Sabtu, 24 November 2012

IRIDESCENT




Malam hari, suasana gelap tanpa cahaya, hanya temaram di setiap sudut koridor yang sepi. Kerlip lamu neon yang meredup tampak semakin suram, mungkin sebentar lagi pendar suram cahaya itu akan padam. Seakan mendukung, suara gemuruh petir saling menggelegar, beradu ketegasan bunyi yang tercipta. Sedetik kemudian, aliran deras air turun serempak seakan tak mau kalah meramaikan suasana malam itu.

Masih dalam lorong temaram, lampu neon gantung kini bergerak tak tentu arah, bergoyang liar memamerkan pendar cahaya redupnya ke sudut terbatas koridor panjang yang tak terlihat ujungnya, gelap, terlalu gelap sampai retina mata sama sekali tak dapat menangkap seberkaspun cahaya dari tempat yang bagai tak berujung.


‘krieeeetttt’

Bunyi derit kayu tertahan, pergerakan dua papan kayu yang bergesek tertahan. Bukan bunyi yang nyaman jika gendang telingamu begitu terbayang ingin menikmatinya langsung.

‘krieeettt’

Lagi, suara derit kayu itu makin terdengar ‘krieeettt’ tak hanya sekali, suara derit kayu itu makin lama makin memekakkan telinga, terdengar dengan intensitas lebih banyak.

‘krieeettt…krieeettt…krieeettt’

Perpaduan yang sempurna, saat bunyi petir yang makin menggila seakan tak rela dikalahkan oleh aliran deras air yang berlomba menapak bumi terlebih dahulu, ditambah dengan pencahayaan dari neon yang semakin bersemangat memendarkan cahayanya, bergerak tak tentu arah seperti benar-benar sedang mengiringi suara mencekam derit kayu tua. Disana, disudut lorong, tempat berjejernya lemari-lemari kayu dengan banyak kotak berpintu kecil itu. Sebuah kotak di sudut atas almari kayu , sumber derit yang memekakkan telinga. Derit yang ditimbulkan sebuah pintu kecil yang terbuka dan tertutup perlahan. Pintu itu, gelap, bahkan terlalu gelap, sampai saat kau perhatikan lebih jauh ke dalam pintu kecil itu, kau akan tahu apa yang ada dilamnya. Darah ? atau ? sepasang cahaya putih dengan titik hitam ditengahnya yang menatap tajam dan ‘BLAM’ pintu kecil itu tertutup seiring rintihan halus yang dapat dengan mudah didengar gendang telinga semut sekalipun. Entah kemana deretan air langit, entah kemana gelegar petir yang angkuh. Seketika hening, tanpa suara, cahaya neon pun perlahan terdiam, bosan bergerak tak tentu arah, hingga akhirnya lampu neon itu padam. Dan saat itu pula, kau sadar betapa gelapnya lorong itu.

.

.

“IRIDESCENT”

By @artcebis

I try to make something that wandering in my head, so... as bad as what I thought.
I Have not make a decision how to end this fict yet, so... If you ask me about this fict, I’ll answer that ‘I have no idea’. Cause this is me “Fantastic Invisible Dazzling Artcebis” LOL XD

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

“Chagi jangan berlari lagi… aigoo anak ini, dengarkan eomma, jangan berlari dikoridor sekolah chagi…”

Sosok anak kecil usia sekitar 4 tahun itu masih tetap saja berlari, tak mengindahkan teriakan sang eomma yang masih mengejar langkah-langkah kaki kecil itu.

“hahahahaha… kejar aku eomma, ayo kejar…hahahahaha”
“Chagi jangan berlari lagi,…. Berhenti… y….……un ..n I.. ee…….”


Terang, sangat terang. Entah hanya perasaannya saja atau… entahlah tapi mendadak sudut pandang matanya menangkap cahaya yang benar-benar terang, dan apa tadi ? Tawa anak kecil ? halusinasi ya tentu saja halusinasi.

