asia. Lagi-lagi bukan Indonesia. Dekat dengan Korea, negara mana lagi kalau bukan negaranya Uchiha Sasuke yang gantengnya udah MasyaAllah Subhanallah itu. Jepang.

Winter In Tokyo. Ishida Keiko. Lagi lagi blesteran Indonesia-Jepang. Penjaga perpustakaan. Dari semua 
karakter wanita di four seasons, saya paling klop sama Keiko ini. Hahaha. Ga tau lah, cuman apa ya, saya suka penggambaran Ishida Keiko yang suka memikirkan hal-hal terlalu jauh dan sepertinya apapun bisa masuk kedalam pikirannya. Dan satu hal lagi yang ngebuat saya klop, karakter Ishida Keiko yang bisa menyembunyikan perasaannya, walaupun tak sebaik saya –nyombong dikit. Tapi setidaknya saya beneran suka sama karakter fiksi ini.

Nishimura Kazuto. Photographer berdarah Jepang yang tinggal lama di New York, Amerika. Saya ngebayangin, Kazuto ini kayak tokoh-tokoh manga yang cool and handsome. Silahkan cari referensi sendiri.

Konflik awal dari diri masing-masing karakter. Keiko dengan cinta pertamanya dan Kazuto yang moving ke Jepang gara-gara patah hati. Dilihat dari ceritanya, Winter In Tokyo punya konflik yang lebih variatif dibanding season yang lain. Mulai dari konflik awal yang saya jelaskan tadi, sampai konflik dengan pihak ketiga dan keempat, juga konflik dengan karakter lain yang cukup ekstrim. Sampai ada part baku hantam juga. Konflik paling tajam itu dari diri Kazuto dan juga self denial yang ga cuman dialami oleh Keiko, tapi juga Kazuto. Dan juga, novel judul ini punya halaman terbanyak.

Saya bingung satu kata apa yang cocok buat novel ini, tapi, mungkin untuk sementara saya akan melabelkan kata ‘sweet’ atau mungkin ‘loveable’ atau mungkin ‘cold’ cocok untuk menggambarkan Winter In Tokyo. Sweet, Loveable, and Cold .... I think... that’s snow.

Satu hal dari novel ini yang membuat saya mengerti akan makna dari kalimat ‘aku melihatmu’ atau ‘I See You’. Saya baru benar-benar mengerti apa makna dari kalimat itu. Bahkan menurut saya kalimat itu lebih dalam maknanya dari pada kalimat ‘I Love You’.

Musim terakhir. Musim Semi. Kembali bergerser ke zona Eropa. Negara surganya pecinta sepak bola. Mana lagi kalau bukan Inggris. FYI, I Love England. I Love Liverpool. Settingnya emang ga di Liverpool tapi lagi-lagi di ibukota, London.

Musim semi Naomi Ishida. Buat yang sadar surename cast yang ini sama Winter In Tokyo. Yosh. Diceritain kalo Naomi Ishida itu saudara kembarnya Keiko Ishida. Bedanya, Naomi Ishida di gambarkan menjadi seorang model yang terkenal. Tinggal di London selama 3 tahun. Untuk karakter laki-lakinya lagi-lagi seseorang yang bukan orang Indonesia, tapi KoreanDanny Jo atau Jo In Hoo (read:Cho In Hu). Kalo di Summer In Seoul, Jung Tae Woo sebagai penyanyi. Disini Danny Jo adalah seorang model yang beambisi jadi sutradara. Jadi kalo ga bisa bayangin lagi-lagi bayangin aja sosok Choi Siwon atau Lee Minho.

Seperti cerita series yang terdahulu, di Spring In London ini konflik utamanya juga dari masa lalu. Oh, ya. Tentang kesamaan four seasons adalah konflik yang berasal dari kejadian di masa lalu, meskipun gitu, Winter In Tokyo emang lebih variatif sih konfliknya seperti yang udah di jelasin di atas. Dan, konflik yang paling tajam akibat kejadian masa lalu menurut saya adalah Autumn In Paris sama Spring In London.

Di season ini, kalo menurut saya, konfliknya udah di slight dari awal cerita. dan juga, cerita season ini juga sepertinya menghargai proses. Dilihat dari jelasnya penggambaran mengenai bagaimana proses itu terjadi. Perlahan tapi tidak merayap. Cepat tapi tidak berlari. Kira-kira seperti itulah. Pendapat pribadi, season musim semi ini adalah season favorit saya. Meskipun saya lebih menyukai Kazuto daripada Danny. Tapi secara keseluruhan saya bisa mengatakan jika cerita ini ‘dewasa’. Bagaimana Danny dan Naomi yang terpisah selama 2 tahun. Masa lalu Naomi yang bisa dibilang menakutkan. Konflik selingan juga ada dari pihak ketiga. Ya, meskipun cuma buat pelengkap doang dan ga terlalu krusial. Dan juga bagaimana cara Naomi dan Danny dalam menyelesaikan konflik.

Summer In Seoul. Autumn In Paris. Winter In Tokyo. Dan. Spring In London.
Cukup sekian review dari saya. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Saya hanya mencoba untuk menulis dengan kejujuran dan kepolosan diri. Dan maaf atas penggunaan bahasa yang tidak konsisten.

Akhir kata. Wassalamu’aliakum Warahmatullahi Wabarakatuh.
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar