Malam
hari, suasana gelap tanpa cahaya, hanya temaram di setiap sudut koridor yang
sepi. Kerlip lamu neon yang meredup tampak semakin suram, mungkin sebentar lagi
pendar suram cahaya itu akan padam. Seakan mendukung, suara gemuruh petir
saling menggelegar, beradu ketegasan bunyi yang tercipta. Sedetik kemudian,
aliran deras air turun serempak seakan tak mau kalah meramaikan suasana malam
itu.
Masih
dalam lorong temaram, lampu neon gantung kini bergerak tak tentu arah,
bergoyang liar memamerkan pendar cahaya redupnya ke sudut terbatas koridor
panjang yang tak terlihat ujungnya, gelap, terlalu gelap sampai retina mata
sama sekali tak dapat menangkap seberkaspun cahaya dari tempat yang bagai tak
berujung.
‘krieeeetttt’
Bunyi
derit kayu tertahan, pergerakan dua papan kayu yang bergesek tertahan. Bukan
bunyi yang nyaman jika gendang telingamu begitu terbayang ingin menikmatinya
langsung.
‘krieeettt’
Lagi,
suara derit kayu itu makin terdengar ‘krieeettt’ tak hanya sekali, suara derit
kayu itu makin lama makin memekakkan telinga, terdengar dengan intensitas lebih
banyak.
‘krieeettt…krieeettt…krieeettt’
Perpaduan
yang sempurna, saat bunyi petir yang makin menggila seakan tak rela dikalahkan
oleh aliran deras air yang berlomba menapak bumi terlebih dahulu, ditambah
dengan pencahayaan dari neon yang semakin bersemangat memendarkan cahayanya,
bergerak tak tentu arah seperti benar-benar sedang mengiringi suara mencekam
derit kayu tua. Disana, disudut lorong, tempat berjejernya lemari-lemari kayu
dengan banyak kotak berpintu kecil itu. Sebuah kotak di sudut atas almari kayu
, sumber derit yang memekakkan telinga. Derit yang ditimbulkan sebuah pintu
kecil yang terbuka dan tertutup perlahan. Pintu itu, gelap, bahkan terlalu gelap,
sampai saat kau perhatikan lebih jauh ke dalam pintu kecil itu, kau akan tahu
apa yang ada dilamnya. Darah ? atau ? sepasang cahaya putih dengan titik hitam
ditengahnya yang menatap tajam dan ‘BLAM’ pintu kecil itu tertutup seiring
rintihan halus yang dapat dengan mudah didengar gendang telinga semut
sekalipun. Entah kemana deretan air langit, entah kemana gelegar petir yang
angkuh. Seketika hening, tanpa suara, cahaya neon pun perlahan terdiam, bosan
bergerak tak tentu arah, hingga akhirnya lampu neon itu padam. Dan saat itu
pula, kau sadar betapa gelapnya lorong itu.
.
.
“IRIDESCENT”
By
@artcebis
I
try to make something that wandering in my head, so... as bad as what I
thought.
I
Have not make a decision how to end this fict yet, so... If you ask me about
this fict, I’ll answer that ‘I have no idea’. Cause this is me “Fantastic
Invisible Dazzling Artcebis” LOL XD
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
“Chagi
jangan berlari lagi… aigoo anak ini, dengarkan eomma, jangan berlari dikoridor
sekolah chagi…”
Sosok anak kecil usia sekitar 4 tahun itu masih tetap saja berlari, tak
mengindahkan teriakan sang eomma yang masih mengejar langkah-langkah kaki kecil
itu.
“hahahahaha… kejar aku eomma, ayo kejar…hahahahaha”
“Chagi jangan berlari lagi,…. Berhenti… y….……un ..n I.. ee…….”
Terang,
sangat terang. Entah hanya perasaannya saja atau… entahlah tapi mendadak sudut
pandang matanya menangkap cahaya yang benar-benar terang, dan apa tadi ? Tawa
anak kecil ? halusinasi ya tentu saja halusinasi.
“Sungmin-ah,
melamun lagi, eoh ?” tegur suara ringan diiringi tepukan telapak tangan lebar
dipundak Sungmin.