“Sungmin-ah, melamun lagi, eoh ?” tegur suara ringan diiringi tepukan telapak tangan lebar dipundak Sungmin.

Seperti sudah terduga sebelumnya, sosok pemuda tampan berbalut blazer tua yang melekat sempurna ditubuhnya itu hanya tersenyum sebagai jawaban, senyum yang mengganti raut tanpa ekspresi yang ditunjukkan mimik muka pemuda tampan itu beberapa detik yang lalu.

“Kau sudah sarapan ? Temani aku sarapan dikantin, hidup di asrama kenapa semakin lama semakin membuatku menderita ” lenguh pemuda dengan suara ringan, seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya terhadap pemuda tampan disampingnya. Pemuda bersuara ringan ini hanya tahu, bukan, tapi benar-benar tahu kalaupun dia bertanya lebih jauh tentang kebiasaan melamun sahabatnya itu hanya senyumanlah yang akan diberikan sebagai jawaban.

“Hey, Lee HyukJae, siswa tingkat dua sepetimu tak pantas mengeluh seperti itu” meskipun dengan senyum lembutnya, Sungmin benar-benar tahu cara membungkam mulut sahabatnya yang hanya dibalas cibiran kecil dari mulut HyukJae di sepanjang perjalanan menuju kantin sekolah.

.

“Kau mau memesan apa ?” tawar HyukJae pada Sungmain yang sudah terlebih dahulu duduk di meja sudut kantin sekolah yang meskipun masih pagi tapi sudah cukup ramai dikunjungi siswa-siswa kelaparan, seperti HyukJae.

“Apa kau mau mentraktirku ? Ambilkan aku…”

“Aisshhh… apa kau lupa tanggal berapa sekarang ? Kau mau menguras tabunganku ?” sergah HyukJae cepat saat dirasakan gelagat mencurigakan dari pemuda dihadapannya.

“Hahaha…” Sungmin terkekeh perlahan, setelahnya memandang sinis kearah

HyukJae “Buanglah sifat pelitmu itu, kuberitahu sesuatu…” sedikit memberi jeda,
Sungmin menatap tajam kearah manik mata HyukJae yang entah sadar atau tidak telah terbawa suasana yang diciptakan oleh Sungmin, bahkan HyukJae lupa jika perutnya meronta ingin diisi.

“Apa ? Kau ingin memberitahu apa Sungmin ?” sergah HyukJae tak sabar.

“Kau harus membuang sifat pelitmu itu, kalau tidak sampai rambutmu itu rontok dan kau menjadi botak kau akan sulit mendapatkan istri.” Ujar Sungmin dengan mimik yang dibuatnya seserius mungkin, meski ujungnya Sungmin benar-benar tak bisa menahan untuk tidak tertawa melihat wajah lugu sahabatnya. Gampang dibodohi bukan ?

Tanpa berniat membalas ucapan Sungmin, HyukJae melenggang pergi menuju counter makanan di pusat kantin. Benar-benar meninggalkan Sungmin yang masih berusaha menahan ledakan tawanya.

“eomma… aku mau pulang sekarang ! Bosan… bosan…bosan…” ujar sosok anak kecil, duduk manis di atas bangku kayu sambil menggoyang-goyangkan kaki kecilnya.


“Tunggu sebentar chagi…tunggu appa ne ?” balas sosok ibu muda yang memandang malaikat kecilnya dengan senyum manisnya.



“Appa lama eomma… aku bosan !” anak kecil itu tetap saja merengek, mempoutkan bibirnya lucu.

“Ah, eomma punya ide… bagaimana kalau sekarang kita susul appamu saja” Ujar wanita itu, berlagak seolah menemukan ide yang benar-benar brilian, tentu saja setelah memeriksa arloji di pergelangan tangan kirinya.



“Neeeeee…. Let’s Go eomma…” ungkap anak kecil tadi semangat sambil melompat tiba-tiba dari bangku kayu tempat duduknya. Tak ayal membuat sang eomma berteriak tertahan, khawatir akan malaikat mungilnya.


“Ini…” Sedikit bunyi ‘dug’ kecil terdengar kala HyukJae meletakkan asal segelas lemon tea di hadapan Sungmin yang lagi-lagi didapatinya sedang melamun.

“ah… gomawoyo, HyukJae…” Dan lagi, Sungmin hanya memamerkan senyumnya pada HyukJae sambil menyedot perlahan air berwarna coklat kekuningan dalam gelas panjang itu.

HyukJae tampaknya sudah benar-benar terbiasa dengan kelakuan Sungmin yang serba ‘tiba-tiba’. Terbukti, HyukJae dengan asyiknya menikmati nasi putih dengan kimchi di hadapannya, kelaparan mungkin. Sedangkan Sungmin kembali tenggelam dengan dunianya, seperti sedang memikirkan sesuatu yang mengusik alam pikir dan juga batinnya.

.

.

“Hey, kau tahu anak itu berulah lagi”

“Siapa ? Anak tingkat satu itu ?”

“Ne, padahal baru siswa tingkat satu, tapi setiap hari selalu berulah”

“Anak Ketua Dewan Pemerintah, berandal seperti apapun juga, sekolah tak akan pernah berani mengeluarkannya.”

“Tsk-ed… berisik sekali laki-laki tukang gossip seperti mereka. Mengganggu acara belajarku saja”. Keluh HyukJae tertahan, berbisik tentu saja. Biar bagaimanapun HyukJae tak mau jika ia harus menjadi bahan cibiran kumpulan pemuda penggosip disudut ruang kelas itu.

“Diam saja dan tetaplah menulis, gerakan tiba-tibamu itu mengacaukan tulisan rapihku”. Kini giliran Sungmin yang berujar tak lupa dengan tatapan sinisnya kearah HyukJae.

“Tapi, ngomong-ngomong apa lagi ulah anak kecil itu sekarang ?” Tanya HyukJae, sebut saja dia plinplan tapi rasa penasarannya mulai tergali sekarang.

“Ishh… mana aku tahu, sudahlah diam dan terus mencatat, aigoo angka-angka ini membuatku sakit kapala.” Sungmin membenamkan kepalanya di tangkupan tangannya.

“Hey, kalian… beritahu aku ulah anak itu ”. Tak ada pasal menyerah bagi HyukJae, kecuali aksi bungkamnya akan perilaku Sungmin yang ‘tiba-tiba’, segalanya akan ditempuh termasuk berinteraksi dengan pemuda penggosip di sudut sana.

“Anak itu ? Cho Kyuhyun maksudmu ?” tanya seorang diantaranya.

“Ne, siapa lagi kalau bukan anak itu, ayo cepat katakan” sergah HyukJae tak sabaran.

“Kali ini ulahnya benar-benar mengerikan. Bahkan lebih mengerikan daripada keisengannya yang hampir membuat laboratorium kimia terbakar.”

“Separah itu ?” balas HyukJae semakin tertarik.

“Ye… Tadi pagi dia membabat habis bunga mawar yang baru mekar di kebun biologi. Kau harus melihat keadaan taman mawar itu, benar-benar mengenaskan”.

“Aku rasa membabat habis mawar-mawar itu lebih baik daripada nyaris membakar laboratorium kimia” ujar Sungmin tiba-tiba setelah puas membenamkan kepalanya diatas meja.

“Hey, Lee HyukJae berhenti membicarakan orang lain, kuserahkan tugas mencatat ini padamu” Sambil menepuk pundak HyukJae tegas, Sungmin beranjak keluar kelas pengap itu. Sama sekali tak mengindahkan cibiran-cibiran dari para pemuda penggosip yang sempat tertangkap gendang telinganya.

.

.

Matahari terik tepat diatas kepala tak menghalangi pemandangan indah itu, bunga mawar yang tengah mekar-mekarnya memamerkan merah nyalanya yang terang. Tak sedikit pula kupu-kupu beterbangan mengelilingi pucuk-pucuk harum kelopak mawar di berbagai sudut lahan yang dipenuhi pohon-pohon bunga mawar merah yang merekahkan mahkotanya.


