Kamis, 21 Februari 2013

Iridescent 4



.
Pemuda berambut cepak –sedikit lepek, dengan kaca mata setebal alas botol yang bertengger rapi di atas hidung besarnya berjalan dengan tergesah atau mungkin bisa bisa dikatakan setengah berlari. Pemuda –nerd, yang memiliki penampilan  sangat kontras dengan siswa lain yang terlihat –sedikit banyak ‘urakan’.
“Choi... berhenti kau....” tak jauh di belakang pemuda nerd yang di panggil Choi itu, berlari sekitar empat pemuda berpenampilan tak kalah ‘urakan’ dengan pemuda-pemuda lain yang berdiri menyaksikan ‘pertunjukkan’ yang terjadi di koridor sekolah. Beragam sorakan pun terdengar –entahlah untuk menyemangati siapa.
Pemuda Choi itu terlihat semakin gelisah, bahkan kini kaca mata bundar tebal miliknya mulai melorot sepanjang hidungnya. Sedikit tak fokus berlari, pemuda Choi itu sesekali melirik kebelakang kearah empat namja yang masih setia membuntutinya.
Nasib sial untukmu Choi, sebelah kaki entah milik siapa terjulur tepat di depan jalur langkah pemuda Choi itu, dan seperti yang dapat di duga apa yang akan terjadi....
Bruukkk ....
Bunyi debaman keras terdengar sangat nyata dalam keheningan sesaat yang diperbuat para murid sekolah menengah yang seluruhnya laki-laki. Tak cukup lama, hanya beberapa detik sebelum tawa seluruh pemuda itu terdengar.
.
.
Di sudut lain koridor, seorang pemuda tampak berjalan sedikit lesu. Di tangan kirinya tergenggam kertas bergaris yang dipenuhi not-not balok. Pemuda dengan seragam rapi beserta blazernya yang juga terpasang rapi itu menampakkan wajah lelah. Hanya rambut hitam cepaknya saja yang terlihat kacau.
Pemuda itu nampak memicingkan matanya, saaat menatap kerumunan siswa di koridor sekolah. Wajar memang jika tempat itu sangat ramai di jam istirahat. Tapi hal itu menjadi tak wajar jika seluruh pemuda sepanjang lorong itu tertawa dengan serempak. Kecuali....
Pemuda itu melangkahkan kakinya cepat –nyaris berlari. Eksspresi lelah yang ditampakkan wajah sendu pemuda itu menguap entah kemana dan berganti menjadi ekspresi khawatir dan juga sepertinya sedikit –marah.
“APA YANG KALIAN LAKUKAN ?” teriak pemuda itu dengan suara lantang. Saat ini di hadapannya terdapat pemandangan yang sangat tak pantas. Bagaimana mungkin seorang pelajar melakukan tindakan semi kriminal seperti yang di lakukan teman sekolahnya saat ini ?
Sesosok pemuda nampak meringkuk dengan seragam yang sudah terkoyak, bahkan celana hitam panjang pemuda itu sudah hilang entah kemana. Rambut lepeknya tak lagi terlihat dan malah terlihat ‘pitak’ di sana sini sekitar kepala pemuda itu.
“Lee Donghae... Berhentilah bersikap sok pahlawan. Kau mau bernasib seperti sampah  itu ?” kata salah seorang dari empat pemuda yang sebelumnya mengejar pemuda Choi yang bahkan masih meringkuk dengan tubuh gemetar di atas lantai keramik yang kotor.
Lee Donghae –pemuda itu mendelik tajam pada seseorang yang dengan lantang mengancam dirinya. “Kim Soohyun. Kelas 2-7. Peringkat 137 dari 140 siswa tahun kedua. Memiliki point 85 dan 115 point lagi cukup membuatmu di keluarkan dari sekolah ini. Ingin mengetahui berapa banyak point atas apa yang baru saja kau perbuat ? Kim Soohyun sunbae ?” Ujar Donghae lancar.
“SIALAN KAU LEE DONGHAE” Kim Soohyun –pemuda dengan mata sipit dan wajah bulat itu sepertinya benar-benar hilang kesabaran. Tangan pemuda itu terkepal hendak membelai wajah sendu Donghae yang masih menatap tepat di manik mata pemuda bernama Kim Soohyun itu. Tapi diurungkannya, saat beberapa teman pemuda itu nampak menghadang laju membabi buta yang kapan saja bisa dilakukannya.
Donghae menghela napas sejenak. Berjalan kearah salah satu tiang kayu bercat hijau di sepanjang koridor. “Ada yang bersedia membantuku mengambil celana itu ? Sepertinya tubuhku kurang tinggi untuk menjangkaunya.” Kata Donghae santai. Ditunjuknya sebuah celana panjang berwarna hitam –seperti yang di kenakannya tengah tergelung dengan ‘indah’ di bagian atas tiang yang membentuk seperti huruf ‘V’ besar.
Suasana gaduh koridor yang mendadak sunyi ketika teriakan Donghae dimulai kini menjadi semakin sunyi. Bahkan Donghae dapat mendengar bunyi daun yang saling bergesek. “Tidak ada yang mau membantuku ?” Donghae menghela napas jengah. “Choi... berhentilah meringkuk seperti babi dan cepat ambil celanamu. Kau tidak lelah berada di posisi seperti itu ?” kata Donghae.
Pemuda Choi yang sebelumnya dilupakan keberadaannya itu mulai bergerak perlahan meskipun gemetar di bandannya tak dapat ditutupi. Pemuda Choi itu perlahan berdiri dan terlihat jelas ketakutan di mata besarnya.
“Cepatlah. Jangan bertindak seperti kau benar-benar seekor babi pesakitan.” Suara Donghae kembali terdengar. Dengan gerakan yang berbeda jauh dari sebelumnya, pemuda Choi itu berjalan tergesah menghampiri tempat di mana Donghae berdiri seraya mendongak keatas tiang penyangga koridor yang di atasnya terdapat celana milik pemuda Choi itu.
Donghae menatap pemuda di hadapannya dengan tatapan sendu miliknya. “Jangan berharap aku akan mengambilkan celanamu. Sudah kukatakan jika aku tak dapat menjangkaunya. Bukankah kau lebih tinggi dariku ?”
Pemuda Choi itu menatap tepat manik Donghae, terlihat seperti hendak menangis. Mungkin saja dirinya merasa terharu akan tindakan Donghae. Tanpa perlu mendengar ocehan Donghae lagi, pemuda Choi itu bergegas menarik celana panjang hitam miliknya dengan mudah. Donghae sempat memperlihatkan raut terkejut miliknya saat didapati pemuda Choi itu dengan mudah mengagapai celana hitam milknya.
“Kau tak mau memakainya ? Jika Ahn seonsaengnim melihatmu seperti ini, aku yakin dia akan membuat kegaduhan yang .... aku tak mau membayangkannya.” Donghae –pemuda itu benar-benar ajaib. Bagaimana bisa dirinya merubah ekspresi diwajahnya dalam hitungan detik ?
Pemuda Choi itu mengangguk dan segera mengenakan celana hitam milknya. Benar-benar terlihat seperti seorang murid TK yang mendapat perintah dari seonsaengnimnya.
“Mana blazermu ?” kata Donghae lagi. Matanya memperhatikan penampilan pemuda di hadapannya yang masih jauh dari kata rapih. Mata Donghae beralih pandang, sedikit mendelik pada kerumunan pemuda yang masih berdiri tanpa suara di belakang tubuh pemuda Choi itu.
Kim Soohyun kembali menggeram, merasa tak terima dengan tatapan sendu milik Donghae tapi dalam waktu bersamaan terkesan mengintimidasi. “Aku tak tahu. Hey, Choi. Katakan padanya jika aku sama sekali tak menyentuh blazermu.” Ujar pemuda itu ketus.
Donghae beralih menatap Choi dan Donghae benci dirinya harus sedikit mendongak untuk menatap wajah Choi. Pemuda itu mengangguk cepat, membenarkan pernyataan dari Kim Soohyun.
“Kau kembalilah ke kamar asramamu dan berganti seragam.” Titah Donghae yang lagi-lagi di balas anggukan antusias dari pemuda Choi itu. Kali ini tanpa pengulangan, pemuda Choi itu bergegas berlari menyusuri koridor yang walalupun ramai tapi sama sekali tak terdengar suara walaupun hanya berbisik.
Suara jejak sepatu pemuda Choi itu memenuhi area pendengaran Donghae, mungkin juga seluruh pemuda yang berada di sepanjang koridor sekolah. Donghae beralih menatap kertas yang berada di genggaman tangan kirinya. Dan sial, kertas itu menjadi lusuh bukan main –mungkin saja dirinya tanpa sadar meremas kuat kertas itu.
Dan lihatlah kini, pemuda dengan pakaian paling rapih itu berjalan melewati beberapa pemuda yang tertunduk dengan santainya. “Kalian tak ingin masuk kelas ? Sepertinya sebentar lagi bel tanda istirahat berakhir akan terdengar.”
Dan seketika itu juga, suasana koridor menjadi gaduh dengan murid-murid yang lalu lalang mencari keberadaan pintu kelas mereka –termasuk Kim Soohyun. Donghae hanya mengedikkan bahunya tak mau perdui  dan dirinya kini tengah larut dalam kerumunan siswa yang hendak memasuki kelas mereka.
.

End of Flashback
.


Sssssrrrrhhhh...

Suara desakan air yang berlomba terjun dari celah sempit berbentuk bundar memenuhi setiap sudut ruangan. Kaca yang mengembun disertai titik-titik air memberi kesan buram pada sosok yang tengah menunduk membasuh wajah berulang-ulang kali.

Pemuda berusia lebih dari seperempat abad itu menyiprakkan air dingin dari keran wastafel berulang kali pada wajah basahnya. Sesekali diusapnya kasar wajah yang makin basah oleh terpaan air dingin bening itu.

“Choi Siwon.” Pemuda itu menggumam lirih. Nampak sorot mata tajamnya menatap tepat pantulan bayang yang nampak buram pada kaca seukuran sebatas dada di hadapannya.

.
In The Morning
.

Sungmin –pemuda dengan seragam putih yang nampak jauh dari kesan rapi. Poni menutupi wajah bulatnya yang nampak serius menatap lembar demi lembar buku yang tergeletak tak kalah semrawut di banding penampilannya.

Sesekali menyuap sesendok makanan memasuki mulutnya. Mungkin sekitar pukul 6 pagi. Suasana sekolah masih sepi, hanya beberapa murid rajin saja yang sudah menampakkan kepalanya di pelataran sekolah –baiklah, Sungmin bukan termasuk jajaran murid rajin itu. Jika saja bukan karena detensi maut dari Yoon seonsaengnim, Sungmin lebih memilih bergelung dengan selimut dalam kamar asramanya daripada harus menikmati sajian buku penuh dengan bahasa Inggris di dalamnya. Apalagi cuaca di akhir musim gugur, benar-benar membuat frustasi.

Andai saja ada Hyukjae –ah, tiap Sungmin mengingat nama sahabatnya itu, dirinya seperti ditekan kuat oleh sesuatu hingga membuat perutnya nampak seperti di remas-remas. Percayalah, tapi itu benar-benar menyiksa Sungmin.

“Aku tak tahu ternyata kau serajin ini.” Sungmin sedikit terkejut saat tiba-tiba saja indera pendengarannya menangkap sebuah suara yang sama sekali tak asing olehnya. Hanya saja...

“Kau benar-benar seperti hantu, Cho.” Sungmin mencibir. Hanya mendelik sesaat pada Kyuhyun yang tengah menampilkan wajah stoic miliknya lalu kembali fokus pada buku yang membuat Sungmin ingin membenturkan kepala laki-laki ‘menyebalkan’ di hadapannya.

Kyuhyun –Cho Kyuhyun, tak membalas sindiran Sungmin. Dirinya terlalu sibuk menjelajah pandang pada sekeliling kantin sekolah yang bertema outdoor itu. Nampak sepi. Hanya terdapat empat manusia yang tengah duduk di beberapa bangku kantin yang tersedia –termasuk dirinya dan Sungmin.
“Kau sedang apa ?” tanya Kyuhyun singkat.

Sungmin memutar bola matanya malas. Semalas mulutnya yang tak kunjung menjawab pertanyaan Kyuhyun. Sungmin merasa jika Kyuhyun masih memiliki mata normal untuk melihat apa yang sedang Sungmin lakukan –benar-benar pertanyaan bodoh, pikir Sungmin.