Seperti
sudah terduga sebelumnya, sosok pemuda tampan berbalut blazer tua yang melekat
sempurna ditubuhnya itu hanya tersenyum sebagai jawaban, senyum yang mengganti
raut tanpa ekspresi yang ditunjukkan mimik muka pemuda tampan itu beberapa
detik yang lalu.
“Kau
sudah sarapan ? Temani aku sarapan dikantin, hidup di asrama kenapa semakin
lama semakin membuatku menderita ” lenguh pemuda dengan suara ringan, seperti
tidak terjadi apa-apa sebelumnya terhadap pemuda tampan disampingnya. Pemuda
bersuara ringan ini hanya tahu, bukan, tapi benar-benar tahu kalaupun dia
bertanya lebih jauh tentang kebiasaan melamun sahabatnya itu hanya senyumanlah
yang akan diberikan sebagai jawaban.
“Hey,
Lee HyukJae, siswa tingkat dua sepetimu tak pantas mengeluh seperti itu”
meskipun dengan senyum lembutnya, Sungmin benar-benar tahu cara membungkam
mulut sahabatnya yang hanya dibalas cibiran kecil dari mulut HyukJae di
sepanjang perjalanan menuju kantin sekolah.
.
“Kau
mau memesan apa ?” tawar HyukJae pada Sungmain yang sudah terlebih dahulu duduk
di meja sudut kantin sekolah yang meskipun masih pagi tapi sudah cukup ramai
dikunjungi siswa-siswa kelaparan, seperti HyukJae.
“Apa
kau mau mentraktirku ? Ambilkan aku…”
“Aisshhh…
apa kau lupa tanggal berapa sekarang ? Kau mau menguras tabunganku ?” sergah
HyukJae cepat saat dirasakan gelagat mencurigakan dari pemuda dihadapannya.
“Hahaha…”
Sungmin terkekeh perlahan, setelahnya memandang sinis kearah
HyukJae
“Buanglah sifat pelitmu itu, kuberitahu sesuatu…” sedikit memberi jeda,
Sungmin
menatap tajam kearah manik mata HyukJae yang entah sadar atau tidak telah
terbawa suasana yang diciptakan oleh Sungmin, bahkan HyukJae lupa jika perutnya
meronta ingin diisi.
“Apa
? Kau ingin memberitahu apa Sungmin ?” sergah HyukJae tak sabar.
“Kau
harus membuang sifat pelitmu itu, kalau tidak sampai rambutmu itu rontok dan
kau menjadi botak kau akan sulit mendapatkan istri.” Ujar Sungmin dengan mimik
yang dibuatnya seserius mungkin, meski ujungnya Sungmin benar-benar tak bisa
menahan untuk tidak tertawa melihat wajah lugu sahabatnya. Gampang dibodohi
bukan ?
Tanpa
berniat membalas ucapan Sungmin, HyukJae melenggang pergi menuju counter
makanan di pusat kantin. Benar-benar meninggalkan Sungmin yang masih berusaha
menahan ledakan tawanya.
“eomma…
aku mau pulang sekarang ! Bosan… bosan…bosan…” ujar sosok anak kecil, duduk
manis di atas bangku kayu sambil menggoyang-goyangkan kaki kecilnya.
“Tunggu sebentar chagi…tunggu appa ne ?” balas sosok ibu muda yang memandang
malaikat kecilnya dengan senyum manisnya.
“Appa lama eomma… aku bosan !” anak kecil itu tetap saja merengek, mempoutkan
bibirnya lucu.
“Ah, eomma punya ide… bagaimana kalau sekarang kita susul appamu saja” Ujar
wanita itu, berlagak seolah menemukan ide yang benar-benar brilian, tentu saja
setelah memeriksa arloji di pergelangan tangan kirinya.
“Neeeeee…. Let’s Go eomma…” ungkap anak kecil tadi semangat sambil melompat
tiba-tiba dari bangku kayu tempat duduknya. Tak ayal membuat sang eomma
berteriak tertahan, khawatir akan malaikat mungilnya.
