.
Pemuda
berambut cepak –sedikit lepek, dengan kaca mata setebal alas botol yang
bertengger rapi di atas hidung besarnya berjalan dengan tergesah atau mungkin
bisa bisa dikatakan setengah berlari. Pemuda –nerd, yang memiliki penampilan sangat kontras dengan siswa lain yang terlihat
–sedikit banyak ‘urakan’.
“Choi...
berhenti kau....” tak jauh di belakang pemuda nerd yang di panggil Choi itu, berlari
sekitar empat pemuda berpenampilan tak kalah ‘urakan’ dengan pemuda-pemuda lain
yang berdiri menyaksikan ‘pertunjukkan’ yang terjadi di koridor sekolah.
Beragam sorakan pun terdengar –entahlah untuk menyemangati siapa.
Pemuda
Choi itu terlihat semakin gelisah, bahkan kini kaca mata bundar tebal miliknya
mulai melorot sepanjang hidungnya. Sedikit tak fokus berlari, pemuda Choi itu
sesekali melirik kebelakang kearah empat namja yang masih setia membuntutinya.
Nasib
sial untukmu Choi, sebelah kaki entah milik siapa terjulur tepat di depan jalur
langkah pemuda Choi itu, dan seperti yang dapat di duga apa yang akan
terjadi....
Bruukkk
....
Bunyi
debaman keras terdengar sangat nyata dalam keheningan sesaat yang diperbuat
para murid sekolah menengah yang seluruhnya laki-laki. Tak cukup lama, hanya
beberapa detik sebelum tawa seluruh pemuda itu terdengar.
.
.
Di
sudut lain koridor, seorang pemuda tampak berjalan sedikit lesu. Di tangan
kirinya tergenggam kertas bergaris yang dipenuhi not-not balok. Pemuda dengan
seragam rapi beserta blazernya yang juga terpasang rapi itu menampakkan wajah
lelah. Hanya rambut hitam cepaknya saja yang terlihat kacau.
Pemuda
itu nampak memicingkan matanya, saaat menatap kerumunan siswa di koridor
sekolah. Wajar memang jika tempat itu sangat ramai di jam istirahat. Tapi hal
itu menjadi tak wajar jika seluruh pemuda sepanjang lorong itu tertawa dengan
serempak. Kecuali....
Pemuda
itu melangkahkan kakinya cepat –nyaris berlari. Eksspresi lelah yang
ditampakkan wajah sendu pemuda itu menguap entah kemana dan berganti menjadi
ekspresi khawatir dan juga sepertinya sedikit –marah.
“APA
YANG KALIAN LAKUKAN ?” teriak pemuda itu dengan suara lantang. Saat ini di
hadapannya terdapat pemandangan yang sangat tak pantas. Bagaimana mungkin
seorang pelajar melakukan tindakan semi kriminal seperti yang di lakukan teman
sekolahnya saat ini ?
Sesosok
pemuda nampak meringkuk dengan seragam yang sudah terkoyak, bahkan celana hitam
panjang pemuda itu sudah hilang entah kemana. Rambut lepeknya tak lagi terlihat
dan malah terlihat ‘pitak’ di sana sini sekitar kepala pemuda itu.
“Lee
Donghae... Berhentilah bersikap sok pahlawan. Kau mau bernasib seperti
sampah itu ?” kata salah seorang dari
empat pemuda yang sebelumnya mengejar pemuda Choi yang bahkan masih meringkuk
dengan tubuh gemetar di atas lantai keramik yang kotor.
Lee
Donghae –pemuda itu mendelik tajam pada seseorang yang dengan lantang mengancam
dirinya. “Kim Soohyun. Kelas 2-7. Peringkat 137 dari 140 siswa tahun kedua.
Memiliki point 85 dan 115 point lagi cukup membuatmu di keluarkan dari sekolah
ini. Ingin mengetahui berapa banyak point atas apa yang baru saja kau perbuat ?
Kim Soohyun sunbae ?” Ujar Donghae lancar.
“SIALAN
KAU LEE DONGHAE” Kim Soohyun –pemuda dengan mata sipit dan wajah bulat itu
sepertinya benar-benar hilang kesabaran. Tangan pemuda itu terkepal hendak
membelai wajah sendu Donghae yang masih menatap tepat di manik mata pemuda
bernama Kim Soohyun itu. Tapi diurungkannya, saat beberapa teman pemuda itu
nampak menghadang laju membabi buta yang kapan saja bisa dilakukannya.