“Hei...” protes Sungmin saat didapi Kyuhyun dengan seenaknya mengangkat buku ‘kutukan’ Yoon seonsaengnim.

Kyuhyun mengernyitkan dahinya –pertanda heran. “The Global Communist ? Aku tak tahu jika buku ini begitu populer.” Seru Kyuhun ringan.

Sungmin tak perduli, segera tangannya merampas buku ‘kutukan’ itu dari jajahan Kyuhyun. “Memangnya apa yang kau tahu ? Kurasa kau memang tak pernah tahu apa-apa.” Sungmin mencibir.
Kyuhyun masih enggan menanggapi. Dirinya seolah kembali pada sisi dirinya yang terkenal ‘sedikit’ pendiam. Atau entahlah... mungkin tak akan bertahan lama apalagi dengan pertanyaan-pertanyaan bodohnya itu –batin Sungmin.

“Kau... Bisa berbahasa Inggris bukan ?” lirih Sungmin. Bahkan Kyuhyun masih harus menajamkan teliganya meskipun suasana kantin terbilang cukup sepi.

Kyuhyun mengedikkan bahunya acuh, melirik sekilas pada buku yang menampilkan halaman penuh deretan huruf alphabet. Kyuhyun sedikit mual saat matanya menagkap tulisan berwarna hitam itu.
“Tanyakan saja pada Lee Jinki-ssi. Mengkin saja orang itu tahu.” Kata Kyuhyun datar.

Sungmin menaikkan alis kirinya, sempat menatap Kyuhyun sanksi. “Dia tahu buku ini ?” tanya Sungmin.
Kyuhyun mengangguk, pandangannya masih mengedar sekeliling kantin, entah apa yang tengah dicarinya. “Aku melihatnya membawa buku itu kemarin. Dan meskipun dia berkata tak mengerti tapi aku yakin dia sudah selesai menerjemahkan isi buku itu.” Kyuhyun menatap manik Sungmin sesaat sebelum kembali mengedarkan pandangannya.

“Kau mencari sesuatu ?” seru Sungmin tiba-tiba.

Kyuhyun sedikit terkejut dengan lontaran kata Sungmin. Terlihat jelas dari bola matanya yang sedikit membesar walau hanya beberapa detik. Terlihat menggeleng pelan, sepertinya Kyuhyun tak ingin membahas lebih jauh atas perkataan Sungmin. Mungkin Kyuhyun lupa jika selain Jinki sedikit banyak Sungmin sudah mengetahui bagaimana Kyuhyun yang sebenarnya. Hanya saja, Kyuhyun merasa jika Sungmin lebih mengerikan daripada Jinki –maksud Kyuhyun... entahlah, mungkin hanya Kyuhyun yang bisa merasakan akan hal tersebut.

 “Aku pergi.” Kyuhyun berdiri dari duduknya. Belum sempat melangkah, Kyuhyun kembali berucap pada Sungmin. “Kau bisa mencari Lee Jinki-ssi di ruang dewan siswa. Dia selalu ditempat itu saat istirahat.”
Sungmin menatap punggung Kyuhyun yang semakin menjauh tanpa berkedip, tidak heran kala dirinya mendapati sifat Kyuhyun yang bagai bunglon itu. Hanya saja, pikiran Sungmin tertuju pada sebuah nama “Lee Jinki”. Apa urusan pemuda itu membaca buku ‘kutukan’ Yoon seonsaengnim ?

Sungmin memejamkan matanya sesaat. Apa mungkin Jinki mengambil buku itu atas suruhan Yoon seonsaengnim dengan tujuan untuk mempersulitnya ? Ah... tidak—tidak, Sungmin menggelengkan kepalanya keras. Merasa bodoh atas pemikirannya yang memang bodoh. Astaga... Ternyata efek samping dari buku ‘kutukan’ Yoon seonsaengnim benar-benar dahsyat dan berimbas buruk terhadap kewarasan otaknya.

Angin semakin kencang berhembus. Rambut berantakan Sungmin terlihat makin tak jelas arah sisirannya. Kembali menunduk mencoba menerjemahkan buku sial –menurut Sungmin.

Tes... Tes...