“Ini…”
Sedikit bunyi ‘dug’ kecil terdengar kala HyukJae meletakkan asal segelas lemon
tea di hadapan Sungmin yang lagi-lagi didapatinya sedang melamun.
“ah…
gomawoyo, HyukJae…” Dan lagi, Sungmin hanya memamerkan senyumnya pada HyukJae
sambil menyedot perlahan air berwarna coklat kekuningan dalam gelas panjang
itu.
HyukJae
tampaknya sudah benar-benar terbiasa dengan kelakuan Sungmin yang serba
‘tiba-tiba’. Terbukti, HyukJae dengan asyiknya menikmati nasi putih dengan
kimchi di hadapannya, kelaparan mungkin. Sedangkan Sungmin kembali tenggelam
dengan dunianya, seperti sedang memikirkan sesuatu yang mengusik alam pikir dan
juga batinnya.
.
.
“Hey,
kau tahu anak itu berulah lagi”
“Siapa
? Anak tingkat satu itu ?”
“Ne,
padahal baru siswa tingkat satu, tapi setiap hari selalu berulah”
“Anak
Ketua Dewan Pemerintah, berandal seperti apapun juga, sekolah tak akan pernah
berani mengeluarkannya.”
“Tsk-ed…
berisik sekali laki-laki tukang gossip seperti mereka. Mengganggu acara
belajarku saja”. Keluh HyukJae tertahan, berbisik tentu saja. Biar bagaimanapun
HyukJae tak mau jika ia harus menjadi bahan cibiran kumpulan pemuda penggosip
disudut ruang kelas itu.
“Diam
saja dan tetaplah menulis, gerakan tiba-tibamu itu mengacaukan tulisan
rapihku”. Kini giliran Sungmin yang berujar tak lupa dengan tatapan sinisnya
kearah HyukJae.
“Tapi,
ngomong-ngomong apa lagi ulah anak kecil itu sekarang ?” Tanya HyukJae, sebut
saja dia plinplan tapi rasa penasarannya mulai tergali sekarang.
“Ishh…
mana aku tahu, sudahlah diam dan terus mencatat, aigoo angka-angka ini
membuatku sakit kapala.” Sungmin membenamkan kepalanya di tangkupan tangannya.
“Hey,
kalian… beritahu aku ulah anak itu ”. Tak ada pasal menyerah bagi HyukJae,
kecuali aksi bungkamnya akan perilaku Sungmin yang ‘tiba-tiba’, segalanya akan
ditempuh termasuk berinteraksi dengan pemuda penggosip di sudut sana.
“Anak
itu ? Cho Kyuhyun maksudmu ?” tanya seorang diantaranya.
“Ne,
siapa lagi kalau bukan anak itu, ayo cepat katakan” sergah HyukJae tak sabaran.
“Kali
ini ulahnya benar-benar mengerikan. Bahkan lebih mengerikan daripada
keisengannya yang hampir membuat laboratorium kimia terbakar.”
“Separah
itu ?” balas HyukJae semakin tertarik.
“Ye…
Tadi pagi dia membabat habis bunga mawar yang baru mekar di kebun biologi. Kau
harus melihat keadaan taman mawar itu, benar-benar mengenaskan”.
“Aku
rasa membabat habis mawar-mawar itu lebih baik daripada nyaris membakar
laboratorium kimia” ujar Sungmin tiba-tiba setelah puas membenamkan kepalanya
diatas meja.
“Hey,
Lee HyukJae berhenti membicarakan orang lain, kuserahkan tugas mencatat ini
padamu” Sambil menepuk pundak HyukJae tegas, Sungmin beranjak keluar kelas
pengap itu. Sama sekali tak mengindahkan cibiran-cibiran dari para pemuda
penggosip yang sempat tertangkap gendang telinganya.
.
.
Matahari
terik tepat diatas kepala tak menghalangi pemandangan indah itu, bunga mawar
yang tengah mekar-mekarnya memamerkan merah nyalanya yang terang. Tak sedikit
pula kupu-kupu beterbangan mengelilingi pucuk-pucuk harum kelopak mawar di
berbagai sudut lahan yang dipenuhi pohon-pohon bunga mawar merah yang
merekahkan mahkotanya.