Donghae
menghela napas sejenak. Berjalan kearah salah satu tiang kayu bercat hijau di
sepanjang koridor. “Ada yang bersedia membantuku mengambil celana itu ?
Sepertinya tubuhku kurang tinggi untuk menjangkaunya.” Kata Donghae santai.
Ditunjuknya sebuah celana panjang berwarna hitam –seperti yang di kenakannya
tengah tergelung dengan ‘indah’ di bagian atas tiang yang membentuk seperti
huruf ‘V’ besar.
Suasana
gaduh koridor yang mendadak sunyi ketika teriakan Donghae dimulai kini menjadi
semakin sunyi. Bahkan Donghae dapat mendengar bunyi daun yang saling bergesek.
“Tidak ada yang mau membantuku ?” Donghae menghela napas jengah. “Choi...
berhentilah meringkuk seperti babi dan cepat ambil celanamu. Kau tidak lelah
berada di posisi seperti itu ?” kata Donghae.
Pemuda
Choi yang sebelumnya dilupakan keberadaannya itu mulai bergerak perlahan
meskipun gemetar di bandannya tak dapat ditutupi. Pemuda Choi itu perlahan
berdiri dan terlihat jelas ketakutan di mata besarnya.
“Cepatlah.
Jangan bertindak seperti kau benar-benar seekor babi pesakitan.” Suara Donghae
kembali terdengar. Dengan gerakan yang berbeda jauh dari sebelumnya, pemuda
Choi itu berjalan tergesah menghampiri tempat di mana Donghae berdiri seraya
mendongak keatas tiang penyangga koridor yang di atasnya terdapat celana milik
pemuda Choi itu.
Donghae
menatap pemuda di hadapannya dengan tatapan sendu miliknya. “Jangan berharap
aku akan mengambilkan celanamu. Sudah kukatakan jika aku tak dapat
menjangkaunya. Bukankah kau lebih tinggi dariku ?”
Pemuda
Choi itu menatap tepat manik Donghae, terlihat seperti hendak menangis. Mungkin
saja dirinya merasa terharu akan tindakan Donghae. Tanpa perlu mendengar ocehan
Donghae lagi, pemuda Choi itu bergegas menarik celana panjang hitam miliknya
dengan mudah. Donghae sempat memperlihatkan raut terkejut miliknya saat didapati
pemuda Choi itu dengan mudah mengagapai celana hitam milknya.
“Kau
tak mau memakainya ? Jika Ahn seonsaengnim melihatmu seperti ini, aku yakin dia
akan membuat kegaduhan yang .... aku tak mau membayangkannya.” Donghae –pemuda
itu benar-benar ajaib. Bagaimana bisa dirinya merubah ekspresi diwajahnya dalam
hitungan detik ?
Pemuda
Choi itu mengangguk dan segera mengenakan celana hitam milknya. Benar-benar
terlihat seperti seorang murid TK yang mendapat perintah dari seonsaengnimnya.
“Mana
blazermu ?” kata Donghae lagi. Matanya memperhatikan penampilan pemuda di
hadapannya yang masih jauh dari kata rapih. Mata Donghae beralih pandang,
sedikit mendelik pada kerumunan pemuda yang masih berdiri tanpa suara di
belakang tubuh pemuda Choi itu.
Kim
Soohyun kembali menggeram, merasa tak terima dengan tatapan sendu milik Donghae
tapi dalam waktu bersamaan terkesan mengintimidasi. “Aku tak tahu. Hey, Choi.
Katakan padanya jika aku sama sekali tak menyentuh blazermu.” Ujar pemuda itu
ketus.
Donghae
beralih menatap Choi dan Donghae benci dirinya harus sedikit mendongak untuk
menatap wajah Choi. Pemuda itu mengangguk cepat, membenarkan pernyataan dari
Kim Soohyun.
“Kau
kembalilah ke kamar asramamu dan berganti seragam.” Titah Donghae yang
lagi-lagi di balas anggukan antusias dari pemuda Choi itu. Kali ini tanpa
pengulangan, pemuda Choi itu bergegas berlari menyusuri koridor yang walalupun
ramai tapi sama sekali tak terdengar suara walaupun hanya berbisik.