Sungmin terpaku. Menatap cairan kental berwarna merah berbau besi berkarat. Sungmin masih menatap darah segar yang mengotori buku ‘kutukan’ kesayangan Yoon seonsaengnim. Ah, sial. Sungmin telah mengotori buku kesayangan Yoon seonsaengnim dan ini berarti bencana. Siapa saja. Perut Sungmin mendadak sakit saat membayangkan wajah Yoon seonsaengnim yang berubah menjadi seperti Lord Voldemord dan bukannya seperti Profesor Dumbledore.

“Astaga. Kau berdarah.” Teriak sebuah suara bass, setipe dengan Kyuhyun hanya saja, suara Kyuhyun terdengar lebih merdu.

Sungmin mendongak, menatap seorang pemuda asing yang tengah berdiri di hadapannya dengan raut sedikit –panik, hanya sedikit. Sungmin sedikit berjengit kaget, saat pemuda di hadapannya tanpa aba-aba langsung menekan sebuah sapu tangan tepat dihidung Sungmin. Tak cukup sampai disana, pemuda itu menekan tengkuk Sungmin cukup keras sekaligus menengadahkan wajah Sungmin.

“Bisakah kau melakukannya sendiri ?” kata pemuda bersuara berat itu lagi.

Sungmin tak mengerti maksud dari perkataan pemuda itu. “Maksudku... kau bisa menekan hidungmu sendiri bukan ? Rasanya.. Kau tahu ?” Pemuda itu mengedikkan bahunya sambil memberikan senyum yang harus Sungmin akui manis, pemuda itu bahkan memiliki lesung pipi.

Sungmin mengangguk tanpa menjawab dengan ucapan dan segera menggantikan tangan besar pemuda itu untuk menekan hidungnya yang berdarah.

“Jika kau merasa pusing atau matamu berkunang-kunang sebaiknya kau ke ruangan kesehatan.” Pemuda itu masih tersenyum ramah sebelum meninggalkan Sungmin yang masih menengadah menahan aliran darahnya.

Lagi-lagi Sungmin hanya memandang punggung pemuda itu, kali ini dengan dahi berkerutnya, sepertinya Sungmin pernah melihat pemuda itu. Tapi dimana ? Entahlah, sudah cukup buku ‘kutukan’ Yoon seonsaengnim memenuhi pikirannya.

.
Something you can see when the light on
Something you can see when the light off
Something will come
Something will disappear
.

“Satu... Dua... Tiga... Empat... Lima... Lompat...” suara kecil itu terdengar sangat gembira. Tak jarang suara tawa berjejalan di sela-sela kata yang di ucapkan anak kecil itu.
“Eomma kalah lagi.” Seru seorang wanita dewasa yang tengah membuat raut sedih di wajahnya.
Namja kecil yang sedari tadi melompat-lompat di atas tanah bergambar kotak-kotak membentuk pola itu segera menghampiri wanita yang mengklaim dirinya sebagai –eomma. “Eomma harus berusaha, ne ? Tak boleh menyerah. Harus bisa mengalahkan Kyunnie.” Lontaran dari mulut kecil yang terlihat basah itu di akhiri dengan senyuman manis.
Eomma namja kecil itu melirik putranya sekilas sebelum mensejajarkan tingginya dengan namja kecil kesayangannya. “Berikan eomma pelukan. Dan eomma akan mengalahkan Kyunnie...” rengek eomma namja kecil itu.
Kyunnie—nama namja kecil itu, terlihat berpikir tergambar dari pergerakan jari mungilnya yang mengetuk-ngetuk di sekitar dagu kecil miliknya. “Shireo. Kyunnie tak mau memeluk eomma. Kyunnie tak ingin kalah.” Ucap namja kecil itu di akhir.
Wanita dewasa tadi kembali memasang wajah cemberutnya. Bibir merah mudanya mengerucut, benar-benar terlihat masih sangat cantik. “Kyunnie tak sayang eomma, ne ?” Kini eomma namja kecil itu segera berdiri memunggungi namja kecilnya dengan memberikan tampang –pura-pura—kesal.
Mata namja kecil itu membulat sempurna, bahkan mulutnya juga terbuka. Bukan, bukannya tak sayang eomma-nya hanya saja. Aisshh... namja kecil itu terlihat bingung ingin mengucapkan apa kepada eommanya.
“Eomma... “ kata namja kecil itu merajuk. Tangan mungilnya menarik-narik bagian belakang baju eommanya. “Eomma... Sini...” rajuk namja kecil itu lagi.
Dengan wajah yang masih –pura-pura—kesal, wanita dewasa tadi kembali mensejajarkan tingginya dengan namja kecil yang nampak tengah menahan tangis. Matanya terlihat memerah dan air tengah menggenang di sana.
Chue~~
“Kyunnie tak mau memeluk eomma... Habisnya Kyunnie tak mau kalah. Jadi Kyunnie poppo eomma saja.” Barisan gigi susu rapi diperlihatkan namja kecil tadi kepada eommanya.
.
.