“eomma… lihat mawar-mawar itu… cantik” seru seorang anak kecil, berlari
ditepian lahan mawar, kemudian berhenti sejenak berjongkok untuk sekedar
menikmati harum yang menguar dari kelopak-kelopak merah itu. “tapi tetap saja
tak secantik nae eomma” ujar namja kecil itu lagi disertai senyuman manis yang
ditujukan kepada sang eomma. Sedangkan wanita yang dipanggilnya eomma hanya
tersenyum manis menanggapi celotehan namja mungilnya.
Sungmin
memejamkan matanya hikmat, berusaha memasukkan sebanyak mungkin oksigen kedalam
rongga paru-parunya, saat dirasa cukup Sungmin perlahan membuka kelopak
matanya, memandang lurus pemandangan yang terjadi dihadapannya.Sebuah lahan
yang telah dibabat habis tanpa rasa manusiawi. Terlihat beberapa pekerja di
sudut-sudut tertentu lahan itu, membersihkan segala carut marut yang terjadi,
bahkan Sungmin berani bertaruh jika tidak akan ada yang percaya jika sebelumnya
lahan itu dipenuhi oleh mawar-mawar merah yang sedang bermekaran.
“Kau
disini ?” ujar sebuah suara dibelakang Sungmin.
“Seperti
yang kau lihat” balas Sungmin singkat tanpa menolehkan kepalanya sedikitpun.
“Huh
…” Sosok itu menghembuskan napas sejenak setelahnya memutuskan untuk
mendudukkan dirinya tepat disamping Sungmin.
“Merasa
menyesal ?” ujar Sungmin seraya menatap wajah sendu disampingnya.
Bukannya
menjawab, sosok itu hanya terkekeh pelan menanggapi petanyaan dari Sungmin.
“Hei,
berhentilah tertawa, kau bahkan terlihat sangat menyedihkan sekarang” tambah
Sungmin.
“Aku
ditakdirkan untuk menjadi Si Berandal Pembuat Onar, jadi apa perlu aku menjawab
hal itu ?” jawab sosok itu lantang, meski tak dapat dipungkiri jika terdapat
getaran dalam suara yang dikeluarkannya.
“Kau
hanya anak manja yang sok menjadi bajingan, Cho Kyuhyun” decih Sungmin.
“hahaha…
begitukah ?” balas sosok itu¬¬—Kyuhyun, hanya tertawa sekejap karena detik
berikutnya, tawa itu redam teratur seraya pandangan matanya yang menatap lurus
keadaan lahan yang –mengerikan akibat hasil perbuatannya.
Sungmin
hanya terdiam mengikuti arah pandang sosok disebelahnya hingga hanya keheningan
yang menyelimuti dua sosok yang duduk bersebelahan itu. Siapa sangka jika Si
Aneh Lee Sungmin bisa sedekat itu berhubungan dengan Si Pembuat Onar Cho
Kyuhyun. Mungkin keadaan yang memandang mereka berdua sebagai sosok berbeda
yang menautkan pribadi masing-masing.
.
.
Taukah
apa yang disembunyikan sang malam ? Sesutu yang bersembunyi di angkuhnya gelap.
Saat matahari bergilir oleh rotasi bumi, saat itu pula pendar cahayanya
dititipkan pada benda tak bercahaya dilangit gelap.
‘Tap
Tap Tap’
Jika
kau mengira itu bunyi tapak sepatu, ya, mungkin kau benar hanya saja bunyi itu
terlalu lamban, bukan, tapi sangat lamban hingga memaksa gendang telingamu
untuk terus mendengar bunyi itu secara konstan.
‘Tap…
Tap… Tap…’
Lorong
panjang itu terlalu sepi dan terlalu temaram, hanya mengandalkan titipan sinar
matahari dan seberkas cahaya dari neon yang sudah meredup.
“HanSung-ah…
ayolah, cepat langkahkan kakimu itu” seru sosok laki-laki muda dengan tumpukan
buku ditangannya.