Suara
jejak sepatu pemuda Choi itu memenuhi area pendengaran Donghae, mungkin juga
seluruh pemuda yang berada di sepanjang koridor sekolah. Donghae beralih
menatap kertas yang berada di genggaman tangan kirinya. Dan sial, kertas itu
menjadi lusuh bukan main –mungkin saja dirinya tanpa sadar meremas kuat kertas
itu.
Dan
lihatlah kini, pemuda dengan pakaian paling rapih itu berjalan melewati
beberapa pemuda yang tertunduk dengan santainya. “Kalian tak ingin masuk kelas
? Sepertinya sebentar lagi bel tanda istirahat berakhir akan terdengar.”
Dan
seketika itu juga, suasana koridor menjadi gaduh dengan murid-murid yang lalu
lalang mencari keberadaan pintu kelas mereka –termasuk Kim Soohyun. Donghae
hanya mengedikkan bahunya tak mau perdui dan dirinya kini tengah larut dalam kerumunan
siswa yang hendak memasuki kelas mereka.
.
End of Flashback
.
Sssssrrrrhhhh...
Suara desakan air yang berlomba terjun
dari celah sempit berbentuk bundar memenuhi setiap sudut ruangan. Kaca yang
mengembun disertai titik-titik air memberi kesan buram pada sosok yang tengah
menunduk membasuh wajah berulang-ulang kali.
Pemuda berusia lebih dari seperempat
abad itu menyiprakkan air dingin dari
keran wastafel berulang kali pada
wajah basahnya. Sesekali diusapnya kasar wajah yang makin basah oleh terpaan
air dingin bening itu.
“Choi Siwon.” Pemuda itu menggumam
lirih. Nampak sorot mata tajamnya menatap tepat pantulan bayang yang nampak
buram pada kaca seukuran sebatas dada di hadapannya.
.
In
The Morning
.
Sungmin –pemuda dengan seragam putih
yang nampak jauh dari kesan rapi. Poni menutupi wajah bulatnya yang nampak
serius menatap lembar demi lembar buku yang tergeletak tak kalah semrawut di banding penampilannya.
Sesekali menyuap sesendok makanan
memasuki mulutnya. Mungkin sekitar pukul 6 pagi. Suasana sekolah masih sepi,
hanya beberapa murid rajin saja yang sudah menampakkan kepalanya di pelataran
sekolah –baiklah, Sungmin bukan termasuk jajaran murid rajin itu. Jika saja
bukan karena detensi maut dari Yoon
seonsaengnim, Sungmin lebih memilih bergelung dengan selimut dalam kamar
asramanya daripada harus menikmati sajian buku penuh dengan bahasa Inggris di
dalamnya. Apalagi cuaca di akhir musim gugur, benar-benar membuat frustasi.
Andai saja ada Hyukjae –ah, tiap
Sungmin mengingat nama sahabatnya itu, dirinya seperti ditekan kuat oleh
sesuatu hingga membuat perutnya nampak seperti di remas-remas. Percayalah, tapi
itu benar-benar menyiksa Sungmin.
“Aku tak tahu ternyata kau serajin
ini.” Sungmin sedikit terkejut saat tiba-tiba saja indera pendengarannya
menangkap sebuah suara yang sama sekali tak asing olehnya. Hanya saja...
“Kau benar-benar seperti hantu, Cho.”
Sungmin mencibir. Hanya mendelik sesaat pada Kyuhyun yang tengah menampilkan
wajah stoic miliknya lalu kembali
fokus pada buku yang membuat Sungmin ingin membenturkan kepala laki-laki
‘menyebalkan’ di hadapannya.
Kyuhyun –Cho Kyuhyun, tak membalas
sindiran Sungmin. Dirinya terlalu sibuk menjelajah pandang pada sekeliling
kantin sekolah yang bertema outdoor
itu. Nampak sepi. Hanya terdapat empat manusia yang tengah duduk di beberapa
bangku kantin yang tersedia –termasuk dirinya dan Sungmin.
“Kau sedang apa ?” tanya Kyuhyun
singkat.
Sungmin memutar bola matanya malas.
Semalas mulutnya yang tak kunjung menjawab pertanyaan Kyuhyun. Sungmin merasa
jika Kyuhyun masih memiliki mata normal untuk melihat apa yang sedang Sungmin
lakukan –benar-benar pertanyaan bodoh, pikir Sungmin.
