Assalamu’alaikum
Alohaaa
....
Fida
is here ....
Pertama
kali posting seperti ini untuk menambah ‘isi’ blog yang mulai penuh sawang disana-sini.
Bagi yang ga ngerti apa itu sawang silahkan tanya pada anak
bahasa. Ehem XD.
Saya
–mending pake kata untuk orang pertama ini saja, saya orang desa jadi ga cocok
pake ‘lu’ ‘gue’ apalagi pake ‘akika’. Tapi tambah ga lucu kalo pake nama
sendiri buat juga kan. Fida mau cerita, Fida mau berbagi hal, Fida blah blah
blah... that’s not my style mameenn...
Yosh.
Kali ini, eciee... maksudnya untuk pertama kali ini, saya mau nyoba cuap-cuap
tentang karya seorang penulis yang kerennya ga abis. Hahaha. Yup. Buat para
pecinta novel romance pasti udah ga asing sama nama Ilana Tan. Tau
kan ? Penulis yang sukses dengan novel four seasons yang
bener-bener sooo... apa yah... buat kalian yang udah baca pasti taulah maksud
saya. Buat yang belum baca silahkan baca biar tahu maksud saya. Hahaha.
OK.
Saya akan mulai dari musim panas. Bukan di pantai bukan juga di gunung. Kak Ilana
Tan memilih judul Summer In Seoul. Yup. Seperti judulnya,
latar dalam novel ini berada di negerinya Super Junior, Korea,
tepatnya kota Seoul. Sedikit rekap dari novel ini dalam bahasa saya –bahasa
Indonesia maksudnya. Tokoh utama dalam novel ini, Sandy, seorang mahasiswi
keturunan Korea-Indonesia yang bekerja sambilan sebagai asisten designer
terkenal, Mr. Kim. Oh, ya. Sandy disini juga punya nama Korea, Han
Soon Hee(read:Han-Sun-Hi).
Seperti
novel romance yang lain, pastilah ada cerita cinta disini. Dan ya, main cast
cowonya ga tanggung-tanggung. Memang bukan Lee Minho, Song JoongKi,
ataupun Choi Siwon. Bagi yang ga tau siapa nama-nama yang saya
sebutin tadi. Silahkan cari di mesin pencari, jangan di mesin lainnya apalagi vanding
machine, bagi yang ga tahu apa itu vanding machine sudahlah
terserah kalian.
Kembali
ke pembahasan, tokoh utama laki-laki di sini –Summer In Seoul digambarkan
sebagai sosok tampan Korea yang berprofesi sebagai penyanyi. Catet. Penyanyi,
jadi bayangin aja gesturenya kaya Kangta atau siapa lah
terserah, saya juga tidak terlalu banyak tau soal penyanyi solo Korea. Oh,ya.
Nama castnya Jung Tae Woo (read: Jung-Tae-Wu)
Cerita
berawal dari ‘sandiwara’ antara Sandy dengan si artis Jung Tae Woo.
Dan seperti yang telah diduga, dari sandiwara menjadi ‘benar-benar’ cinta.
Jangan memandang sebelah mata dulu—lihatlah dengan dua mata, itu lebih baik. Pasti,
banyak hal-hal yang jadi ganjelan dalam kisah cinta Summer
In Seoul. Dan ganjalan yang paling besar adalah sesuatu yang berhubungan
dengan Sandy juga Jung Tae Woo. Sesuatu di masa lalu. Biar jadinya
kaya efek penasaran gitu saya tidak akan memberitahu ganjalan utamanya. Hahaha.
Memang,
kalau boleh jujur nih ya –ga boleh juga ga papa, toh tetep aja saya tulis kan ?
–OK yang ini boleh diabaikan. Tanpa sadar, manusia pasti suka membanding
bandingkan sesuatu, apalagi kalau sadar ? Termasuk saya, kalau saya bandingkan Summer
In Seoul dengan novel season yang lain. Satu kata untuk novel ini
‘easy’.
Kenapa easy ?
OK. Saya jelaskan perlahan. Easy sendiri berarti mudah. Tapi tapi tapi, bukan
maksud hati apa-apa. Saya Cuma membandingkan saja dengan novel series yang lain
–four seasons jadi hanya akan ada dalam lingkaran novel tersebut. Saya ga
mungkin kan membandingkan novel ini sama novelnya Dan Brown atau
mangaka Fujiko Fujio.
Saya
lanjutkan, easy bermakna mudah. Kenapa ? Karena menurut saya, konflik sampai
beberapa part dalam novel ini terkesan terlalu mudah untuk segalanya. Buat
seseorang yang cukup mengerti tentang industri hiburan Korea yang penuh drama
antara fans dengan idola –seperti saya. Itu memang terlalu mudah. Saya ga
berharap cerita dalam novel ini kaya sinetron yang menimbulkan kebodohan massal
ataupun sesuatu yang terlihat seperti banjir karena terlalu banyak air mata.