Sedangkan
sosok yang dipanggilnya HanSung seperti tak mendengar ucapan sosok yang telah
berjalan lebih dulu dihadapannya, masih berjalan santai dengan buku yang juga
bertumpuk di tangannya.
“HanSung-ah…”
lirih sosok itu lagi, kali ini sosok itu memelankan langkahnya dan berbalik
menatap sosok lain dihadapannya “Han…” Kebingungan, bagaimana tidak, bukankah
tadi HanSung masih berada dibelakangnya ? Tapi kosong tak ada siapapun disana.
Dibalikkan tubuhnya, barangkali akan menemukan sosok HanSung yang akan
mengagetkannya dari belakang tapi tetap NIHIL hanya ada sosoknya di sepanjang
lorong itu.
“HanSung-ah,
kau dimana ? Ayolah ini tidak lucu… HanSung-ah ??? HanSung-ah ??? Keluarlah…
kau berhasil, aku benar-benar takut sekarang …” ujar sosok itu dengan suara
bergetar.
Masih
tak mendapat tanda-tanda keadaan temannya, perlahan sosok itu berjalan,
melangkah perlahan kembali menyusuri lorong temaram itu dengan lutut gemetar
hebat.
‘krriiieeettt’
Sosok
itu seketika membalikkan tubuhnya, memeriksa keadaan di balik pungggungnya.
KOSONG. Kembali memperhatikan sekitarnya, sebelum memutuskan untuk kembali
berjalan perlahan.
‘ting…
ting… ting…’
Tubuh
itu menegang seketika, merasa indera pendengarannya menangkap sebuah lantunan
melody tak teratur, bukan, sungguh ini bukan suara asing hanya saja
mendengarkan lantunan melody disaat seperti ini bukanlah pilihan yang tepat.
Tak dapat bergerak, hanya terdiam terpaku ditempat dengan tumpukan buku yang
bergetar hebat. Suara denting piano beradu dengan suara deritan kayu tua yang
bergesek, perpaduan yang sangat tak ingin dinikmati oleh sosok yang kini hanya
diam terpaku, tepat dihadapannya sebuah pintu besar yang perlahan terbuka. Tak
banyak cahaya yang berasal dari celah itu. Tapi sosok itu bahkan bersumpah jika
dirinya pun tak dapat mengalihkan pandangannya atau hanya sekedar menutup
kelopak matanya. Sosok itu berani kembali bersumpah saat dirasakan angin
terlampau dingin berhembus melewati tengkuknya, serasa dicengkeram tepat di
pangkal leher membuat pandangan matanya terpaku. Di celah pintu itu, celah yang
perlahan terbuka makin melebar dengan suara denting piano yang makin terdengar
jelas menabuh gendang telinganya.
‘ting…
ting… ting…’
“Ha…
Han… Han…” Kini sosok itu makin terpaku, menjatuhkan seluruh tumpukan buku
digenggamannya, memandang lurus kedepan, sesuatu dibalik pintu besar itu,
sesuatu yang berayun dengan sesekali masih membunyikan tuts-tuts piano itu.
.
-lucifer-
.
“Sungmin-ah,
Lee Sungmin ireona, gwaenchana ?” sebuah tangan mengoyak punggung pemuda yang
masih terbaring sambil menggerakkan kepalanya gelisah, peluh memenuhi dahi
bahkan seluruh wajah pemuda itu, sampai sesaat setelahnya sosok itu membuka
kelopak matanya tiba-tiba.
“Sungmin-ah,
gwaenchana ?” lirih sebuah suara—HyukJae saat diapatinya Sungmin yang lagi-lagi
terdiam, pandangan matanya kosong serta peluh yang tak ada habisnya membanjiri
wajah namja itu.
“Lee
Sungmin ?” panggil HyukJae sekali lagi.
“Ah,
ne... kau memanggilku ?” jawab Sungmin tiba-tiba, kentara sekali jika pemuda
itu berusaha mengembalikan kesadarannya.
“Kulihat
kau sangat gelisah dalam tidurmu jadi aku berinisiatif untuk membangunkanmu,
kau baik-baik saja ?” kembali HyukJae berujar lirih seraya menyodorkan segelas
air putih yang diambilnya dari meja nakas milik Sungmin.