“Hei...” protes Sungmin saat didapi
Kyuhyun dengan seenaknya mengangkat buku ‘kutukan’ Yoon seonsaengnim.
Kyuhyun mengernyitkan dahinya –pertanda
heran. “The Global Communist ? Aku tak tahu jika buku ini begitu populer.” Seru
Kyuhun ringan.
Sungmin tak perduli, segera tangannya
merampas buku ‘kutukan’ itu dari jajahan Kyuhyun. “Memangnya apa yang kau tahu
? Kurasa kau memang tak pernah tahu apa-apa.” Sungmin mencibir.
Kyuhyun masih enggan menanggapi.
Dirinya seolah kembali pada sisi dirinya yang terkenal ‘sedikit’ pendiam. Atau
entahlah... mungkin tak akan bertahan lama apalagi dengan pertanyaan-pertanyaan
bodohnya itu –batin Sungmin.
“Kau... Bisa berbahasa Inggris bukan ?”
lirih Sungmin. Bahkan Kyuhyun masih harus menajamkan teliganya meskipun suasana
kantin terbilang cukup sepi.
Kyuhyun mengedikkan bahunya acuh,
melirik sekilas pada buku yang menampilkan halaman penuh deretan huruf
alphabet. Kyuhyun sedikit mual saat matanya menagkap tulisan berwarna hitam
itu.
“Tanyakan saja pada Lee Jinki-ssi.
Mengkin saja orang itu tahu.” Kata Kyuhyun datar.
Sungmin menaikkan alis kirinya, sempat
menatap Kyuhyun sanksi. “Dia tahu buku ini ?” tanya Sungmin.
Kyuhyun mengangguk, pandangannya masih
mengedar sekeliling kantin, entah apa yang tengah dicarinya. “Aku melihatnya
membawa buku itu kemarin. Dan meskipun dia berkata tak mengerti tapi aku yakin
dia sudah selesai menerjemahkan isi buku itu.” Kyuhyun menatap manik Sungmin
sesaat sebelum kembali mengedarkan pandangannya.
“Kau mencari sesuatu ?” seru Sungmin
tiba-tiba.
Kyuhyun sedikit terkejut dengan
lontaran kata Sungmin. Terlihat jelas dari bola matanya yang sedikit membesar
walau hanya beberapa detik. Terlihat menggeleng pelan, sepertinya Kyuhyun tak
ingin membahas lebih jauh atas perkataan Sungmin. Mungkin Kyuhyun lupa jika
selain Jinki sedikit banyak Sungmin sudah mengetahui bagaimana Kyuhyun yang
sebenarnya. Hanya saja, Kyuhyun merasa jika Sungmin lebih mengerikan daripada
Jinki –maksud Kyuhyun... entahlah, mungkin hanya Kyuhyun yang bisa merasakan
akan hal tersebut.
“Aku pergi.” Kyuhyun berdiri dari duduknya.
Belum sempat melangkah, Kyuhyun kembali berucap pada Sungmin. “Kau bisa mencari
Lee Jinki-ssi di ruang dewan siswa. Dia selalu ditempat itu saat istirahat.”
Sungmin menatap punggung Kyuhyun yang
semakin menjauh tanpa berkedip, tidak heran kala dirinya mendapati sifat
Kyuhyun yang bagai bunglon itu. Hanya
saja, pikiran Sungmin tertuju pada sebuah nama “Lee Jinki”. Apa urusan pemuda
itu membaca buku ‘kutukan’ Yoon seonsaengnim ?
Sungmin memejamkan matanya sesaat. Apa
mungkin Jinki mengambil buku itu atas suruhan Yoon seonsaengnim dengan tujuan
untuk mempersulitnya ? Ah... tidak—tidak, Sungmin menggelengkan kepalanya
keras. Merasa bodoh atas pemikirannya yang memang bodoh. Astaga... Ternyata
efek samping dari buku ‘kutukan’ Yoon seonsaengnim benar-benar dahsyat dan
berimbas buruk terhadap kewarasan otaknya.
Angin semakin kencang berhembus. Rambut
berantakan Sungmin terlihat makin tak jelas arah sisirannya. Kembali menunduk
mencoba menerjemahkan buku sial –menurut Sungmin.
Tes...
Tes...