Tapi memang nyatanya tidak. Sekali lagi, TIDAK. Setidaknya begitu lebih baik,
tapi tetap saja jika saya bendingkan dengan 3 novel series lainnya, Summer
In Seoul adalah cerita yang paling mudah. Jangan deskripsikan mudah
disini seperti mudah dalam membuatnya. Ayolah, menulis cerita yang saling
berkaitan cukup untuk merontokkan rambut. Serius. Jadi intinya, mudah disini
dalam artian that’s too easy to get love. Pengen tahu lebih lanjut
? Silahkan baca novelnya sendiri.
Melaju
kemusim selanjutnya. Musim gugur. Jangan dulu ngebayangin bunga sakura yang berguguran
dengan indahnya. Atau ngebayangin dedaunan yang berguguran seperti di
drama-drama romantis Korea. Tapi satu yang benar. Settingnya lagi-lagi bukan di
Indonesia, bukan lagi di Korea. Tapi bergeser kearah barat. Bukan Amerika. Tapi
Eropa, tepatnya di kota yang dinobatkan sebagai kota yang paling romantis di
dunia. Udah bisa nebak ? Kalo lagi-lagi ga tahu, baiklah kali ini akan saya
beritahu. Buat yang sudah tahu, apakah kalian menjawab Paris ? Kalo iya,
selamat, saya yakin yang bisa jawab dengan benar pasti penggemar roman picisan.
Hahaha.
Kali
ini penulis, memberikan judul Autumn In Paris. Kebayang dong kan,
gimana romantisnya musim gugur di kota Paris, menara effiel, sungai Seine. Oh,
manisnya. Untuk maincastnya, lagi-lagi seorang wanita keturunan
Indonesia-Prancis. Tara Dupont. Bekerja sebagai penyiar radio. Tinggal bersama
ayahnya –bule Prancis. Buat cast yang laki-laki, kali ini seseorang Jepang
–arsitek, Tatsuya Fujisawa.
Tara
dan Tatsuya. Apakah hanya saya yang berpikir jika dua nama itu terdengar sangat
cocok ? Kisah yang... gimana ya nyebutinnya. Pastinya kisah mereka yang membawa
sampai pada suatu persaan yang lebih dalam itu bisa terbilang stabil. Mengalir
seperti alir, selangkah demi selangkah dan ..... manis. Jujur, saya suka part yang
menceritakan tentang surat-surat dari Monsieur Fujitatsu. Saya
berani bilang. Kalau ada perempuan yang bilang ga suka digombalin atau ga suka
dipuji. Saya berani bilang itu adalah kebohongan. Karena pada kenyataanya,
semua wanita suka di gombalin, ya, tapi lihat-lihat juga yang ngegombalin
siapa. Hahaha. Tapi sungguh, jika memang beneran ada sosok Tatsuya Fujitatsu di
depan saya, ‘abang.... aye mau jadi bininya abang....’.
Pernah
denger lagunya Fergie yang Big Girls Don’t Cry ?
Kalo ga salah dalam lagu itu ada kalimat yang seperti ini ‘Fairy tales
don’t always have a happy ending, do they ?’ dan yosh. Kira-kira
seperti itulah akhir cerita Autumn In Paris. Yang pasti, konfliknya
tajem banget dan kompleks. Konflik cerita ini berasal dari diri karakter itu sendiri.
Dan, yah yah yah. Saya emang ga sempet nangis yang beneran nagis. Cuma nyesek
doang. Tapi bayangin dong kalo nyesek itu rasanya kaya gimana.
Kalo
buat Summer In Seoul katanya ‘easy’. Kalo buat Autumn
In Paris saya kasih label ‘tragic’. Lagi-lagi jangan salah
pendeskripsian dahulu. Sebenernya saya mau ngasih label ‘dramatic’ tapi tapi
tapi saya rasa
‘tragic’
lebih cocok. Mengingat dalam ceria ada part dimana Tara Dupont niat mau bunuh
diri. Dan, part favorit saya dalam novel ini adalah e-mail terakhir
yang dikirimkan Tatsuya ke radio dan juga dua kalimat terakhir dalam e-mail yang
dikirim untuk Sebastien. Siapa Sebastien ? Tanyakan langsung pada kak Ilana
Tan –baca aja novelnya maksudnya. Ini kalimat yang beneran buat saya
pengen hug-him-so-tight. ‘Selama dia bahagia, aku juga akan bahagia.
Sesederhana itu.’
Berlanjut
season. Setelah musim gugur datanglah salju. Butiran putih dingin yang ga turun
di Indonesia –kecuali puncak gunung Jayawijaya kali ya. Setelah Korea, lalu
bergeser ke barat di Prancis. Kembali lagi ke Asia. Lagi-lagi bukan Indonesia.
Dekat dengan Korea, negara mana lagi kalau bukan negaranya Uchiha Sasuke yang
gantengnya udah MasyaAllah Subhanallah itu. Jepang.