Hembusan angin si akhir musim gugur makin menggila. Bahkan hampir seluruh pohon di areal sekolah sudah merontokkan seluruh dedaunan yang sebelumnya bertengger indah di tiap pucuknya.

Pemuda dengan rambut coklat berantakan itu masih terduduk nyaman di atas bangku kayu yang terletak di antara pepohonan besar yang telah kehilangan mahkotanya. Jejak-jejak daun berwarna coklat menumpuk di sekitar pijakan pemuda yang nampak menikmati keadaan pagi yang –tak cukup nikmat pada saat penghujung musim gugur.

“Eomma... Aku... Mianhae... Maaf.” Pemuda tadi berujar lirih. Bahkan bulir-bulir air mata mulai turun dari kelopak terpejamnya.

Angin kembali berhembus kencang. Cukup kuat untuk menggoyangkan dahan-dahan tak berdaun yang berada di sekitar pemuda itu.

“Eomma... Aku tak menginginkan semua ini. Aku tak ingin bisa melihatmu. Aku tak ingin mendengar suaramu.  Aku tak ingin kau berada di sampingku lagi. Aku tak ingin. Eomma...” pemuda itu kembali berujar, lebih terdengar seperti meracau. Menundukkan kepalanya dan meremas rambut coklat yang sudah berantakan.

“Kyunnie tak sayang eomma, ne ?”

.
.

“Kyuhyun berkata seperti itu ?”

Sungmin menganggukkan kepalanya, terlihat enggan menjawab pertanyaan pemuda sipit di hadapannya.

“Ah, apa sunbae masih membutuhkan buku itu ? Aku bisa memberikannya padamu sekarang juga, lagipula aku berniat untuk mengembalikan buku itu hari ini.”

“Tidak, aku sudah mendapat penggantinya.” Sungmin menunjukkan sebuah buku di genggaman tangan kirinya. “Hanya saja. Cho Kyuhyun-ssi memberitahukan sesuatu kepadaku.” Ujar Sungmin ragu –atau malu.

“Kyuhyun berkata apa lagi, sunbae ?”

“Jinki-ssi, kau—maksudku, apa—apa kau. Tunggu.” Sungmin menghembuskan napasnya perlahan. “Apa kau mau membantuku ?” kata Sungmin cepat. Meminta bantuan secara terang-terangan dan terlihat bodoh bukanlah diri Sungmin. Dan saat ini ingin sekali dirinya membenturkan kepala Kyuhyun ke tembok keras di sebelah kirinya.

Jinki menaikkan sebelah alisnya –heran. Tak cukup lama karena setelahnya senyuman manis milik Jinki yang membuat kelopak matanya membentuk lengkungan seperti bulan sabit. “Katakan saja sunbae, tak perlu sungkan.”

Sungmin memantapkan hatinya. Malu atau mati. Sebenarnya Sungmin lebih memilih mati daripada malu. Tapi, jika di pikirkan lagi. Sungmin tak mau mati hanya gara-gara detensi konyol dari Yoon seonsaengnim.

“Kau sudah membaca buku itu, bukan ? Jinki-ssi ?” Jinki terlihat mengangguk, masih menunggu lanjutan dari perkataan Sungmin. “Dan Kyuhyun berkata padaku jika kau sedikit banyak tahu maksud dari buku ini. Jadi...”

“Ah... Kyuhyun berkata seperti itu ?” Jinki terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bel berbunyi sekitar 5 menit lagi. Jadi, sunbae bisa menemuiku di ruang dewan siswa saat istirahat nanti. Aku permisi dulu. Annyeong.” Jinki menundukkan kepalanya sopan sebelum bergerak meninggalkan Sungmin.

“Ah.. Nde.” Sungmin berseru lantang, mungkin terlalu bahagia. Bertemu dengan Kyuhyun yang meskipun bersikap ‘aneh’ –aneh ? Sungmin tak habis pikir, bagaimana bisa orang yang di cap aneh oleh seluruh penghuni sekolah malah mengatai si pembuat onar yang terkenal itu dengan sebutan aneh ? Biarlah, setidaknya Sungmin beruntung karena secara tak sengaja bertemu dengan Jinki di koridor sekolah.

Belum genap empat langkah. Kaki Sungmin seperti tertahan, hendak sekedar menyeretpun tak bisa. Benar-benar seperti terpaku kuat di atas lantai keramik berwarna putih yang tengah ia pijak.

Sungmin tak terlalu bodoh untuk tak mengenali atmospher yang tengah di rasakannya. Tengkuknya terasa lelah dan berat di saat bersamaan. Karbon dioksida tertahan di pangkal tenggorokannya. Memaksa kedua bola matanya menatap ke satu titik yang tak ingin di pandangnya. Bukankah selama empat hari kemarin dirinya sudah terbebas dari hal sialan ini, kenapa harus terjadi lagi ? Sungmin tak tahu harus protes kepada siapa. Tapi hal ini benar-benar menyiksa dirinya.

Sedikit buram. Sungmin tak dapat mem-fokus-kan pandangannya. Terlalu buram, seperti sebuah foto yang di beri efek blur. Dan perlahan, saat derap-derap langkah mulai terdengar lirih—semakin lirih hingga sama sekali tak menimbulkan getaran pada gendang telinganya. Sosoknya terlihat jelas. Terlihat nyata dan Sungmin benci mengatakannya. Sungmin benci mengakui jika sosok itu tengah menatapnya, menatap tepat manik kelam Sungmin yang entah mengapa hanya tefokus pada pupil putih sosok berambut panjang di hadapannya.

.
.
“Hei, jagoan. Kau mau kemana, eoh ? Jangan mengganggu eommamu. Hari ini kau akan appa tahan.” Laki-laki berusia sekitar awal 30-an itu terlihat mengejar seorang namja kecil berusia sekitar 4 tahun.
Namja kecil itu berlari-lari kecil dengan sesekali terdengar kekehan yang keras. “Ssssttt.” Laki-laki dewasa—appa namja kecil itu membuat gerakan jari telunjuk di tempelkannya di atas hidung bangir –pertanda untuk berhenti membuat kegaduhan.
“Kyunnie tak boleh tertawa keras seperti itu. Bagaimana jika murid yang sedang belajar terganggu.” Laki-laki dewasa itu berucap lirih –berupaya seperti berbisik.
Namja kecilnya mengangguk-angguk lucu, sepasang mata kecilnya sesekali mengerjap sejalan dengan ucapan dari appanya. “Baiklah, sekarang jagoan akan terbang menuju markas besar. Bersiap ?” kata laki-laki dewasa itu lagi, tentu saja dengan nada seperti berbisik.
“SIAAAAP...” mata laki-laki dewasa itu membulat saat dengan tanpa dosa namja kecilnya berteriak hingga suaranya menggema di sepanjang koridor yang sepi.
.
.

“Aku tak melihatmu. Aku... Ak-ku... K-kau.”

Sekelebat putih menghilang. Seperti tak pernah ada apapun di depan sana. Atau memang tak pernah ada apapun di depan sana.

“Kumohon...”

Sungmin menegakkan punggungnya, serbuan angin penghujung musim gugur membelai wajah putihnya. Menahan oksigen berputar di sekitar lubang hidung bangirnya.

“Teng... Teng... Teng...”

Bunyi bel yang lebih terdengar seperti lonceng tempat sembahyang  itu memaksa Sungmin menghirup oksigen tercemar kedalam paru-parunya. Terlepas dari belenggu samar, bergegas mengedarkan pandangan ke segala arah. Entah apa yang terjadi kali ini, tapi ini merupakan hal yang baru bagi Sungmin. Laki-laki dewasa dan namja kecil. Sungmin seperti mengenal dua sosok itu. Hanya saja... hanya saja entah mengapa otak Sungmin menolak untuk mencari lebih lanjut tentang dua sosok itu.