Sungmin terpaku. Menatap cairan kental
berwarna merah berbau besi berkarat. Sungmin masih menatap darah segar yang
mengotori buku ‘kutukan’ kesayangan Yoon seonsaengnim. Ah, sial. Sungmin telah
mengotori buku kesayangan Yoon seonsaengnim dan ini berarti bencana. Siapa
saja. Perut Sungmin mendadak sakit saat membayangkan wajah Yoon seonsaengnim
yang berubah menjadi seperti Lord
Voldemord dan bukannya seperti Profesor
Dumbledore.
“Astaga. Kau berdarah.” Teriak sebuah
suara bass, setipe dengan Kyuhyun hanya saja, suara Kyuhyun terdengar lebih
merdu.
Sungmin mendongak, menatap seorang
pemuda asing yang tengah berdiri di
hadapannya dengan raut sedikit –panik, hanya sedikit. Sungmin sedikit berjengit
kaget, saat pemuda di hadapannya tanpa aba-aba langsung menekan sebuah sapu
tangan tepat dihidung Sungmin. Tak cukup sampai disana, pemuda itu menekan
tengkuk Sungmin cukup keras sekaligus menengadahkan wajah Sungmin.
“Bisakah kau melakukannya sendiri ?”
kata pemuda bersuara berat itu lagi.
Sungmin tak mengerti maksud dari
perkataan pemuda itu. “Maksudku... kau bisa menekan hidungmu sendiri bukan ?
Rasanya.. Kau tahu ?” Pemuda itu mengedikkan bahunya sambil memberikan senyum
yang harus Sungmin akui manis, pemuda itu bahkan memiliki lesung pipi.
Sungmin mengangguk tanpa menjawab
dengan ucapan dan segera menggantikan tangan besar pemuda itu untuk menekan
hidungnya yang berdarah.
“Jika kau merasa pusing atau matamu
berkunang-kunang sebaiknya kau ke ruangan kesehatan.” Pemuda itu masih
tersenyum ramah sebelum meninggalkan Sungmin yang masih menengadah menahan
aliran darahnya.
Lagi-lagi Sungmin hanya memandang
punggung pemuda itu, kali ini dengan dahi berkerutnya, sepertinya Sungmin
pernah melihat pemuda itu. Tapi dimana ? Entahlah, sudah cukup buku ‘kutukan’
Yoon seonsaengnim memenuhi pikirannya.
.
Something
you can see when the light on
Something
you can see when the light off
Something
will come
Something
will disappear
.
“Satu...
Dua... Tiga... Empat... Lima... Lompat...” suara kecil itu terdengar sangat
gembira. Tak jarang suara tawa berjejalan di sela-sela kata yang di ucapkan
anak kecil itu.
“Eomma
kalah lagi.” Seru seorang wanita dewasa yang tengah membuat raut sedih di
wajahnya.
Namja
kecil yang sedari tadi melompat-lompat di atas tanah bergambar kotak-kotak
membentuk pola itu segera menghampiri wanita yang mengklaim dirinya sebagai
–eomma. “Eomma harus berusaha, ne ? Tak boleh menyerah. Harus bisa mengalahkan
Kyunnie.” Lontaran dari mulut kecil yang terlihat basah itu di akhiri dengan
senyuman manis.
Eomma
namja kecil itu melirik putranya sekilas sebelum mensejajarkan tingginya dengan
namja kecil kesayangannya. “Berikan eomma pelukan. Dan eomma akan mengalahkan
Kyunnie...” rengek eomma namja kecil itu.
Kyunnie—nama
namja kecil itu, terlihat berpikir tergambar dari pergerakan jari mungilnya
yang mengetuk-ngetuk di sekitar dagu kecil miliknya. “Shireo. Kyunnie tak mau
memeluk eomma. Kyunnie tak ingin kalah.” Ucap namja kecil itu di akhir.
Wanita
dewasa tadi kembali memasang wajah cemberutnya. Bibir merah mudanya mengerucut,
benar-benar terlihat masih sangat cantik. “Kyunnie tak sayang eomma, ne ?” Kini
eomma namja kecil itu segera berdiri memunggungi namja kecilnya dengan
memberikan tampang –pura-pura—kesal.
Mata
namja kecil itu membulat sempurna, bahkan mulutnya juga terbuka. Bukan,
bukannya tak sayang eomma-nya hanya saja. Aisshh... namja kecil itu terlihat
bingung ingin mengucapkan apa kepada eommanya.
“Eomma...