“eomma… lihat mawar-mawar itu… cantik” seru seorang anak kecil, berlari ditepian lahan mawar, kemudian berhenti sejenak berjongkok untuk sekedar menikmati harum yang menguar dari kelopak-kelopak merah itu. “tapi tetap saja tak secantik nae eomma” ujar namja kecil itu lagi disertai senyuman manis yang ditujukan kepada sang eomma. Sedangkan wanita yang dipanggilnya eomma hanya tersenyum manis menanggapi celotehan namja mungilnya.


Sungmin memejamkan matanya hikmat, berusaha memasukkan sebanyak mungkin oksigen kedalam rongga paru-parunya, saat dirasa cukup Sungmin perlahan membuka kelopak matanya, memandang lurus pemandangan yang terjadi dihadapannya.Sebuah lahan yang telah dibabat habis tanpa rasa manusiawi. Terlihat beberapa pekerja di sudut-sudut tertentu lahan itu, membersihkan segala carut marut yang terjadi, bahkan Sungmin berani bertaruh jika tidak akan ada yang percaya jika sebelumnya lahan itu dipenuhi oleh mawar-mawar merah yang sedang bermekaran.

“Kau disini ?” ujar sebuah suara dibelakang Sungmin.

“Seperti yang kau lihat” balas Sungmin singkat tanpa menolehkan kepalanya sedikitpun.

“Huh …” Sosok itu menghembuskan napas sejenak setelahnya memutuskan untuk mendudukkan dirinya tepat disamping Sungmin.

“Merasa menyesal ?” ujar Sungmin seraya menatap wajah sendu disampingnya.
Bukannya menjawab, sosok itu hanya terkekeh pelan menanggapi petanyaan dari Sungmin.

“Hei, berhentilah tertawa, kau bahkan terlihat sangat menyedihkan sekarang” tambah Sungmin.

“Aku ditakdirkan untuk menjadi Si Berandal Pembuat Onar, jadi apa perlu aku menjawab hal itu ?” jawab sosok itu lantang, meski tak dapat dipungkiri jika terdapat getaran dalam suara yang dikeluarkannya.

“Kau hanya anak manja yang sok menjadi bajingan, Cho Kyuhyun” decih Sungmin.

“hahaha… begitukah ?” balas sosok itu¬¬—Kyuhyun, hanya tertawa sekejap karena detik berikutnya, tawa itu redam teratur seraya pandangan matanya yang menatap lurus keadaan lahan yang –mengerikan akibat hasil perbuatannya.

Sungmin hanya terdiam mengikuti arah pandang sosok disebelahnya hingga hanya keheningan yang menyelimuti dua sosok yang duduk bersebelahan itu. Siapa sangka jika Si Aneh Lee Sungmin bisa sedekat itu berhubungan dengan Si Pembuat Onar Cho Kyuhyun. Mungkin keadaan yang memandang mereka berdua sebagai sosok berbeda yang menautkan pribadi masing-masing.

.

.

Taukah apa yang disembunyikan sang malam ? Sesutu yang bersembunyi di angkuhnya gelap. Saat matahari bergilir oleh rotasi bumi, saat itu pula pendar cahayanya dititipkan pada benda tak bercahaya dilangit gelap.

‘Tap Tap Tap’

Jika kau mengira itu bunyi tapak sepatu, ya, mungkin kau benar hanya saja bunyi itu terlalu lamban, bukan, tapi sangat lamban hingga memaksa gendang telingamu untuk terus mendengar bunyi itu secara konstan.

‘Tap… Tap… Tap…’

Lorong panjang itu terlalu sepi dan terlalu temaram, hanya mengandalkan titipan sinar matahari dan seberkas cahaya dari neon yang sudah meredup.

“HanSung-ah… ayolah, cepat langkahkan kakimu itu” seru sosok laki-laki muda dengan tumpukan buku ditangannya.

Sedangkan sosok yang dipanggilnya HanSung seperti tak mendengar ucapan sosok yang telah berjalan lebih dulu dihadapannya, masih berjalan santai dengan buku yang juga bertumpuk di tangannya.

“HanSung-ah…” lirih sosok itu lagi, kali ini sosok itu memelankan langkahnya dan berbalik menatap sosok lain dihadapannya “Han…” Kebingungan, bagaimana tidak, bukankah tadi HanSung masih berada dibelakangnya ? Tapi kosong tak ada siapapun disana. Dibalikkan tubuhnya, barangkali akan menemukan sosok HanSung yang akan mengagetkannya dari belakang tapi tetap NIHIL hanya ada sosoknya di sepanjang lorong itu.

“HanSung-ah, kau dimana ? Ayolah ini tidak lucu… HanSung-ah ??? HanSung-ah ??? Keluarlah… kau berhasil, aku benar-benar takut sekarang …” ujar sosok itu dengan suara bergetar.

Masih tak mendapat tanda-tanda keadaan temannya, perlahan sosok itu berjalan, melangkah perlahan kembali menyusuri lorong temaram itu dengan lutut gemetar hebat.

‘krriiieeettt’

Sosok itu seketika membalikkan tubuhnya, memeriksa keadaan di balik pungggungnya. KOSONG. Kembali memperhatikan sekitarnya, sebelum memutuskan untuk kembali berjalan perlahan.

‘ting… ting… ting…’

Tubuh itu menegang seketika, merasa indera pendengarannya menangkap sebuah lantunan melody tak teratur, bukan, sungguh ini bukan suara asing hanya saja mendengarkan lantunan melody disaat seperti ini bukanlah pilihan yang tepat. Tak dapat bergerak, hanya terdiam terpaku ditempat dengan tumpukan buku yang bergetar hebat. Suara denting piano beradu dengan suara deritan kayu tua yang bergesek, perpaduan yang sangat tak ingin dinikmati oleh sosok yang kini hanya diam terpaku, tepat dihadapannya sebuah pintu besar yang perlahan terbuka. Tak banyak cahaya yang berasal dari celah itu. Tapi sosok itu bahkan bersumpah jika dirinya pun tak dapat mengalihkan pandangannya atau hanya sekedar menutup kelopak matanya. Sosok itu berani kembali bersumpah saat dirasakan angin terlampau dingin berhembus melewati tengkuknya, serasa dicengkeram tepat di pangkal leher membuat pandangan matanya terpaku. Di celah pintu itu, celah yang perlahan terbuka makin melebar dengan suara denting piano yang makin terdengar jelas menabuh gendang telinganya.

‘ting… ting… ting…’

“Ha… Han… Han…” Kini sosok itu makin terpaku, menjatuhkan seluruh tumpukan buku digenggamannya, memandang lurus kedepan, sesuatu dibalik pintu besar itu, sesuatu yang berayun dengan sesekali masih membunyikan tuts-tuts piano itu.

.

-lucifer-

.

“Sungmin-ah, Lee Sungmin ireona, gwaenchana ?” sebuah tangan mengoyak punggung pemuda yang masih terbaring sambil menggerakkan kepalanya gelisah, peluh memenuhi dahi bahkan seluruh wajah pemuda itu, sampai sesaat setelahnya sosok itu membuka kelopak matanya tiba-tiba.

“Sungmin-ah, gwaenchana ?” lirih sebuah suara—HyukJae saat diapatinya Sungmin yang lagi-lagi terdiam, pandangan matanya kosong serta peluh yang tak ada habisnya membanjiri wajah namja itu.

“Lee Sungmin ?” panggil HyukJae sekali lagi.

“Ah, ne... kau memanggilku ?” jawab Sungmin tiba-tiba, kentara sekali jika pemuda itu berusaha mengembalikan kesadarannya.

“Kulihat kau sangat gelisah dalam tidurmu jadi aku berinisiatif untuk membangunkanmu, kau baik-baik saja ?” kembali HyukJae berujar lirih seraya menyodorkan segelas air putih yang diambilnya dari meja nakas milik Sungmin.