Sungmin
hanya terdiam, masih sesekali terlihat tatapan matanya yang kosong, meskipun
tangannya bereaksi mengambil alih gelas itu dari genggaman HyukJae.
“Apa
kau mendengar itu ?” ucap Sungmin tiba-tiba.
“Kau
mendengarnya ?” ujar Sungmin lagi, kini tatapannya menatap tak fokus pada
HyukJae.
“A..Ap...apa
? Mendengar apa maksudmu ? Kau mendengar sesuatu ?” HyukJae yang semula tenang
kini ikut gelisah, memandang ke segala arah dalam kamar miliknya dan Sungmin,
mencoba mencari sesuatu yang mungkin membuat sahabatnya gelisah dan tak fokus
seperti biasanya.
“Denting
piano, ya, tak salah lagi, ini bunyi piano, kau masih tak mendengarnya ?
Bahkan
ini keras sekali” kembali Sungmin berucap lirih dengan tatapan matanya yang tak
fokus, terkadang melihat samping kiri-kanannya atau melirik kearah pintu
kamarnya.
“Sungmin-ah,
kau tahu ini mulai tidak lucu, aku lebih suka mendengar kalimat menyakitkanmu
daripada kau mengatakan hal yang sama sekali tak ku mengerti, kau membuatku
takut” racau HyukJae.
“Dengar,
berusahalah untuk mendengarnya, dengarlah, bukan nada yang indah, ini... ini
mengerikan” Sungmin semakin meracau tak jelas, seakan mencoba menulikan
telinganya dari berbagai sumber dan hanya memfokuskan fungsi pendengarannya
hanya pada suara yang diyakininya ada, suara denting piano.
“Sungmin,
kau yakin sedang dalam keadaan baik ?” parau HyukJae sesekali mencoba
menggenggam telapak tangan berkeringat Sungmin yang entah mengapa terasa sangat
dingin.
‘brakk’
“Ruang
musik terbakar” terang seorang namja yang baru saja membuka paksa pintu kamar
Sungmin
dan HyukJae dengan mudahnya, mungkin mereka lupa menguncinya. Hanya saja itu
bukan hal penting sekarang jika dibandingkan dengan seruan namja yang dengan
beringasnya membuka semua pintu kamar asrama itu.
Suasana
hening seketika menjadi ramai, banyak murid yang seluruhnya namja berhamburan
keluar asrama, tak terkecuali HyukJae dan Sungmin yang entah sejak kapan sudah
tersadar dari racauan tak jelasnya. Bergabung dengan murid lainnya berlari atau
sekedar melangkah cepat ke satu tujuan, ruang musik.
.
Malam
yang terbiasa dengan kegelapan kini seakan terusik, pendar nyala api mengganggu
ketenteraman pekat malam. Malam pun tak lagi sunyi, suara gemeretak khas kayu
yang terarang oleh api kini berjaya.
“Ya
Tuhan, benar-benar terbakar” ujar HyukJae lirih, menatap kobaran api yang
tengah menikmati santapan malamnya.
Ruang
musik atau gedung musik, salah satu gedung yang berjejer di antara
ruangan-ruangan terpisah yang seperti membentuk bangunan sendiri di jajaran
gedung praktek itu benar-benar terbakar seluruhnya.
“Kata
petugas pemadam kebakaran ada seorang di dalam sana”
Serempak
seluruh pasang mata yang awalnya tertuju pada bangunan mengenaskan itu berbalik
arah ke si pemilik seruan. Sedangkan namja pemilik seruan itu hanya membalas
beberapa pandangan mata ke arahnya dengan sayu, seolah menegaskan jika
seruannya bukanlah hal yang mengada-ngada.
.
“Bukankah
kobaran api di malam hari benar-benar sangat hangat ?”
Sungmin
menoleh seketika, mengarahkan tatapan matanya pada seseorang yang berbisik
tepat disampingnya.