“ kata namja kecil itu merajuk. Tangan mungilnya menarik-narik bagian belakang
baju eommanya. “Eomma... Sini...” rajuk namja kecil itu lagi.
Dengan
wajah yang masih –pura-pura—kesal, wanita dewasa tadi kembali mensejajarkan
tingginya dengan namja kecil yang nampak tengah menahan tangis. Matanya
terlihat memerah dan air tengah menggenang di sana.
Chue~~
“Kyunnie
tak mau memeluk eomma... Habisnya Kyunnie tak mau kalah. Jadi Kyunnie poppo
eomma saja.” Barisan gigi susu rapi diperlihatkan namja kecil tadi kepada
eommanya.
.
.
Hembusan angin si akhir musim gugur
makin menggila. Bahkan hampir seluruh pohon di areal sekolah sudah merontokkan
seluruh dedaunan yang sebelumnya bertengger indah di tiap pucuknya.
Pemuda dengan rambut coklat berantakan
itu masih terduduk nyaman di atas bangku kayu yang terletak di antara pepohonan
besar yang telah kehilangan mahkotanya. Jejak-jejak daun berwarna coklat
menumpuk di sekitar pijakan pemuda yang nampak menikmati keadaan pagi yang –tak
cukup nikmat pada saat penghujung musim gugur.
“Eomma... Aku... Mianhae... Maaf.”
Pemuda tadi berujar lirih. Bahkan bulir-bulir air mata mulai turun dari kelopak
terpejamnya.
Angin kembali berhembus kencang. Cukup
kuat untuk menggoyangkan dahan-dahan tak berdaun yang berada di sekitar pemuda
itu.
“Eomma... Aku tak menginginkan semua
ini. Aku tak ingin bisa melihatmu. Aku tak ingin mendengar suaramu. Aku tak ingin kau berada di sampingku lagi.
Aku tak ingin. Eomma...” pemuda itu kembali berujar, lebih terdengar seperti
meracau. Menundukkan kepalanya dan meremas rambut coklat yang sudah berantakan.
“Kyunnie
tak sayang eomma, ne ?”
.
.
“Kyuhyun berkata seperti itu ?”
Sungmin menganggukkan kepalanya,
terlihat enggan menjawab pertanyaan pemuda sipit di hadapannya.
“Ah, apa sunbae masih membutuhkan buku
itu ? Aku bisa memberikannya padamu sekarang juga, lagipula aku berniat untuk
mengembalikan buku itu hari ini.”
“Tidak, aku sudah mendapat
penggantinya.” Sungmin menunjukkan sebuah buku di genggaman tangan kirinya.
“Hanya saja. Cho Kyuhyun-ssi memberitahukan sesuatu kepadaku.” Ujar Sungmin
ragu –atau malu.
“Kyuhyun berkata apa lagi, sunbae ?”
“Jinki-ssi, kau—maksudku, apa—apa kau.
Tunggu.” Sungmin menghembuskan napasnya perlahan. “Apa kau mau membantuku ?”
kata Sungmin cepat. Meminta bantuan secara terang-terangan dan terlihat bodoh
bukanlah diri Sungmin. Dan saat ini ingin sekali dirinya membenturkan kepala
Kyuhyun ke tembok keras di sebelah kirinya.
Jinki menaikkan sebelah alisnya –heran.
Tak cukup lama karena setelahnya senyuman manis milik Jinki yang membuat
kelopak matanya membentuk lengkungan seperti bulan sabit. “Katakan saja sunbae,
tak perlu sungkan.”
Sungmin memantapkan hatinya. Malu atau
mati. Sebenarnya Sungmin lebih memilih mati daripada malu. Tapi, jika di
pikirkan lagi. Sungmin tak mau mati hanya gara-gara detensi konyol dari Yoon seonsaengnim.
“Kau sudah membaca buku itu, bukan ?
Jinki-ssi ?” Jinki terlihat mengangguk, masih menunggu lanjutan dari perkataan
Sungmin. “Dan Kyuhyun berkata padaku jika kau sedikit banyak tahu maksud dari
buku ini. Jadi...”
“Ah... Kyuhyun berkata seperti itu ?”
Jinki terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bel berbunyi sekitar 5 menit
lagi. Jadi, sunbae bisa menemuiku di ruang dewan siswa saat istirahat nanti.