Sungmin hanya terdiam, masih sesekali terlihat tatapan matanya yang kosong, meskipun tangannya bereaksi mengambil alih gelas itu dari genggaman HyukJae.

“Apa kau mendengar itu ?” ucap Sungmin tiba-tiba.

“Kau mendengarnya ?” ujar Sungmin lagi, kini tatapannya menatap tak fokus pada HyukJae.

“A..Ap...apa ? Mendengar apa maksudmu ? Kau mendengar sesuatu ?” HyukJae yang semula tenang kini ikut gelisah, memandang ke segala arah dalam kamar miliknya dan Sungmin, mencoba mencari sesuatu yang mungkin membuat sahabatnya gelisah dan tak fokus seperti biasanya.

“Denting piano, ya, tak salah lagi, ini bunyi piano, kau masih tak mendengarnya ?

Bahkan ini keras sekali” kembali Sungmin berucap lirih dengan tatapan matanya yang tak fokus, terkadang melihat samping kiri-kanannya atau melirik kearah pintu kamarnya.

“Sungmin-ah, kau tahu ini mulai tidak lucu, aku lebih suka mendengar kalimat menyakitkanmu daripada kau mengatakan hal yang sama sekali tak ku mengerti, kau membuatku takut” racau HyukJae.

“Dengar, berusahalah untuk mendengarnya, dengarlah, bukan nada yang indah, ini... ini mengerikan” Sungmin semakin meracau tak jelas, seakan mencoba menulikan telinganya dari berbagai sumber dan hanya memfokuskan fungsi pendengarannya hanya pada suara yang diyakininya ada, suara denting piano.

“Sungmin, kau yakin sedang dalam keadaan baik ?” parau HyukJae sesekali mencoba menggenggam telapak tangan berkeringat Sungmin yang entah mengapa terasa sangat dingin.

‘brakk’

“Ruang musik terbakar” terang seorang namja yang baru saja membuka paksa pintu kamar

Sungmin dan HyukJae dengan mudahnya, mungkin mereka lupa menguncinya. Hanya saja itu bukan hal penting sekarang jika dibandingkan dengan seruan namja yang dengan beringasnya membuka semua pintu kamar asrama itu.

Suasana hening seketika menjadi ramai, banyak murid yang seluruhnya namja berhamburan keluar asrama, tak terkecuali HyukJae dan Sungmin yang entah sejak kapan sudah tersadar dari racauan tak jelasnya. Bergabung dengan murid lainnya berlari atau sekedar melangkah cepat ke satu tujuan, ruang musik.

.

Malam yang terbiasa dengan kegelapan kini seakan terusik, pendar nyala api mengganggu ketenteraman pekat malam. Malam pun tak lagi sunyi, suara gemeretak khas kayu yang terarang oleh api kini berjaya.

“Ya Tuhan, benar-benar terbakar” ujar HyukJae lirih, menatap kobaran api yang tengah menikmati santapan malamnya.

Ruang musik atau gedung musik, salah satu gedung yang berjejer di antara ruangan-ruangan terpisah yang seperti membentuk bangunan sendiri di jajaran gedung praktek itu benar-benar terbakar seluruhnya.

“Kata petugas pemadam kebakaran ada seorang di dalam sana”

Serempak seluruh pasang mata yang awalnya tertuju pada bangunan mengenaskan itu berbalik arah ke si pemilik seruan. Sedangkan namja pemilik seruan itu hanya membalas beberapa pandangan mata ke arahnya dengan sayu, seolah menegaskan jika seruannya bukanlah hal yang mengada-ngada.

.

“Bukankah kobaran api di malam hari benar-benar sangat hangat ?”

Sungmin menoleh seketika, mengarahkan tatapan matanya pada seseorang yang berbisik tepat disampingnya.