“Cho
Kyuhyun ?” lirih Sungmin saat didapatinya wajah tampan seorang Cho Kyuhuyun
yang tersenyum manis seraya memejamkan matanya, seolah menikmati segala
kehangatan yang berasal dari kobaran api yang tak kunjung padam.
“Kalau
gedung ini terbakar, tidak akan terdengar denting piano yang berisik itu
Lagi,
Sungmin hyung” kali ini sosok itu berujar teramat lirih, masih menatap kobaran
api yang perlahan mengecil intensitasnya dengan tatapan yang entahlah, bahkan
Sungmin sulit untuk mengartikannya.
.
.
The
Next Day
.
.
Denting
piano memenuhi seluruh ruang pendengaran, memenuhi segala penjuru lapangan
hijau luas yang penuh dengan deretan kursi tersusun rapi yang menopang
tubuh-tubuh manusia diatasnya.
Sapuan
angin yang menimbulkan bunyi lain dari gesekan daun-daun pepohonan seakan tak
mau dikalahkan oleh suara denting piano yang secara konstan memantulkan bunyi
dengan nada terarur, sebuah melody halus yang mengiris jika telinga bersedia
mendengarkan tiap nada dengan penuh konsentrasi.
Tepat
didepan sana, dihadapan dari deretan terdepan kursi-kursi yang berderet rapi
itu, sebuah peti kayu dengan banyak rangkaian bunga seakan menjadi masterpiece
yang dengan angkuhnya memaksa tiap pasang mata menatap lekat kearahnya.
“Seorang
putra, saudara, murid, teman, dan sahabat yang baik, itulah Choi HanSung”
Entah
sudah berapa lama pendeta, kepala sekolah, oarang tua, dan berapa banyak lagi
tumpukan manusia yang tak henti-hentinya berbicara di podium depan sana yang
tak lebih mirip dari perlombaan pidato tentang siapa yang paling memberikan
ucapan-ucapan menyedihkan dan berhasil membuat lelehan air mata tercipta.
Hingga
saat itu tiba, saat dimana satu per satu manusia di tempat itu meletakkan
setangkai bunga di sekitaran peti kayu itu, peti kayu yang tertutup rapat
mengingat kondisi mayat korban kebakaran bukanlah pilihan yang tepat jika ingin
memamerkan pahatan wajahnya.
“Selamat
jalan HanSung-ah”
“Kau
teman yang baik HanSung-ah”
“Tidurlah
yang nyenyak HanSung-ah”
.
“Kau
tak ingin memberinya bunga ?” ujar HyukJae sedikit berbisik kepada Sungmin,
meskipun mereka kini berada cukup jauh dari podium setidaknya mereka masih
menghargai acara pemakaman sore itu.
Sungmin
hanya mengedikkan bahunya sambil mendengung pelan untuk kemudian memutar
kepalanya menatap HyukJae utuh “Kau tidak ?” balik Sungmin bertanya.
HyukJae
terdiam sebentar seperti sedang berpikir, tak cukup lama sampai akhirnya
HyukJae menampilkan senyuman khas miliknya dan ikut mengedikkan bahunya
“Entahlah, aku bahkan tak tahu Choi HanSung itu yang mana”.
“Bodoh,
kalau begitu diamlah” ujar Sungmin sarkastis, tentu saja tanpa melupakan
decihan kecilnya. Sedangkan HyukJae, biarkan saja dia dengan wajah datarnya
yang entah sejak kapan sudah terpasang sempurna itu.
Sesaat
suasana diantara mereka cukup hening, hanya terdengar sayup-sayup suara denting
piano yang terkalahkan oleh suara gesekan dedaunan yang terhempaskan oleh
angin.
.
‘lucifer’
.
Angin
yang berhembus kencang dengan daun-daun yang pasrah terlepas dari rantingnya.
Perpaduan
sempurna yang mengawali musim gugur. Bahkan lembar-lembar coklat itupun
terlihat begitu indah saat serempak meloloskan diri dari jeratan
ranting-ranting pohon.