Aku permisi dulu. Annyeong.” Jinki menundukkan kepalanya sopan sebelum bergerak
meninggalkan Sungmin.
“Ah.. Nde.” Sungmin berseru lantang,
mungkin terlalu bahagia. Bertemu dengan Kyuhyun yang meskipun bersikap ‘aneh’
–aneh ? Sungmin tak habis pikir, bagaimana bisa orang yang di cap aneh oleh
seluruh penghuni sekolah malah mengatai si pembuat onar yang terkenal itu
dengan sebutan aneh ? Biarlah, setidaknya Sungmin beruntung karena secara tak
sengaja bertemu dengan Jinki di koridor sekolah.
Belum genap empat langkah. Kaki Sungmin
seperti tertahan, hendak sekedar menyeretpun
tak bisa. Benar-benar seperti terpaku kuat di atas lantai keramik berwarna
putih yang tengah ia pijak.
Sungmin tak terlalu bodoh untuk tak
mengenali atmospher yang tengah di rasakannya. Tengkuknya terasa lelah dan
berat di saat bersamaan. Karbon dioksida tertahan di pangkal tenggorokannya.
Memaksa kedua bola matanya menatap ke satu titik yang tak ingin di pandangnya.
Bukankah selama empat hari kemarin dirinya sudah terbebas dari hal sialan ini, kenapa harus terjadi lagi ?
Sungmin tak tahu harus protes kepada siapa. Tapi hal ini benar-benar menyiksa
dirinya.
Sedikit buram. Sungmin tak dapat
mem-fokus-kan pandangannya. Terlalu buram, seperti sebuah foto yang di beri
efek blur. Dan perlahan, saat
derap-derap langkah mulai terdengar lirih—semakin lirih hingga sama sekali tak
menimbulkan getaran pada gendang telinganya. Sosoknya terlihat jelas. Terlihat
nyata dan Sungmin benci mengatakannya. Sungmin benci mengakui jika sosok itu
tengah menatapnya, menatap tepat manik kelam Sungmin yang entah mengapa hanya
tefokus pada pupil putih sosok berambut panjang di hadapannya.
.
.
“Hei,
jagoan. Kau mau kemana, eoh ? Jangan mengganggu eommamu. Hari ini kau akan appa
tahan.” Laki-laki berusia sekitar awal 30-an itu terlihat mengejar seorang
namja kecil berusia sekitar 4 tahun.
Namja
kecil itu berlari-lari kecil dengan sesekali terdengar kekehan yang keras.
“Ssssttt.” Laki-laki dewasa—appa namja kecil itu membuat gerakan jari telunjuk
di tempelkannya di atas hidung bangir –pertanda untuk berhenti membuat
kegaduhan.
“Kyunnie
tak boleh tertawa keras seperti itu. Bagaimana jika murid yang sedang belajar
terganggu.” Laki-laki dewasa itu berucap lirih –berupaya seperti berbisik.
Namja
kecilnya mengangguk-angguk lucu, sepasang mata kecilnya sesekali mengerjap
sejalan dengan ucapan dari appanya. “Baiklah, sekarang jagoan akan terbang
menuju markas besar. Bersiap ?” kata laki-laki dewasa itu lagi, tentu saja
dengan nada seperti berbisik.
“SIAAAAP...”
mata laki-laki dewasa itu membulat saat dengan tanpa dosa namja kecilnya
berteriak hingga suaranya menggema di sepanjang koridor yang sepi.
.
.
“Aku tak melihatmu. Aku... Ak-ku...
K-kau.”
Sekelebat putih menghilang. Seperti tak
pernah ada apapun di depan sana. Atau memang tak pernah ada apapun di depan
sana.
“Kumohon...”
Sungmin menegakkan punggungnya, serbuan
angin penghujung musim gugur membelai wajah putihnya. Menahan oksigen berputar
di sekitar lubang hidung bangirnya.
“Teng...
Teng... Teng...”
Bunyi bel yang lebih terdengar seperti
lonceng tempat sembahyang itu memaksa
Sungmin menghirup oksigen tercemar kedalam paru-parunya. Terlepas dari belenggu
samar, bergegas mengedarkan pandangan ke segala arah. Entah apa yang terjadi
kali ini, tapi ini merupakan hal yang baru bagi Sungmin. Laki-laki dewasa dan
namja kecil. Sungmin seperti mengenal dua sosok itu. Hanya saja... hanya saja entah
mengapa otak Sungmin menolak untuk mencari lebih lanjut tentang dua sosok itu.