“Cho Kyuhyun ?” lirih Sungmin saat didapatinya wajah tampan seorang Cho Kyuhuyun yang tersenyum manis seraya memejamkan matanya, seolah menikmati segala kehangatan yang berasal dari kobaran api yang tak kunjung padam.

“Kalau gedung ini terbakar, tidak akan terdengar denting piano yang berisik itu

Lagi, Sungmin hyung” kali ini sosok itu berujar teramat lirih, masih menatap kobaran api yang perlahan mengecil intensitasnya dengan tatapan yang entahlah, bahkan Sungmin sulit untuk mengartikannya.

.

.

The Next Day

.

.

Denting piano memenuhi seluruh ruang pendengaran, memenuhi segala penjuru lapangan hijau luas yang penuh dengan deretan kursi tersusun rapi yang menopang tubuh-tubuh manusia diatasnya.

Sapuan angin yang menimbulkan bunyi lain dari gesekan daun-daun pepohonan seakan tak mau dikalahkan oleh suara denting piano yang secara konstan memantulkan bunyi dengan nada terarur, sebuah melody halus yang mengiris jika telinga bersedia mendengarkan tiap nada dengan penuh konsentrasi.

Tepat didepan sana, dihadapan dari deretan terdepan kursi-kursi yang berderet rapi itu, sebuah peti kayu dengan banyak rangkaian bunga seakan menjadi masterpiece yang dengan angkuhnya memaksa tiap pasang mata menatap lekat kearahnya.

“Seorang putra, saudara, murid, teman, dan sahabat yang baik, itulah Choi HanSung”

Entah sudah berapa lama pendeta, kepala sekolah, oarang tua, dan berapa banyak lagi tumpukan manusia yang tak henti-hentinya berbicara di podium depan sana yang tak lebih mirip dari perlombaan pidato tentang siapa yang paling memberikan ucapan-ucapan menyedihkan dan berhasil membuat lelehan air mata tercipta.

Hingga saat itu tiba, saat dimana satu per satu manusia di tempat itu meletakkan setangkai bunga di sekitaran peti kayu itu, peti kayu yang tertutup rapat mengingat kondisi mayat korban kebakaran bukanlah pilihan yang tepat jika ingin memamerkan pahatan wajahnya.

“Selamat jalan HanSung-ah”

“Kau teman yang baik HanSung-ah”

“Tidurlah yang nyenyak HanSung-ah”

.

“Kau tak ingin memberinya bunga ?” ujar HyukJae sedikit berbisik kepada Sungmin, meskipun mereka kini berada cukup jauh dari podium setidaknya mereka masih menghargai acara pemakaman sore itu.

Sungmin hanya mengedikkan bahunya sambil mendengung pelan untuk kemudian memutar kepalanya menatap HyukJae utuh “Kau tidak ?” balik Sungmin bertanya.
HyukJae terdiam sebentar seperti sedang berpikir, tak cukup lama sampai akhirnya HyukJae menampilkan senyuman khas miliknya dan ikut mengedikkan bahunya “Entahlah, aku bahkan tak tahu Choi HanSung itu yang mana”.

“Bodoh, kalau begitu diamlah” ujar Sungmin sarkastis, tentu saja tanpa melupakan decihan kecilnya. Sedangkan HyukJae, biarkan saja dia dengan wajah datarnya yang entah sejak kapan sudah terpasang sempurna itu.

Sesaat suasana diantara mereka cukup hening, hanya terdengar sayup-sayup suara denting piano yang terkalahkan oleh suara gesekan dedaunan yang terhempaskan oleh angin.

.

‘lucifer’

.

Angin yang berhembus kencang dengan daun-daun yang pasrah terlepas dari rantingnya.
Perpaduan sempurna yang mengawali musim gugur. Bahkan lembar-lembar coklat itupun terlihat begitu indah saat serempak meloloskan diri dari jeratan ranting-ranting pohon.