Sosok
itu terdiam, duduk termenung dibawah reruntuhan dedaunan. Akan terlihat sangat
indah jika saja saat ini merupakan salah satu scene dalam drama-drama roman
picisan dimana sang peran utama sedang duduk terdiam menikmati aroma musim
gugur dengan efek dedaunan yang berterbangan di sekelilingnya. Tapi tidak untuk
saat ini, sosok itu terdiam, terpejam kedua kelopak matanya seolah menikmati
aroma daun berguguran, jangan lupakan balutan seragam tanpa blazer miliknya.
Cukup tak wajar memang melihat sosok itu begitu menikmati udara teramat dingin
dengan senyum yang sesekali tercetak di bibirnya.
“eomma
menyayangi Kyunnie... Sangat menyayangi Kyunnie” ujar sosok cantik itu kepada
namja kecil yang berda dalam dekapannya. Seolah menyalurkan kehangatan untuk
tubuh namja kecil itu, namjanya, miliknya,
“ne.. eomma... Kyunnie juga sayang eomma, sangaaaaaat sayang, Tapi dingin
eomma, ayo kita pulang saja eomma, appa nappeun, gara-gara appa Kyunnie
kedinginan” lenguh namja kecil itu, semakin mengeratkan pelukan pada sang
eomma, hangat.
“lssh... Kyunnie tak boleh berbicara seperti itu chagi, bagaimana jika nanti
appa dengar, pasti appa sangat sedih” ujar sang eomma dengan mimik muka yang
dibust sesedih mungkin.
Namja kecil itu seketika meloloskan diri dari pelukan sang eomma dan mulai
memposisikan diri untuk berdiri dari duduk nyamannya. “eomma jangan
bilang-nilang appa ne ? Ini rahasia eomma dan Kyunnie, appa tidak boleh tahu”.
“putraku...” lantang sosok ibu muda itu, menarik tubuh namja kecil itu kedalam
dekapannya.
.
Sungmin
terpaku, kedua bola matanya ikut membulat kala melihat pemandangan itu. Mungkin
akan terlihat manis, hanya saja... hanya saja.... Tatapan mata Sungmin masih
saja tertohok pada hal di depannya, sosok itu tentu bukan sosok asing bagi
Sungmin. Bahkan dari belakangpun Sungmin tahu jika sosok itu, sosok seorang Cho
Kyuhyun hanya saja laki-laki yang tengah terduduk di sudut sana, dia... Kini
napas Sungmin memburu, otaknya membuntu seketika. Bukan, hal seperti ini memang
bukan hal baru yang tertangkap indera penglihatannya. Tapi ini terlalu jelas.
Disana, dibangku kayu itu, Kyuhyun tak sendiri. Ada sosok lain yang mendekap
tubuh namja itu. Sesosok wanita dengan gaun putih panjangnya, jangan lupakan
rambut hitam yang tergerai panjang. Lagi, detakan jantung Sungmin semakin
berdentum keras kala sosok itu, wanita itu, perlahan menggerakkan kepalanya,
menatap tepat dimanik Sungmin. Mata itu, bola mata itu, sampai semua itu
berakhir dengan bunyi dentuman keras. Seperti sesuatu yang menabrak lantai
dengan cukup keras.
“Sungmin-ah
!!!” teriakan HyukJae seketika menggema memenuhi udara di sore yang cukup sunyi
saat lensa matanya menangkap gambar Sungmin yang tergeletak di atas marmer yang
cukup dingin.
.
TBC
.
udah baca dan... SERUUUUUUUUUUUUUU
BalasHapusAYO LANJUT!
hyung mpe suruh temen baca, dan dia pengen ini lanjut.ayo semangat tulis! tulis!
oh ya, sedikit kritik utk tampilan, kayaknya lbh baik pke tags read more, kalo panjang kayak gini susah...
itu aja, lanjut yaa ^^
kasih kyuhyun buatku ntar baru dilanjutin :p /tepok Sungmin
BalasHapusuprriitttttttt .. kerennn ..jgn cuma dipublish di blog atuhh .. sayangg ... coba diikutkan dlm lomba2 gtu ... sipa tau diterbitin .. ;) semangattt ... sukses slalu . my prays to u girl :)
BalasHapussaya maluuuuu -_-
Hapus