.
When
the light on you can see what the dark hidden
But
you miss something that only you can see in the dark
.
Pemuda itu masih terdiam. Menundukkan
kepalanya dalam. Bukan. Pemuda itu bukannya sedang menangis. Dia hanya terdiam,
mungkin saja itu merupakan cara terampuh untuk mengendalikan diri.
“Cho Kyuhyun-ssi.”
Kyuhyun—nama emuda itu, tak langsung
mendongak dan bersikap layaknya tikus yang tengah terperangkap. Berbeda. Pemuda
itu berbeda. Kyuhyun masih tetap bertahan dengan posisinya semula. Sama sekali
tak memperdulikan suara berat laki-laki yang tengah menegurnya.
“Sepertinya bel sudah berbunyi sejak
satu jam yang lalu. Apa yang kau lakukan di sini ?” kembali –suara berat itu
terdengaroleh gendang telinga Kyuhyun.
Kyuhyun menggerakkan kepalanya
perlahan. Sedikit menengadah dan mendelik tajam pada sosok laki-laki paruh baya
berusia kisaran 40 tahun, seusia dengan ayahnya. Kyuhyun hanya menampakkan
tatapan tajamnya sejenak, tak cukup lama. Kyuhyun selalu tak bisa menatap wajah
laki-laki di hadapannya terlalu lama. bahkan sekedar bertemu dalam jarak
pandang terlampau jauh-pun Kyuhyun sangat enggan.
Laki-laki yang sudah menampakkan banyak
kerutan wajah itu memandang sendu pemuda yang masih terduduk di hadapannya.
Jarak mereka tidaklah sejauh lintasan lari jarak pendek. Tapi, jarak tak kasat
mata antara mereka berdua lebih lebar dan lebih koko dari tembok China sekalipun.
“Kau sedang mengalami kesulitan ?
Apa...” Kyuhyun memotong cepat ucapan laki-laki paruh baya itu.
“Berhentilah bersikap seakan kau
perduli padaku. Cho seonsaengnim.” Sergah Kyuhyun ketus.
Laki-laki paruh baya tadi –Cho
seonsaengnim, menghembuskan napas jengah. Sedikit merasa tersinggung dengan
umpatan kasar yang di keluarkan bibir Kyuhyun. “Berhentilah bersikap tidak
bertanggung jawab. Kau sudah bukan anak berusia 5 tahun lagi, Cho Kyuhyun.”
Kyuhyun berdiri dari duduknya dengan
gerakan cepat. Menatap tajam manik mata Cho seonsaengnim. “DAN KAU BERHENTILAH
BERSIKAP SEPERTI KAU ADALAH AYAHKU.” Hanya itu kata yang mampu di ucapkan lidah
Kyuhyun. Pita suaranya tak mampu bergetar lebih dari itu. Kyuhyun juga tak
mengerti. Hanya saja, setiap bersua dengan laki-laki paruh baya itu Kyuhyun
hanya merasakan amarah yang berlebih. Dan Kyuhyun tak yakin jika rasa amarah
itu akan menghilang. Tak akan pernah.
Cho seonsaengnim sedikit terkejut
mendengar teriakan keras dari pemuda di hadapannya. Wajah tua laki-laki itu
mengeras seiring dengan pergerakan daun-daun yang makin menggila. Mata sipit di
balik kacamata besarnya terlihat memicing, menatap pemuda di hadapannya jengah.
“Jangan berpikir terlalu jauh. Aku
hanya sedang bertindak sebagai seonsaengnim yang sedang memberi nasehat kepada
murid yang sedang bermasalah.” Ujar Cho seonsaengnim datar. Wajah mengerasnya
mulai melunak seiring dengan kata-kata yang keluar dari getaran pita suaranya.
Kedua namja beda usia tersebut saling menatap mata dengan pandangan yang
–mungkin berbeda. Tanpa perkataan yang keluar dari mulut keduanya. Hanya saling
menatap dan itupun tak cukup lama saat seorang diantaranya –Kyuhyun memutuskan
kontak yang terjalin dan lebih memilih menolehkan wajahnya menengadah memandang
ranting tanpa daun yang bergoyang mengikuti irama angin.
a/n otak saya mandek =="
Tidak ada komentar:
Posting Komentar