Sosok itu terdiam, duduk termenung dibawah reruntuhan dedaunan. Akan terlihat sangat indah jika saja saat ini merupakan salah satu scene dalam drama-drama roman picisan dimana sang peran utama sedang duduk terdiam menikmati aroma musim gugur dengan efek dedaunan yang berterbangan di sekelilingnya. Tapi tidak untuk saat ini, sosok itu terdiam, terpejam kedua kelopak matanya seolah menikmati aroma daun berguguran, jangan lupakan balutan seragam tanpa blazer miliknya. Cukup tak wajar memang melihat sosok itu begitu menikmati udara teramat dingin dengan senyum yang sesekali tercetak di bibirnya.

“eomma menyayangi Kyunnie... Sangat menyayangi Kyunnie” ujar sosok cantik itu kepada namja kecil yang berda dalam dekapannya. Seolah menyalurkan kehangatan untuk tubuh namja kecil itu, namjanya, miliknya,


“ne.. eomma... Kyunnie juga sayang eomma, sangaaaaaat sayang, Tapi dingin eomma, ayo kita pulang saja eomma, appa nappeun, gara-gara appa Kyunnie kedinginan” lenguh namja kecil itu, semakin mengeratkan pelukan pada sang eomma, hangat.

“lssh... Kyunnie tak boleh berbicara seperti itu chagi, bagaimana jika nanti appa dengar, pasti appa sangat sedih” ujar sang eomma dengan mimik muka yang dibust sesedih mungkin.
Namja kecil itu seketika meloloskan diri dari pelukan sang eomma dan mulai memposisikan diri untuk berdiri dari duduk nyamannya. “eomma jangan bilang-nilang appa ne ? Ini rahasia eomma dan Kyunnie, appa tidak boleh tahu”.

“putraku...” lantang sosok ibu muda itu, menarik tubuh namja kecil itu kedalam dekapannya.

.

Sungmin terpaku, kedua bola matanya ikut membulat kala melihat pemandangan itu. Mungkin akan terlihat manis, hanya saja... hanya saja.... Tatapan mata Sungmin masih saja tertohok pada hal di depannya, sosok itu tentu bukan sosok asing bagi Sungmin. Bahkan dari belakangpun Sungmin tahu jika sosok itu, sosok seorang Cho Kyuhyun hanya saja laki-laki yang tengah terduduk di sudut sana, dia... Kini napas Sungmin memburu, otaknya membuntu seketika. Bukan, hal seperti ini memang bukan hal baru yang tertangkap indera penglihatannya. Tapi ini terlalu jelas. Disana, dibangku kayu itu, Kyuhyun tak sendiri. Ada sosok lain yang mendekap tubuh namja itu. Sesosok wanita dengan gaun putih panjangnya, jangan lupakan rambut hitam yang tergerai panjang. Lagi, detakan jantung Sungmin semakin berdentum keras kala sosok itu, wanita itu, perlahan menggerakkan kepalanya, menatap tepat dimanik Sungmin. Mata itu, bola mata itu, sampai semua itu berakhir dengan bunyi dentuman keras. Seperti sesuatu yang menabrak lantai dengan cukup keras.

“Sungmin-ah !!!” teriakan HyukJae seketika menggema memenuhi udara di sore yang cukup sunyi saat lensa matanya menangkap gambar Sungmin yang tergeletak di atas marmer yang cukup dingin.


.
TBC
.

4 komentar:

  1. udah baca dan... SERUUUUUUUUUUUUUU
    AYO LANJUT!
    hyung mpe suruh temen baca, dan dia pengen ini lanjut.ayo semangat tulis! tulis!

    oh ya, sedikit kritik utk tampilan, kayaknya lbh baik pke tags read more, kalo panjang kayak gini susah...
    itu aja, lanjut yaa ^^

    BalasHapus
  2. kasih kyuhyun buatku ntar baru dilanjutin :p /tepok Sungmin

    BalasHapus
  3. uprriitttttttt .. kerennn ..jgn cuma dipublish di blog atuhh .. sayangg ... coba diikutkan dlm lomba2 gtu ... sipa tau diterbitin .. ;) semangattt ... sukses slalu . my prays to u girl :)

    BalasHapus