.
When the light on you can see what the dark hidden
But you miss something that only you can see in the dark
.

Pemuda itu masih terdiam. Menundukkan kepalanya dalam. Bukan. Pemuda itu bukannya sedang menangis. Dia hanya terdiam, mungkin saja itu merupakan cara terampuh untuk mengendalikan diri.
“Cho Kyuhyun-ssi.”

Kyuhyun—nama emuda itu, tak langsung mendongak dan bersikap layaknya tikus yang tengah terperangkap. Berbeda. Pemuda itu berbeda. Kyuhyun masih tetap bertahan dengan posisinya semula. Sama sekali tak memperdulikan suara berat laki-laki yang tengah menegurnya.

“Sepertinya bel sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu. Apa yang kau lakukan di sini ?” kembali –suara berat itu terdengaroleh gendang telinga Kyuhyun.

Kyuhyun menggerakkan kepalanya perlahan. Sedikit menengadah dan mendelik tajam pada sosok laki-laki paruh baya berusia kisaran 40 tahun, seusia dengan ayahnya. Kyuhyun hanya menampakkan tatapan tajamnya sejenak, tak cukup lama. Kyuhyun selalu tak bisa menatap wajah laki-laki di hadapannya terlalu lama. bahkan sekedar bertemu dalam jarak pandang terlampau jauh-pun Kyuhyun sangat enggan.

Laki-laki yang sudah menampakkan banyak kerutan wajah itu memandang sendu pemuda yang masih terduduk di hadapannya. Jarak mereka tidaklah sejauh lintasan lari jarak pendek. Tapi, jarak tak kasat mata antara mereka berdua lebih lebar dan lebih koko dari tembok China sekalipun.

“Kau sedang mengalami kesulitan ? Apa...” Kyuhyun memotong cepat ucapan laki-laki paruh baya itu.

“Berhentilah bersikap seakan kau perduli padaku. Cho seonsaengnim.” Sergah Kyuhyun ketus.

Laki-laki paruh baya tadi –Cho seonsaengnim, menghembuskan napas jengah. Sedikit merasa tersinggung dengan umpatan kasar yang di keluarkan bibir Kyuhyun. “Berhentilah bersikap tidak bertanggung jawab. Kau sudah bukan anak berusia 5 tahun lagi, Cho Kyuhyun.”

Kyuhyun berdiri dari duduknya dengan gerakan cepat. Menatap tajam manik mata Cho seonsaengnim. “DAN KAU BERHENTILAH BERSIKAP SEPERTI KAU ADALAH AYAHKU.” Hanya itu kata yang mampu di ucapkan lidah Kyuhyun. Pita suaranya tak mampu bergetar lebih dari itu. Kyuhyun juga tak mengerti. Hanya saja, setiap bersua dengan laki-laki paruh baya itu Kyuhyun hanya merasakan amarah yang berlebih. Dan Kyuhyun tak yakin jika rasa amarah itu akan menghilang. Tak akan pernah.

Cho seonsaengnim sedikit terkejut mendengar teriakan keras dari pemuda di hadapannya. Wajah tua laki-laki itu mengeras seiring dengan pergerakan daun-daun yang makin menggila. Mata sipit di balik kacamata besarnya terlihat memicing, menatap pemuda di hadapannya jengah.

“Jangan berpikir terlalu jauh. Aku hanya sedang bertindak sebagai seonsaengnim yang sedang memberi nasehat kepada murid yang sedang bermasalah.” Ujar Cho seonsaengnim datar. Wajah mengerasnya mulai melunak seiring dengan kata-kata yang keluar dari getaran pita suaranya.

Kedua namja beda usia tersebut saling menatap mata dengan pandangan yang –mungkin berbeda. Tanpa perkataan yang keluar dari mulut keduanya. Hanya saling menatap dan itupun tak cukup lama saat seorang diantaranya –Kyuhyun memutuskan kontak yang terjalin dan lebih memilih menolehkan wajahnya menengadah memandang ranting tanpa daun yang bergoyang mengikuti irama angin.


a/n otak saya mandek =="

Tidak ada komentar:

Posting Komentar