Winter
In Tokyo. Ishida Keiko. Lagi
lagi blesteran Indonesia-Jepang. Penjaga perpustakaan. Dari semua
karakter
wanita di four seasons, saya paling klop sama Keiko ini. Hahaha. Ga tau lah,
cuman apa ya, saya suka penggambaran Ishida Keiko yang suka
memikirkan hal-hal terlalu jauh dan sepertinya apapun bisa masuk kedalam
pikirannya. Dan satu hal lagi yang ngebuat saya klop, karakter Ishida
Keiko yang bisa menyembunyikan perasaannya, walaupun tak sebaik saya
–nyombong dikit. Tapi setidaknya saya beneran suka sama karakter fiksi ini.
Nishimura
Kazuto. Photographer berdarah Jepang yang tinggal lama di New
York, Amerika. Saya ngebayangin, Kazuto ini kayak tokoh-tokoh
manga yang cool and handsome. Silahkan cari referensi sendiri.
Konflik
awal dari diri masing-masing karakter. Keiko dengan cinta
pertamanya dan Kazuto yang moving ke Jepang
gara-gara patah hati. Dilihat dari ceritanya, Winter In Tokyo punya
konflik yang lebih variatif dibanding season yang lain. Mulai dari konflik awal
yang saya jelaskan tadi, sampai konflik dengan pihak ketiga dan keempat, juga
konflik dengan karakter lain yang cukup ekstrim. Sampai ada part baku hantam
juga. Konflik paling tajam itu dari diri Kazuto dan juga self
denial yang ga cuman dialami oleh Keiko, tapi juga Kazuto.
Dan juga, novel judul ini punya halaman terbanyak.
Saya
bingung satu kata apa yang cocok buat novel ini, tapi, mungkin untuk sementara
saya akan melabelkan kata ‘sweet’ atau mungkin ‘loveable’ atau mungkin ‘cold’
cocok untuk menggambarkan Winter In Tokyo. Sweet, Loveable, and Cold
.... I think... that’s snow.
Satu
hal dari novel ini yang membuat saya mengerti akan makna dari kalimat ‘aku
melihatmu’ atau ‘I See You’. Saya baru benar-benar mengerti apa makna dari
kalimat itu. Bahkan menurut saya kalimat itu lebih dalam maknanya dari pada
kalimat ‘I Love You’.
Musim
terakhir. Musim Semi. Kembali bergerser ke zona Eropa. Negara surganya pecinta
sepak bola. Mana lagi kalau bukan Inggris. FYI, I Love England. I Love
Liverpool. Settingnya emang ga di Liverpool tapi lagi-lagi di ibukota, London.
Musim
semi Naomi Ishida. Buat yang sadar surename cast
yang ini sama Winter In Tokyo. Yosh. Diceritain kalo Naomi
Ishida itu saudara kembarnya Keiko Ishida. Bedanya, Naomi
Ishida di gambarkan menjadi seorang model yang terkenal. Tinggal di
London selama 3 tahun. Untuk karakter laki-lakinya lagi-lagi seseorang yang
bukan orang Indonesia, tapi Korean. Danny Jo atau Jo
In Hoo (read:Cho In Hu). Kalo di Summer In Seoul, Jung Tae
Woo sebagai penyanyi. Disini Danny Jo adalah seorang model
yang beambisi jadi sutradara. Jadi kalo ga bisa bayangin lagi-lagi bayangin aja
sosok Choi Siwon atau Lee Minho.
Seperti
cerita series yang terdahulu, di Spring In London ini konflik
utamanya juga dari masa lalu. Oh, ya. Tentang kesamaan four seasons adalah
konflik yang berasal dari kejadian di masa lalu, meskipun gitu, Winter
In Tokyo emang lebih variatif sih konfliknya seperti yang udah di
jelasin di atas. Dan, konflik yang paling tajam akibat kejadian masa lalu
menurut saya adalah Autumn In Paris sama Spring In
London.
Di
season ini, kalo menurut saya, konfliknya udah di slight dari
awal cerita. dan juga, cerita season ini juga sepertinya menghargai proses.
Dilihat dari jelasnya penggambaran mengenai bagaimana proses itu terjadi.
Perlahan tapi tidak merayap. Cepat tapi tidak berlari. Kira-kira seperti
itulah. Pendapat pribadi, season musim semi ini adalah season favorit saya.
Meskipun saya lebih menyukai Kazuto daripada Danny.
Tapi secara keseluruhan saya bisa mengatakan jika cerita ini ‘dewasa’.
Bagaimana Danny dan Naomi yang terpisah selama 2 tahun. Masa
lalu Naomi yang bisa dibilang menakutkan. Konflik selingan juga
ada dari pihak ketiga. Ya, meskipun cuma buat pelengkap doang dan ga terlalu
krusial. Dan juga bagaimana cara Naomi dan Danny dalam
menyelesaikan konflik.
Summer
In Seoul. Autumn In Paris. Winter In Tokyo. Dan. Spring In London.
Cukup
sekian review dari saya. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan.
Saya hanya mencoba untuk menulis dengan kejujuran dan kepolosan diri. Dan maaf
atas penggunaan bahasa yang tidak konsisten.
Akhir
kata. Wassalamu’aliakum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar